Ada Apa dengan Pamswakarsa?

Oleh :
Muhammad Fadeli
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya

Pamswakarsa, pasukan pengamanan masyarakat swakarsa hari kembali menjadi perbincangan publik menyusul pernyataan Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si, pada saat uji kelayakan dan kepatutan di depan Komisi III DPR RI. Polemik menyikapi keinginan menghidupkan kembali Pamswakarsa dilatar belakangi oleh adanya keinginan menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat di satu sisi serta masih adanya trauma akan terjadi seperti tahun 1998 di sisi lain.

Harapan baru kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit setelah dilantik Presiden Joko Widodo adalah hal yang wajar. Dalam sesi fit and proper test Jenderal Listyo Sigit menyampaikan beberapa komitmen di antaranya menjadikan Polri sebagai institusi yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan (Presisi), Menjamin keamanan untuk mendukung pembangunan nasional. Menjaga solidaritas internal. Meningkatkan sinergisitas dan solidaritas TNI Polri, serta bekerjasama dengan APH dan kementerian/lembaga untuk mendukung dan mengawal program pemerintah. Mendukung terciptanya ekosistem inovasi dan kreativitas yang mendorong kemajuan Indonesia. Menampilkan kepemimpinan yang melayani dan menjadi teladan. Mengedepankan pencegahan permasalahan, pelaksanaan keadilan restoratif dan problem solving. Dan yang terakhir setia kepada NKRI dan senantiasa merawat kebhinekaan.

Dampak pandemi Covid 19 pada sektor ekonomi mengakibatkan meningkatnya kriminalitas serta kasus-kasus intoleransi, radikalisme, diperlukan Kapolri yang tegas juga melindungi. Mengaktifkan kembali pamswakarsa seperti era tahun 1998 akan menjadi momok bagi masyarakat, trauma akan mengemuka jika pamswakarsa itu dihidupkan kembali. Sejarah kelam era tahun 1998 Pamswakarsa adalah kelompok sipil bersenjata yang sengaja dibentuk pemerintah sebagai alat untuk berhadapan dengan para pengunjukrasa anti pemerintah saat pelaksanaan Sidang Istimewa MPR, sehingga pecahlan Peristiwa Semanggi 1. Trauma itu masih teringat kuat bagaimana pamswakarsa dibentuk dan digerakkan untuk alat kekuasaan. Dan kini jika Kapolri akan mengaktifkan kembali pamswakarsa akan menjadi preseden buruk bagi Kepolisian Republik Indonesia. Lalu kemudian dimanakah urgensinya ?

Pandemi Covid 19 dibutuhkan sosok Kapolri yang kuat tegas mengayomi melindungi masyarakat. Menegakkan keamanan ketertiban masyarakat menjadi kebutuhan fundamental, pertanyaannya apakah harus menghidupkan kembali pamswakarsa untuk mewujudkan hal itu. Secara kultural seharusnya pengamanan masyarakat swakarsa sudah melekat di masyarakat. Dalam hal ini keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan, kuncinya adalah kemitraan antara Polisi dan masyarakat.

Pada saat Polri dipimpin Jendral Sutanto berupaya memulihkan citra Polri di mata masyarakat melalui berbagai langkah strategis. Yaitu menerbitkan SK Kapolri No.Pol : Skep/737/X/2005 tentang penerapan model perpolisian masyarakat community Policing. Jika kebijakan ini benar-benar diwujudkan dari tingkat Polsek akan meningkatkan citra dan performa Polri. Hal itu sebagai bentuk proses reformasi telah dan sedang berlangsung menuju masyarakat civil cociety. Polri yang saat ini sedang dalam reformasi menjadi Kepolisian Sipil harus mau meninggalkan kultur lama yang reaktif dan pendekatan kekuasaan dalam menjalankan tugasnya. Kini harus mampu merubah paradigma baru menuju pendekatan proaktif dan responsif.

Dalam rangka mengemban tugas yang sedemikian berat dengan rasio terbatas, maka Polri secara sitematis harus mampu menggandeng masyarakat. Secara struktural tugas pengayoman, perlindungan memang adalah bagian dari tugas Polri. Akan tetapi secara fungsional masyarakat berkewajiban menempatkan diri turut berpartisipasi bersinergi dengan tugas-tugas Polisi. Ketika mengimplementasikan tugas-tugasnya penting artinya Polri mendapat dukungan publik yaitu dengan mengedepankan kemitraan dalam rangka pemecahan problem sosial sosial. Jadi jika pamswakarsa dihidupkan kembali maka implementasinya adalah perpolisian masyarakat melalui pendekatan kultural, kearifan lokal.

Sebenarnya konsep Community Policing bukan barang baru dimata masyarakat, karena sejak dulu secara tradisional masyarakat telah melakukan pengamanan dilingkungannya masing-masing dalam bentuk sistem keamanan lingkungan (siskamling) ada juga Sistem keamanan swakarsa, maupun Babinkamtibmas di Desa-desa.

Pada hakikatnya tujuan Perpolisian masyarakat atau disingkat Polmas adalah terwujudnya kemitraan antara Polisi dan masyarakat lokal. Untuk mencegah maupun mencari jalan keluar atas pemecahannya sehingga penanganan masalah tidak perlu melalui proses hukum formal. Apabila cita-cita ini terwujud maka dampaknya sangat positif bagi Polri akan meringankan beban tugas dan masayarakat sendiri akan merasa memiliki kewajiban menjaga ketentraman bersama.

Dalam kehidupan yang terus berubah seperti itu, polisi tetap diidentikkan dengan kekuasaan, namun kekuasaan di tangan polisi sebagai suatu institusi dari bagian kepentingan publik, bukan kepentingan negara (publik servant atau civil servant). Sehingga kehadiran Polisi dimasayarakat bukan sebagai alat kekuasaan yang menguasai tapi melayani publik. Apalagi jika keberpihakan polisi pada kepentingan politik tertentu maka kehadiran Pamswakarsa akan dipakai sebagai alat kekuasaan. Pemahaman-pemahaman seperti itu adalah menjadi penting bagi Polisi kita agar tidak selalu terkooptasi oleh pemikiran sebuah institusi yang berkekuasaan atau alat penguasa. Karena Polisi itu dibentuk untuk mengayomi kepentingan rakyat bukan melindungi kekuasaan yang memerintah.

Melalui delapan komitmen Kapolri baru diharapkan lahirnya model kepribadian yang baru (paradigma baru) diharapkan Polisi tampil dalam sikapnya lebih responsif dan bersahabat. Untuk mengubah ke dalam model baru tersebut / the civilian society yang dihadapi bukan sebatas ranah struktural dengan merubah Undang-undang saja melainkan masalah yang lebih rumit adalah kultur Polisi. Oleh karena itu jika Pamswakarsa dibentuk kembali seperti era tahun 1998 akan menjadi kontraporduktif.

Transformasi Polri ala Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menuju Polri yang Presisi (prediktif, responbilitas, transparansi dan keadilan). Adalah penting untuk mencegah dan menaggulangi problem kamtibmas, tentu Polri tidak bisa bekerja sendiri, peran masyarakat adalah sangat penting. Pemberdayaan masyarakat dalam menjaga kamtibmas dilingkungan masing-masing harus berbasis kearifan lokal. Kehadiran polisi ditengah masyarakat tidak lebih sebagai mitra.

Dalam melayani dan melindungi masyarakat, polisi akan berhadapan dengan dinamika perkembangan masyarakat yang tidak bisa disamakan antaara daerah yang satu dengan yang lain. Implikasinya, sungguh diperlukan cara penanganan yang sesuai dengan kondisi masayarakat, oleh karena itu perlunya keterlibatan masyarakat.

Kapolri harus bijak dalam mengimplementasikan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 tahun 2020 tentang PAM Swakarsa. Kesalahan dalam memahami dan implementasi pamswakarsa di tingkat paling bawah akan menimbulkan konflik horizontal. Pendekatan Perpolisian Masyarakat atau Polmas Community Policing, melalui petunjuk yang jelas kepada seluruh jajaran kepolisian, komunikasi partisipatoris melibatkan tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat menemukan relevansinya di tengah perdebatan pamswakarsa.

———— *** ————

Rate this article!
Tags: