Ada Saatnya Harus ‘Melepas Baju’ agar Semua Bisa Berbaur

Dinamika kelompok saat outbond peningkatan kapasitas pegawai Dindik Jatim di Hotel Tretes Raya, Pasuruan.

Dinamika kelompok saat outbond peningkatan kapasitas pegawai Dindik Jatim di Hotel Tretes Raya, Pasuruan.

Melihat Cara Dindik Jatim Membangun Sinergi Antar Pegawai
Kota Surabaya, Bhirawa
Bekerja dengan suasana menyenangkan tentunya akan berdampak pada hasil kerja yang memuaskan. Tapi kenyataannya, relasi antar pegawai tidak selalu tercipta harmonis. Kalau sudah begitu, butuh konsep khusus agar sinergisitas pegawai selalu terbangun kokoh. Di antaranya kerelaan untuk saling terbuka dan ‘melepas baju’.
Dalam tata pamong birokrasi, hormat dan patuh terhadap pimpinan merupakan kewajiban utama. Di saat bersamaan, tanpa disadari muncullah sekat terjal yang dampaknya bisa mengganggu sinergi antar pegawai. Di sinilah, perlu ada saat-saat semua untuk ‘melepas baju’. Tentu bukan melepas baju dalam arti sebenarnya. Melainkan melepas berbagai lambang dan atribut seperti pangkat dan jabatan sejenak, agar di antara pegawai bisa timbul kesetaraan. Lebih dalam saling mengenal, memahami bawahan secara personal, melatih kerjasama dengan cara-cara sederhana sekaligus menyenangkan.
Begitulah cara Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim berupaya menciptakan suasana harmonis di dalam kantor. Sekali di waktu senggang mereka harus berkumpul untuk sekadar mengintrospeksi diri, mendengarkan nasihat motivator lalu membuat dinamika kelompok untuk melatih kembali kerjasama. “Tujuannya pasti untuk meningkatkan sinergi dan kapasitas mereka dalam melaksanakan tugas,” tutur Kepala Sub Bagian Tata Usaha Dindik Jatim Endang Widiastuti MSi belum lama ini.
Seperti yang sudah digelar beberapa waktu lalu. Pertemuan antar pegawai dengan konsep sinergy building dan peningkatan kapasitas pegawai dilakukannya bersama seluruh pegawai di Hotel Tretes Raya, Pasuruan. Mulai dari pegawai yang tak punya golongan pangkat, bagian rumah tangga, pasukan pengaman (Satpol PP,red), sampai pegawai yang sudah berpangkat eselon jadi satu di sana. “Semua sama saat itu. Menjadi peserta yang harus sabar mendengarkan nasihat motivator. Dan mau diperintah instruktur saat mengikuti sesi dinamika kelompok. Termasuk saya,” tuturnya.
Cara ini membuat yang golongan pangkatnya tinggi menjadi lebih egaliter. Dan yang tidak berpangkat lebih percaya diri untuk melaksanakan tugasnya lebih optimal. “Menyenangkan, karena kita bisa melatih kerjasama dengan permainan. Sekaligus ditantang melakukan hal-hal ekstrim untuk melatih mental,” tutur dia.
Dia menyebut beberapa tantangan ekstrim yang dilakukan dalam bentuk high rope mulai dari flying fox, two line bridge dan spider web.
Salah seorang motivator yang sengaja didatangkan saat itu adalah Dr Judi Suharsono. Akademisi dari Universitas Panca Marga Probolinggo itu mengajak seluruh pegawai mengukur dirinya sendiri dalam bekerja dan berelasi di dalam pekerjaannya. Cara mengukurnya pun unik. Mereka diminta menggambar seekor sapi yang memiliki anggota tubuh lengkap. Dari gambar tersebut, dia menjelaskan satu per satu karakter pegawai. “Gambar ini bisa menjadi cermin bagaimana mereka berhubungan dengan yang lain, atau karakter mereka yang tekun atau biasa-biasa,” kata dia.
Satu hal lagi yang penting. Dia juga mengajak pegawai lebih mencintai pekerjaannya. Bagaimana rasa cinta terhadap pekerjaan itu diukur? Kalau ada pegawai yang pulang kerja terus tersenyum ketika sudah sampai di rumah. Berarti mereka menikmati pekerjaannya selama di kantor. “Kenyataannya banyak pegawai itu yang uring-uringan saat tiba di rumah. Masalah kantor dibawa pulang, anak dikasih muka berkerut yang menyedihkan,” tutur dia disambut tawa sekitar 60 pegawai kesekretariatan Dindik Jatim itu.
Untuk mencintai pekerjaan, dia menganjurkan agar pegawai mempunyai rasa memiliki terhadap instansi yang menaunginya. Hal-hal yang sifatnya kurang baik, diperbaiki tanpa menunggu orang lain memperbaiki. Jika ada keburukan di internal, seyogyanya bisa disimpan bersama-sama lalu diperbaiki. Bukan malah dijadikan bahan pembicaraan dengan orang banyak di luar institusi. Termasuk juga tidak dibicarakan dengan keluarga. Ini agar keluarga tetap melihat pekerjaan suami atau istrinya menyenangkan.
“Jangan salah paham. Rasa memiliki kantor itu bukan membawa pulang kertas, tinta, meja, kursi atau fasilitas lainnya ke rumah. Itu terlalu berlebihan rasa memilikinya,” candanya lagi. Di sisi lain, lanjut dia, ekspresi rasa memiliki seperti itu tidak akan membawa berkah di keluarga. [Adit Hananta Utama]

Tags: