Agama dan Benteng Terakhir Keadaban

Judul : Pendidikan Karakter Ajaran Tuhan
Penulis: : Prof. Ahmad Tafsir
Penerbit : Rosda, Bandung
Cetakan : Desember 2018
Tebal : 250 halaman
ISBN : 978-602-446-296-3
Peresensi : Muhammad Itsbatun Najih
Alumnus Madrasah Ibtidaul Falah, Kudus

Benarkah salat, puasa, haji, hanya berkaitan pemenuhan kewajiban bersifat ritus ilahiah tanpa ada kesinambungan dengan perilaku sehari-hari? Tentu tidak. Justru sebaliknya: capaian tertinggi aneka ibadah tidak saja mengandaikan hubungan baik kepada Tuhan (vertikal), melainkan kian terjalin erat ukhuwah antarsesama (horizontal). Seorang ‘abid (hamba saleh) yang kesehariannya selalu tampak beribadah khusyuk, mestinya bakal berperangai baik pula dalam laku lampah keseharian.
Sebaliknya: keakraban kepada sesama, tidak menjegal rekan kantor, enggan menggunjing tetangga sebagai ejawantah kesalehan sosial teranggap belum cukup bila tidak dibarengi kesalehan ritual. Keberjarakan kesalehan semacam ini sama saja menihilkan fungsi agama sebagai titah Tuhan untuk dijadikan pedoman ideal hidup. Peran agama teranggap sentral untuk menjadikan manusia menuju capaian tertinggi bersemat insan kamil (hlm: 7). Bumi dengan segala sumber dayanya teramanatkan pada bani Adam untuk dikelola dengan berlandaskan kearifan yang berpijak pada nilai-nilai ilahiah yang termanifestasikan lewat pengajaran agama.
Buku ini seraya meng-counter pemikiran sumbang perihal privatisasi agama (sekularisasi). Rupanya, agama telah dipandang sampiran; diletakkan di bilik pojok ruang publik. Sementara klausul relasi perwujudan keadaban publik, dicukupkan pada penggunaan konsensus berbasis “akal”. Konsekuensinya, bertumbuhlah narasi banal seperti: asal suka sama suka, tidak ada yang dirugikan –secara materiil. Imbasnya, tak mengherankan bila fenomena sosial hari-hari ini bergerak pada konklusi pendegradasian moral.
Di sinilah urgensi pengembalian fungsi nilai-nilai agama sekaligus meninjau secara reflektif perihal akal. Akal sememangnya karunia Tuhan untuk membedakan perkara hak dan batil. Namun, di sisi lain, karakteristik akal ialah selalu menemukan cara untuk membenarkan perbuatan apa pun bersebut berdalih dan beralibi. Karena itu, akal tidak bisa dijadikan “raja” (baca: tolok ukur). Sementara atributif lain berupa nafsu, bermuka dua. Satu waktu bersetia mengawal akal kepada kebaikan-kebajikan; lain waktu bakal mengkhianati dengan mengajak polah mungkar.
Akal pun bersifat terbatas. Akal yang dibiarkan bernalar tanpa panduan agama, bakal jatuh pada konklusi nirmoral. Agama hadir untuk menibakan posisi akal agar tidak bergeser dari ketetapan-Nya. Karena itulah, prostitusi menjadi terlarang. Pernikahan diseyogiakan. Maraknya seks bebas, telah sedikit-banyak menyebarkan penyakit kelamin, melahirkan generasi bermental rapuh, melemahnya tatanan sosial, dan menghancurkan nilai-nilai keluarga.
Kembali ke agama
Sejatinya terma bersosial merupakan inti mengapa pengajaran agama menjadi penting. Lantaran Tuhan tidak menciptakan satu makhluk tunggal. Melainkan menciptakan banyak manusia dalam ragam suku-etnis. Keragaman meniscayakan terciptanya relasi satu dengan liyan; pesan Alquran: untuk saling mengenal (li ta’arafu), sehingga diharap membuncahkan kemaslahatan bersama. Namun, relasi sosial juga meniscayakan sengkarut, konflik, dendam, permusuhan.
Lantaran akal bersifat selalu menemukan alibi pembenaran, penggunaan sepenuhnya akal sembari beralergi untuk melibatkan agama; maka yang terjadi adalah penghalalan menindas sesama, mengeksploitasi alam, dan rangkaian perbuatan amoral lainnya. Karena itu, buku ini lantas membabar kisah bangsa-bangsa dan peradaban masa lampau macam Kerajaan Sodom, Sabaiyah, Kerajaan Firaun, Kerajaan Romawi, umat Nabi Nuh, umat Nabi Saleh (hlm: 9). Kesemuanya dikenal bangsa maju dan berperadaban tinggi dan berlimpah kekayaan.
Dus, bangsa-bangsa itu pada akhirnya kita menjadikannya sebagai pelajaran berharga untuk tidak mengabaikan agama sebagai patokan hidup. Pengabaian agama senyatanya menghilirkan pada kacaunya tatanan sosial sekaligus mendatangkan murka-Nya. Umat para nabi terdahulu mewedarkan pesan bahwa kemajuan peradaban yang sempat mereka raih tapi seraya melupakan Tuhan, ternyata menghilirkan kepongahan. Maka, murka-Nya tersebut membawa iktibar bagi peradaban kini bahwa kemajuan teknologi senyatanya tidak berarti apa-apa tanpa dibarengi kesalehan kepada-Nya.
Di sinilah arti penting pendidikan karakter berorientasi ketuhanan. Yakni, seperangkat perangai dalam mewujudkan kesalehan sosial dengan mendasarkan pada akidah (teologis)/kesalehan ritual. Kesalehan ritual tidak bisa dimaknai sebagai urusan ketuhanan an sich. Melainkan terejawantah menjadi spirit pada bagaimana tata-cara menyikapi segala problema kehidupan.
Kini, kemajuan teknologi semacam pesatnya energi nuklir yang justru kian mencemaskan. Kesibukan manusia modern dengan segala rutinitas duniawi, ternyata membawa pada kegersangan batin. Kehampaan jiwa dan disorientasi kemajuan pengetahuan yang menjauhi nilai-nilai kemanusiaan menohokkan pesan tegas bahwa sudah seharusnya kembali kepada agama sebagai jawaban problem modernitas; plus sebagai garansi kehidupan berkeadaban.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: