Advokasi Prestasi Olahraga

Atlet pelajar Indonesia, menambah prestasi cemerlang pada ajang ASEAN School Games (ASG) ke-11 2019 di Semarang (Jawa Tengah). Menjadi tuan rumah, kontingen merah-putih memborong 100 medali (43 emas, 33 perak, 24 perunggu). Ini podium tertinggi kedua setelah ASG ke-7 di Brunei. Masih diperlukan visi besar menjadi “raja” prestasi olahraga. Terutama pembinaan atlet, sampai menjadi pilihan profesi yang menjamin kesejahteraan.
Pemerintah bertekad prestasi pada level ASEAN, dan Asian Games, berlanjut sampai Olympiade. Maka diperlukan sistem pembinaan prestasi ke-olahraga-an. Dengan jumlah penduduk yang besar, seharusnya memiliki banyak potensi yang bisa dibina menjadi prestasi men-dunia. RRT (Republik Rakyat Tiongkok) misalnya, saat ini coba mengejar prestasi ke-olahraga-an. Bukan cuma bulutangkis. Melainkan juga atletik, kelompok akuatik, dan olahraga berbasis bola.
Tekad RRT bisa menjadi contoh. Situs kantor berita resmi Xinhua pernah menurunkan artikel berjudul “Berapa harga sebuah medali emas?” Ternyata, tidak murah. Antara tahun 2000 dan 2004, anggaran tahunan untuk olahraga sebesar lima milyar Yuan atau sekitar US$785 juta. Jumlah anggaran dalam empat tahun itu lebih dari US$3 miliar (sekitar Rp 31 trilyun). Hasilnya, diperoleh 32 medali emas di Olympiade Atena 2004.
Jadi, untuk setiap medali emas setara 600 juta yuan atau sekitar Rp 900 milyar. Itu merupakan persiapan medali paling mahal di dunia. Artinya, pemerintah RRC menganggap bahwa perolehan medali pada even olahraga internasional (terutama Olympiade dan Asian Games), merupakan simbol martabat bangsa. Sistem pembinaan olahraga prestasi itu, tak beda benar di Indonesia. Mungkin hanya faktor disiplin dan biaya yang kurang.
China, sudah membuktikan diri pantas menjadi “raksasa” baru keolahragaan pada level dunia. Pada Olimpiade (2012) lalu, China sudah menjadi juara umum sampai H-1 (hari ke-11) penutupan. Walau diakhir Olympiade tergeser pada posisi kedua. Toh selisihnya (perolehan medali) sangat tipis. China Cuma kalah 4 medali emas dan 6 perunggu. Tetapi ini sudah menjadi warning pada Olympiade mendatang, Tiongkok siap menjadi juara umum.
RRT sudah menjadi “raja” prestasi olahraga di kawasan Asia. Sukses mengalahkan dominasi Jepang (selama tiga dekade). Sedangkan di regional ASEAN (Asia Tenggara), Thailand masih menjadi pesaing tangguh kontingen Indonesia. Ironisnya, prestasi olahraga nasional menunjukkan kelesuan mendalam selama satu dekade terakhir. Sampai terasa baru terbangun pada Asian Games ke-18. Menakjubkan! Kontingen Indonesia mencatat prestasi terbaik selama 50 tahun terakhir.
Masih banyak jalan meretas prestasi olahraga tingkat kawasan. Diantaranya, ASEAN University Games (SEA-UG, South East Asia Games). Pada ajang olahraga mahasiswa ASEAN ini, Indonesia sudah langganan juara umum. Sejak pertama kali diselenggarakan (tahun 1981), Indonesia selalu menempati peringkat teratas. Totalnya 11 kali juara umum. Disusul Thailand 3 kali, serta Vietnam dan Malaysia masing-masing sekali.
Tetapi pada ajang ASG (pelajar), Indonesia masih jauh tertinggal. Thailand, menjadi negara paling suskses sejak ASG pada tahun 2009, sudah 5 kali juara. Selama satu dekade, menjadi negara paling suskses pada ajang ASG, sudah 5 kali juara. Thailand, selama ini telah meraih 845 medali (299 emas, 260 perak, 286 perunggu). Kontingen merah-putih 585 medali, masih di bawah Malaysia (586 medali).
Pembinaan prestasi olahraga patut digelorakan pada semua lini. Termasuk ajang ASG, walau tidak ber-orientasi prestasi. Melainkan pada budaya persahabatan se-kawasan. Tetapi ASG bisa menjadi “advokasi” prestasi. Boleh jadi, atlet pelajar akan ter-motivasi keolahragaan profesional. Yakni, manakala pembinaan atlet menjanjikan kesejahteraan.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: