Ada Apa dengan Pendidikan Kita?

Umar Sholahudin

Refleksi Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2021

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi FISIP Univ. Wijaya Kusuma Surabaya, Kandidat Doktor Ilmu Sosial FISIP Unair

Di muka bumi ini tidak ada satu pun yang menimpa orang-orang tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Tapi dalam beberapa hal sekolah lebih kejam ketimbang penjara. Di penjara, misalnya, Anda tidak dipaksa membeli buku dan membaca buku-buku karangan para sipir atau kepala penjara

(Bernard Shaw dalam Parents and Children)

Pernyataan Bernard di atas merupakan reaksi keras atas praktik pendidikan yang selama ini dijalankan sebuah institusi yang namanya sekolah. Institusi sekolah yang dalam tatarannya idealnya diharapkan dapat memberikan solusi bagi persoalan masyarakat dan bangsa, namun dalam kenyataannya, justru menjadi beban sosial dan ekonomi bagi masyarakat.

Menurut Paul Freire pada dasarnya pendidikan adalah ‘proses memanusiakan manusia kembali”. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistim kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses ‘demumanisasi’. Pendidikan, sebagai bagian dari sistim masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri.

Ada Apa dengan Pendidikan Kita

Proses dehumanisasi ini yang saat ini sedang berlangsung dalam kehidupan kita. Hal ini tercermin dari persoalan bangsa muncul yang muncul silih berganti, tak kenal waktu dan tempat yang telah korban kemunisian. Kelaparan, jutaan orang tak bisa sekolah, kemiskinan meraja lela, korupsi menggurita dan tak mengenal tempat dan institusi hatta orang berpendidikan atau institusi pendidikan, orang mudah bunuh orang, pornografi dan pornoaksi yang sudah menjadi pandangan biasa dan berbagai macam pandangan destruktif lainnya seakan menjadi potret dari realitas sosial bangsa ini. Bangsa ini menjadi bangsa idiot, tak mampu berbuat banyak. Jangankan maju, bertahan saja sulitnya minta ampun.

Proses pendidikan yang seharusnya lebih berorientasi membangun karakter anak didik yang imune. Tetapi yang terjadi adalah anak diajari dengan pola pendidikan yang berorientasi pada nilai dan rutinitas administratif. Ini yang kemudian sekolah terjebak pada pada urusan tetek bengek akademis, kejar angka kelulusan, menghukum siswa yang melanggar, menuntut siswa tekun mendengarkan penjelasan guru yang monoton dan menjemukan, dan tidak memperhatikan ” keunikan ” potensi diri setiap anak didik. Fenomena lain adalah munculnya kekerasan di sekolah. Ada guru yang melakukan kekerasan terhadap anak didiknya, atau sebaliknya murid yang melakukan kekerasan terhadap gurunya. Kita jga kerapkali menyaksikan berbagai perilaku anak didik yang jauh dari norma-norma sosial; merokok, pergaulan bebas, seks di luar nikah, terlibat narkoba, tamuran pelajar, geng motor, terjun dunia prostititusi, dan sebagainya. Kondisi dunia pendidikan kita ini tentunya sangat memprihatinkan.

Apa sesungguhnya yang terjadi di negeri ini?. Munculnya berbagai persoalan bangsa yang begitu akut ini memunculnya naluri kritis sebagian orang. Mengapa negeri yang kaya raya menjadi begitu miskin, baik miskin secara materi maupun moralitas. Jika kita menggunakan pendekatan pendidikan kritis, maka persoalan tersebut tak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan atau lebih spesifik sekolah kita yang dirancang bukan untuk menjadi problem solver, tapi menjadi problem maker. Ada samething wrong dalam dunia pendidikan atau sekolah kita.

Dengan kata lain, sistem pendidikan atau sekolah kita memberikan andil besar terhadap munculnya berbagai persoalan bangsa ini. Sistem pendidikan kita banyak mencetak “orang pinter” namun pinter untuk merusak (destruktif) atau istilah jawanya pinter tapi keblinger. Sistem pendidikan kita hanya sekedar “transfer ilmu” yang sifatnya seringkali formalistik dan miskin nilai-nilai morality. Anak didik hanya menjadi objek pendidikan, bukan subjek pendidikan. Ini yang kemudian, meminjam Istilah Paul Freire (1970), anak hanya menjadi “robot” yang muda dipermainkan.

Perlunya ESQ

Menurut pakar pendidikan, Prof. Qomarudin Hidayat, ketika pendidikan tak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, maka yang akan dihasilkan adalah orang-orang yang selalu mengejar materi untuk memenuhi tuntutan physical happiness yang durasinya hanya sesaat dan potensial membunuh nalar sehat dan nurani.

Kita mungkin cukup berhasil dan berprestasi dalam membangun lembaga-lembaga pendidikan yang cukup memadai bahkan bonafit dan mewah. Salah satu indikasinya, Kota Surabaya merupakan salah satu kota di Jatim ini yang memiliki jumlah lembaga-lembaga pendidikan paling banyak dengan jumlah anak didik yang juga besar. Mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Akan tetapi, pendidikan di Jawa Timur telah gagal dalam mendidik kecerdasan moralitas dan spiritualitas anak didik. Fisicly, pendidikan kita tumbuh besar, tapi secara morality kita runtuh.

Selama ini memang proses pendidikan kita lebih mengedepankan dan berorientasi pada peningkatan kecerdasan intelektual (intectual quetion) daripada kecerdasan emosional dan spiritual (Emosional Spiritual Quetion atau ESQ). Kecerdasan spititual inilah yang berkaitan dengan pendidikan dan penanaman benih-benih moralitas yang tinggi kepada anak didik. Seharusnya ESQ inilah yang lebih dikedepankan dan diutamakan.

Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ari Gunajar, praktisi pendidikan yang mengembangkan konsep ESQ. Menurutnya, proses pendidikan terhadap anak tidak cukup dengan pemenuhan kecerdasan emosional dan intelektual saja, tapi perlu ditambah dengan kebutuhan dan kecerdasan spiritual. Bahkan aspek kecerdasan spitual harus dijadikan sebagai pondasi utama. Dengan pemenuhan kebutuhan sipritual ini, karakter dan kepribadian anak bisa terbentuk lebih baik dan paripurna.

Karena itu, inilah pekerjaan besar (PR) Insan dan Institusi pendidikan Indonesia untuk menata kembali konsep pendidikan yang akan diajarkan kepada masyarakat. Salah satunya dengan memasukan dan mengedepankan kebutuhan akan kecerdasan spiritual yang lebih dalam kurikulum pendidikan sekolah. Dengan begitu, praktik-praktik penyimpangan pendidikan yang berkaitan dengan moralitas setidaknya bisa diminimalisir.

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: