Adat Nyepi dan Megengan

Perayaan hari raya Nyepi (umat Hindu) akan terasa lebih indah, karena beriringan dengan awal bulan Ramadhan 1444 Hijriyah. Umat Islam di Bali tidak mengumandangkan adzan melalui pengeras suara pada saat Nyepi. Juga biasa mengunjungi sahabat tetangga umat Hindu, saling ber-maaf-an pada saat Ngebak Geni (usai hari raya Nyepi). Bahkan umat Islam melakukan pembacaan shalawat dengan tembang Hindu, menyambut bulan Ramadhan. Harmoni hubungan antar-umat telah terjalin ber-abad-abad lalu.

Nyepi menjadi tradisi umat Hindu di Bali merayakan tahun baru Saka, sebagai hari raya Waisak. Hari Tilem Kesanga (IX) diperingat sebagai periode penyucian dewa-dewa di pusat samudera, membawa intisari amerta air hidup. Tahun Baru Saka di Bali, tidak diperingat dengan hura-hura. Melainkan dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa, tidak menyalakan api (kompor) untuk memasak. Nyepi dijalani bagai “puasa total.” Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum pemerintahan. Tak terkecuali bandara internasional tutup. Hanya rumah sakit yang boleh buka.

Suasana hari raya Waisak, di Bali, berbeda dengan di negara lain (Hindu India) bersamaan dengan hari suci Nyepi, ditetapkan sebagai hari libur nasional, sejak 19 Januari 1983. Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk mensucikan Bhuana Alit (alam manusia, mikro-kosmos). Serta mensucikan Bhuana Agung (alam semesta, alam semesta). Sebelum hari raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.

Sebelum melaksanakan Nyepi, umat Hindu melakukan penyucian melalui upacara Melasti. Seluruh sarana persembahyangan yang berada di Pura (tempat suci) diarak ke pantai atau danau (Tirta Amerta). Hamparan sumber air lauat dan danau bisa mensucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia, dan kekotoran alam. Sehari sebelum Nyepi, terdapat ritual Ngrupuk, ditandai dengan pawai ogoh-ogoh. Yakni, membakar boneka (besar) berbagai macam rupa menyeramkan, simbol keburukan, yang harus dibakar habis.

Uniknya, umat Islam di Bali, juga merayakan Nyepi. Masyarakat desa Pegayaman (kabupaten Buleleng), Bali, dengan melaksanakan Mengejot, bersamaan Ngebak Geni. Yakni, bertukar makanan menjelang bulan Ramadhan. Di Jawa, Mengejot dikenal dengan istilah Megengan. Bermakna meng-agung-kan datangnya bulan Ramadhan. Umat Hindu di kecamatan Sukasada (Buleleng), juga merayakan Mengejot bersama umat Islam. Saat shalat tarawih, umat Hindu memberikan toleransi.

Selama dua tahun, Megengan, menjadi hari ke-prihatinan mendalam. Namun tradisi kirim doa dan sedekah makanan untuk arwah (leluhur dan kerabat) tetap dilakukan di mushala dan di masjid. Walau dilaksanakan secara terbatas, serta istighotsah dalam tempo singkat. Tetap afdhal, dan tidak mengurangi kemanfaatan pahala kebaikan. Tetapi megengan saat ini (mulai Rabu, 22 Maret) bagai suasana pembebasan.

Di seluruh Indonesia, terutrama di Jawa, dan Bali, tiada lagi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Magnitude bulan Ramadhan di Indonesia, kembali tumbuh pasca wabah pandemi. Beragam spanduk menyambut bulan puasa, ditebar di berbagai lokasi juga diselingi saran beribadah di masjid. Mal, perkulakan dan tempat perbelanjaan lain nampak mulai semarak. Toko dan stand pakaian mulai buka.

Begitu pula lapak baru kuliner mulai tumbuh di jalan sekitar permukiman. Hampir seluruh kampung ramai dengan persiapan ekonomi kreatif. Suasana Ramadhan di Indonesia memang berbeda dengan negara lain yang dihuni warga muslim. Terdapat pergerakan sosial budaya paling panjang. Dimulai dengan adat megengan masyarakat mempersiapkan spirit dan suasana kebatinan. Terutama ziarah ke makam, menyambung silaturahim dengan leluhur yang telah meninggal.

——— 000 ———

Rate this article!
Adat Nyepi dan Megengan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: