Agama Kita Semua adalah Uang

Judul Buku : Agama Saya Adalah Uang
Pengarang : Nurudin
Penerbit : Intrans Publishing
Cetakan : Pertama, Februari 2020
Tebal buku : xvi + 182 Halaman
Harga buku : Rp 75.000,-
ISBN : 928-602-6293-90-9
Peresensi : Ade Chandra Sutrisna, Staf Humas dan Protokoler UMM

Sekilas membaca judul buku ini, Agama Saya adalah Uang, saya jadi teringat dengan judul buku ‘Agama’ Saya adalah Jurnalisme karya dari penerima Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard: Andreas Harsono. Buku bercover merah itu merupakan kumpulan tulisan terkait ‘tafsiran’-nya pada prinsip Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosentiel.

Secara terang saya tidak menemukan penjelasan bahwa buku ini terinspirasi judul buku Andreas. Namun, satu hal yang serupa adalah bahwa buku ini sama-sama merupakan kumpulan tulisan (bunga rampai) dari buah pikir seorang Nurudin tentang ‘Uang’. Nurudin tentu tidak bisa disebut sebagai pakarnya ‘uang’.

Sejauh yang penulis kenal secara personal, dari sekian bukunya yang sempat penulis baca, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini sebetulnya banyak melahirkan buku yang, kalau tidak seputar teori Ilmu Komunikasi dan Jurnalistik secara khusus, tapi juga yang berkaitan dengan tulis-menulis.

Misalnya buku Sistem Komunikasi Indonesia atau buku Menulis Artikel Itu Gampang. Judul yang terakhir ini pertama penulis miliki bahkan sebelum kuliah dan mengenal Nurudin secara pribadi.

Nurudin dikenal sebagai seorang yang sangat produktif menelurkan tulisan. Setiap minggunya, wajah rubrik harian juga cetak, regional ataupun nasional, dihiasi tulisan tajam dosen yang telah menelurkan puluhan buku ini. Kaitan dengan tema-tema politik, sosial, kehidupan keberagamaan, dan tentu saja isu-isu yang berkaitan dengan Ilmu Komunikasi.

Buku ini menyindir kehidupan di sekitar manusia. Berisi kajian kritis fenomena perilaku manusia beserta ambisinya.

Bagi Nurudin, problem utama masyarakat Indonesia adalah kesejahteraan. Salah satu tolak ukur kesejahteraan adalah adanya modal. Modal ini bisa berupa modal sosial dan modal capital. Modal sosial kita sudah kuat sebagai bangsa yang plural. Ikatan persaudaraan juga hebat. Persoalannya, sambung Nurudin, jika itu menyangkut modal kapital menjadi masalah.

Dalam kurun waktu lama pula masyarakat disibukkan dengan urusan perut. Maka modal kapital menjadi pilihan utama. Memang semata-mata mengurusi modal kapital tidak baik. Tetapi kenyataan ini masih hidup dan berkembang dalam masyarakat. Modal kapital ini juga ditunjukkan pula oleh elite politiknya. Sebut saja para politisi.

Para politisi itu memang berjuang untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Ini sudah pasti. Namun yang mereka perebutkan hanya soal modal kapital sebagaimana disesbutkan di atas. Aapakah mereka tidak lagi berurusan dengan keuasaan? Tentu saja. Masalahnya, modal kapital ini menjadi tujuan utama.

Sekedar contoh, apakah anggota DPR itu dipilih karena memang mereka terpanggil menjadi wakil rakyat? Sebagian besar tentu karena membutuhkan pekerjaan. Bukankah pekerjaan itu termasuk modal kapital? Maka, mereka hanya akan mau berjuang jika berkaitan dengan modal kapital tadi.

Mereka juga akan takut dengan partainya karena persoalan kehilangan pekerjaan. Lagi-lagi ini soal modal kapital. Apalagi perilaku mereka ini didukung, diawasi, disponsori oleh “segelintir” kaum oligark di negeri ini. Jadilah yang diurus soal kapital. Soal penegakan hukum itu urusan nomor bawah.

Apa yang selanjutnya terjadi? Masyarakat dan bangsa ini kemudian banyak berorientasi pada modal kapital itu tadi. Jangan heran jika segala perbedaan yang ada di masyarakat itu bisa disatukan dengan uang. Uang menjadi segalanya. Hubungan eksekutif dan legislative juga bisa disatukan dengan uang.

Kegarangan opisisi juga bisa diatasi dengan uang. Uang akan menjadi pemersatu perbedaan di masyarakat. Sebut saja, bahwa soal uang setiap orang punya agama yang sama. Agama kita semua adalah uang.

Uang bisa membuat orang bercerai-berai, berkonflik atau bermusuhan. Namun, uang juga bisa menyatukan. Kita bisa dan boleh berbeda soal agama, tetapi dalam urusan uang semua orang punya agama sama. Maka, katakan sesuatu dengan uang semua akan indah pada waktunya.

Betapa uang sudah dijadikan segala-galanya untuk mengukur dan mencari tujuan hidup. Uang bisa dibenci, tetapi semakin dibenci ia akan terus dicari. Analoginya, setan boleh kita benci tetapi semakin kita membenci setan jangan-jangan dalam diri kita semakin kuat tumbuh semangat setan.

Buku ini tentu tidak bermaksud mereduksi makna agama di tengah masyarakat. Kata Nurudin, ia juga tidak menyamakan agama dengan uang. Ia tentu tak punya maksud seperti itu. Agama adalah media untuk mendekatkan diri pada tujuan hidup. Jika tujuan hidup itu mengabdi kepada Tuhan, maka agama dijadikan media untuk meraih tujuan itu.

Analoginya, jika tujuan manusia itu untuk mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran, ia juga membutuhkan media. Apa media untuk meraihnya? Salah satunya uang. Maka jika untuk mencapai itu semua memakai media perantara uang, bukankah uang dianggapnya sebagai agama? Logika ini bisa jadi tidak benar, tetapi tidak seratus persen salah.

Buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama banyak membahas soal kenyataan adanya pluralitas dalam masyarakat. Beberapa tulisan di bagian ini mencertiakan tentang pernak-pernik perbedaan yang ada dalam masyarakat. Bagian kedua berbicara soal terlalu kuatnya peran pemerintah. Pemerintah dimanapun, kapanpun, dan siapapun yang berkuasa cenderunng mau memperkuat kekuasaan sendiri.

Lalu, bagian ketiga mendiskusikan soal kepentingan yang mempersatukan. Bagian terakhir membahasa soal pemerintah yang terus menerus mencurigai gerakan masyarakat. Gerakan dalam masyarakat dianggap ancaman penting. Sementara itu, masyarakat adalah potensi yang bisa mendukung berjalannya sebuah negara.

Sekali lagi, buku ini merekam wajah kita. Nurudin menelenjangi sekaligus menohok kesadaran kita semua bahwa apapun tingkat sosialnya, apapun latar belakangnya, , dan darimanapun asalnya agama kita semua sama: uang.
———— *** ————

Rate this article!
Tags: