Agama Politik dan Kegalauan Berdemokrasi

Oleh :
Fileksius Gulo
Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Agama, dalam kacamata kehidupan sosial-politik kita hari-hari ini menjadi instrumen dan legitimasi untuk memperoleh kekuasaan. Kontestan yang menang maupun yang kalah sama-sama menggunakan agama sebagai salah satu bumper estalasi politik. Agama dipandang sebagai alat untuk mencapai jalannya “kesucian” politik. Itu sebabnya agama tak luput mendapat kritik keras untuk menyoal manuver dan manifestasi ini. Kritik itu tentu ingin mengembalikan “porsi” agama ke tempat yang sesungguhnya, yakni “Yang Sakral” dan transenden-teologis. Akibatnya agama penuh dengan teka-teki dan perdebatan paradoks sentimental. Menariknya, percecokkan ini lebih tersorot di ranah publik dibandingkan di ranah akademik.
Memakai historisitas dari kebahasaan, agama berasal dari bahasa Sansekerta yang diambil dari suku kata “a” yang berarti tidak, dan “gama” yang berarti kacau. Jadi, agama memiliki makna tidak kacau atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu. Sedangkan memakai definisi KBBI, agama adalah ajaran, yakni sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya. Artinya agama adalah “pedoman” yang menyoal hubungan manusia dengan penciptanya, interaksi manusia dengan sesamanya, dan hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Bertolak dari perspektif di atas, maka secara filosofi, manusia mengakui adanya kekuatan kehidupan di luar akal dan kendali dirinya. Ini dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan hidup, krisis, bencana alam serta termasuk berbagai musibah politik dalam demokrasi. Manusia terus-menerus merefleksikan dan meminta pertolongan kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya dari belenggu itu. Hal ini dialami oleh setiap manusia. Dan secara konseptual, itulah asal usul agama yakni manusia mengakui adanya kekuatan lain di luar kendali dirinya, sehingga manusia membutuhkannya sebagai pedoman atau pegangan hidup.
Dalam konteks demokrasi Indonesia, hiruk-pikuk politik membawa manusia pada pencarian suatu pedoman, yang dalam tulisan ini disebut sebagai agama politik. Agama politik adalah pegangan atau pedoman segelintir manusia untuk menjawab berbagai persoalan dalam dinamika hidupnya. Jadi, agama politik dalam tulisan ini berbeda dengan istilah politik agama atau politisasi suatu agama.
Bila demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka agama politik masuk sebagai salah satu instrumen populer untuk mencapainya. Instrumen populer ini membawa agama pada perdebatan publik. Akibatnya, agama politik begitu sarat dengan isu-isu dan konten yang sangat sensitif. Sebab, perdebatan agama politik membawa masyarakat pada kehampaan emosional. Ketika agama politik dibawa-bawa dalam ranah publik, maka fenomena yang terjadi adalah post-truth (pasca kebenaran). Artinya, kebenaran (rasional) tak dapat lagi diterima begitu saja.
Mewabahnya kebenaran yang sarat emosional bersumber dari tumbuh suburnya perkawinan antara demokrasi, agama dan politik. Apalagi situasi ini sesuai dengan kondisi historis-sosiologis masyarakat kita. Meskipun secara filosofis demokrasi akan membawa dan mengantar politik pada perdebatan rasional, namun kondisi historis-sosiologis memungkinkan perdebatan itu irasional. Dan itulah fakta sosial-politik yang tengah terjadi dalam kehidupan kita berdemokrasi. Silang-saling “modal” itu tumbuh subur dalam demokrasi kita. Dan hari-hari ini, kita diam-diam “menikmati” pertikaian ini.
Lalu, mengapa agama politik bisa tumbuh subur dalam demokrasi kita? Maka untuk menjawab ini, kita perlu mengujinya diantara relasi kekuasaan dan masyarakat.
Meminjam istilah Nanang Martono (2012), dari perspektif sosiologi, kita mengenal istilah modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital), dan modal simbolik (symbolic capital). Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumber daya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama. Modal sosial dapat diwujudkan dalam bentuk praktis atau terlembagakan. Keduanya dapat diproduksi dan juga dapat direproduksi melalui proses pertukaran. Modal sosial dalam bentuk praktis didasarkan pada hubungan yang relatif tidak terikat seperti pertemanan, sedangkan dalam bentuk yang terlembagakan, modal sosial terwujudkan dalam keanggotaan dalam suatu kelompok yang relatif terikat, seperti: keluarga, suku, sekolah, dan sebagainya. Dan “agama” masuk dalam kategori ini.
Artinya, untuk mewujudkan suatu perubahan sosial-politik dalam kancah demokrasi Indonesia, sekelompok orang membutuhkan modal sosial, modal budaya, modal ekonomi dan modal simbolik. Agama dari perspektif sosiologi masuk dalam kategori modal sosial. Dalam konteks ini, agama melalui bahasa politik merupakan salah satu atribut manusia yang paling penting. Konstruksi bahasa dalam “agama” tidak hanya merupakan alat komunikasi dan kapital budaya, tetapi juga merupakan “praktik sosial”. Bahasa dalam agama sebagai praktik sosial merupakan hasil interaksi aktif antara struktur sosial yang objektif dengan habitus bahasa yang dimiliki pelaku sosial, terutama dalam masyarakat kita.
Akhirnya, agama melalui bahasa politik berhubungan erat dengan kekuasaan. Bahasa secara efektif dipraktikkan oleh pelaku sosial untuk saling mengontrol pelaku sosial yang lain dengan tujuan utamanya yaitu menciptakan dunia yang diinginkan.

———- *** ———–

Tags: