Adaptasi Iklim Ekstrem

foto ilustrasi

Warga Jakarta, dan daerah sekitar (Depok, Tangerang, Bekasi), wajib menyesuaikan diri dengan “kebiasaan baru” cuaca ekstrem. Curah hujan lebih dari 150 milimeter dalam sehari, makin sering terjadi. Berkonsekuensi penyesuaian infrastruktur daya serap air, secara alamiah, dan teknologi konstruksi ke-sipil-an. Disebabkan perubahan iklim global, anomali cuaca menjadi keniscayaan yang kerap terjadi. Tak lama, kawasan metropolitan lain (Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makasar) wajib siaga pula.

Tanggul sungai Citarum di desa Babakan, kabupaten Bekasi, jebol, merendam tiga desa lain di kecamatan Pebayuran. Ketinggian air di perkampungan yang terendam mencapai 2 meter. Membuktikan pemerintah (dan daerah) perlu mengaudit infrastruktur tampungan air. Sedangkan di perkotaan (Bekasi) banjir mencapai 2,5 meter. Keadaan yang sama terjadi di Tangerang Raya (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan). Sehingga arus lalulintas ke Jakarta lumpuh.

Adaptasi dengan “kebiasaan baru” cuaca ekstrem berkonsekuensi me-normalisasi sungai, perbaikan tanggul, dan meningkatkan kapasitas waduk. Serta menambah tutupan vegetatif, menanam pohon tegakan tinggi di kawasan hulu. Terutama pohon dengan daya serap (dan menyimpan air cukup besar). Misalnya jenis pohon aren. Juga larangan membuang sampah di sungai, wajib ditegakkan sebagai “protokol” kesehatan lingkungan, disertai sanksi.

Cuaca saat ini sudah tergolong ekstrem, walau masih di bawah intensitas dua musim (tahun 2019) lalu. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat curah hujan pekan ketiga Pebruari ini sekitar 220-an millimeter per-hari. Sedangkan dua musim silam intensitas mencapai 377 milimeter. Padahal daya serap tampungan air hujan (sungai) di Jakarta hanya sebanyak 100 milimeter per-hari. Pasti meluapkan air bah.

Banjir bandang di kawasan Jadetabek (Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi) telah melumpuhkan akses transportasi nasional. Beberapa perjalanan kereta-api trans Jawa dari stasiun Gambir, dan Pasar Senen, dibatalkan. Sebanyak 13 perjalanan kereta-api dari Jakarta jurusan Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, ditiadakan. Sedangkan kereta-api yang terlanjur berangkat dari Jawa Tengah, dan Jawa Timur, berhenti di stasiun di stasiun Cikampek. Dilanjutkan dengan angkutan bus gratis ke stasiun tujuan.

Koneksitas perjalanan dengan bus juga tidak mudah, karena hampir seluruh jalan negara dan jalan propinsi telah terkepung banjir. Bahkan jalan di perkampungan telah terendam air bah. Begitu pula jalan menuju rumah sakit juga digenangi air setinggi 35 sentimeter. Banjir telah menggenangi seluruh wilayah ibukota negara, dan sekitarnya. Kedatangan banjir bukan periode lima tahunan, melainkan makin cepat, menjadi dua tahunan.

Ke-parah-an banjir bisa dating tiap tahun. Karena daya dukung lingkungan makin susut. Seperti terjadi awal tahun (2020) lalu, walau antisipasi masyarakat (dan petugas penyelamatan), lebih sigap. Tetapi BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), korban jiwa dampak banjir sebanyak 16 orang. Kemacetan total lalulintas pada hari kerja pertama tahun 2020, terjadi di seluruh ruas jalan, dan jalan tol.

Kota-kota yang bukan kategori metropolitan juga bisa mengalami dampak cuaca ekstrem. Misalnya Sumedang (di Jawa Barat), Kudus (di Jawa Tengah), serta Jombang (di Jawa Timur) juga telah mengalami dampak cuaca ekstrem. Anomali yang menyertai ekstremitas cuaca bisa terjadi di seluruh daerah. Maka adaptasi cuaca ekstrem patut pula dibarengi dengan rekayasa cuaca.

Pemerintah perlu melaksanakan Weather Modification Technology (MMT). Pesawat khusus membawa garam dapur yang disemprotkan ke awan di ketinggian. Sudah pernah diujicoba, sukses mengurai awan, dan berhasil mengurangi insitas hujan. Sekaligus mengarahkan hujan tercurah ke perairan (laut), bukan di permukiman.

——— 000 ———

Rate this article!
Adaptasi Iklim Ekstrem,5 / 5 ( 1votes )
Tags: