Advokasi “Rantai” Gempa

Gempa tektonik berkekuatan 6,1 SR (Skala Richter), terjadi di pantai selatan Jawa Timur. Walau daya rusaknya tidak besar (tdak disertai tsunami) namun menimbulkan korban jiwa 8 warga. Serta kerusakan seribu rumah rusak berat dan sedang. Juga kerusakan 150 unit fasilitas umum, termasuk kantor desa, dan kantor pemerintah daerah. Pemerintah (dan daerah) perlu ekstra waspada gempa bumi, karena “datangnya” belum bisa diduga secara tepat.

Puluhan gempa tektonik (lindu), dan vulkanik (erupsi gunung berapi) terasakan hampir seribu kali, dalam sebulan dengan berbagai skala. Tidak bisa tidak, masyarakat wajib menyesuaikan diri dengan alam. Karena secara geologis, Indonesia tergolong menumpang di “punggung” patahan sesar gempa bumi. Bangsa Indonesia kuna terdahulu, di berbagai daerah memiliki catatan tertulis tentang lindu. Juga tuturan “wedus gembel” sebagai pertanda erupsi gunung berapi.

Yang terbaru, gempa terjadi di perairan selatan Jawa Timur, berpusat di barat daya kabupaten Malang (sejauh 85 kilometer), Jawa Timur. Daerah di sepanjang pantai Selatan Jawa Timur terdampak gempa. Terutama dari kabupaten Malang, ke arah barat (Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek), terdampak paling parah. Juga ke arah timur (Lumajang) merasakan guncangan dan dampak lindu cukup besar. Pemerintah kabupaten telah mendirikan tenda dapur umum, dan penampungan pengungsi.

Berdasar catatan kegempaan BMKG (Badan Meteorologi dan Klimatologi dan Geofisika), dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, terjadi tiga gempa tektonik besar. Yakni, gempa bumi tahun 1994 (2 Juni) terjadi di Banyuwangi. Terjadi kerusakansangat besar, karena gempa diikuti tsunami. Tercatat korban jiwa sebanyak lebih dari 210 orang. Tak terduga, setelah 7 jam usai gempa, tsunami menerjang pesisir selatan. Ini tsunami terbesar di Indonesia (sebelum tsunami lebih besar, Aceh, 26 Desember 2004).

Lebih lagi, tsunami datang (dini hari) ketika warga terlelap tidur. Air laut menggulung seluruh bangunan, di pesisir selatan. Pohon di hutan juga tercerabut, mengapung bersama air bah. Rumah penduduk, dan kantor desa, rata dengan tanah. Gempa bumi dan tsunami Banyuwangi 1994, hingga kini tetap dikenang, ditandai dengan “permukiman tsunami” dekat pantai Rajegwesi, Banyuwangi. Sistem early warning (peringatan dini) tsunami di Banyuwangi, saat ini menjadi yang terbaik.

Jawa Timur mencatat gempa besar kedua, terjadi di Situbondo – Sumenep, 11 Oktober 2018. Seolah mengiringi gempa bumi Lombok (29 Juli, 5 Agustus, dan 19 Agustus), dan gempa Sulewasi, 28 September. Semuanya terjadi pada tahun 2018. Gempa Situbondo – Sumenep, berkekuatan 7,3 MM (Magnitudo Moment). Walau tidak disertai tsunami, tetapi menimbulkan korban jiwa lebih dari 1.370 warga kabupaten Sumenep (Madura kepulauan) yang paling terdampak, dan warga kabupaten Situbondo. Lebih dari 53 ribu rumah warga hancur.

Hingga kini tiada ilmu yang dapat memperkirakan waktu datang gempa bumi. Sehingga kawasan yang pernah dilanda gempa tektonik, seyogianya menyesuaikan diri. Terutama upaya penyelamatan. Pemerintah berkewajiban “meng-advokasi” masyarakat. UU Penanggulangan Bencana pada pasal 26 ayat (1) huruf b, dituliskan bahwa setiap orang berhak: “mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.”

Gempa sudah dialami masyarakat di berbagai kawasan “langganan.” Sampai terdapat mitos, dan legenda, sebagai transformasi antar generasi. Sesunggunya Indonesia tergolong menumpang di “punggung” sesar gempa bumi. Empat lempeng tektonik di dunia (Euro-Asia, Pasifik, Samudera Hindia, dan Australia) melewati wilayah Indonesia.

Namun banyak bangsa-bangsa yang menempati “punggung” tektonik, telah menyesuaikan diri. Jepang, misalnya, sukses mempersiapkan infrastruktur, pelatihan, dan regulasi tata-ruang me-minimalisir dampak gempa.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: