Agar Hasilnya Indah, Menulis pun Butuh Ketenangan

Mahasiswa Prodi Sastra Jepang Untag Surabaya bersama seniman Shodo, Goto Minoru, Rabu (11/2).

Mahasiswa Prodi Sastra Jepang Untag Surabaya bersama seniman Shodo, Goto Minoru, Rabu (11/2).

Kota Surabaya, Bhirawa
Seperti nasib aksara Jawa ‘Honocoroko’, tak banyak orang yang bisa melakukannya, termasuk yang asli keturunan Jawa. Begitu pula Shodo, teknik menulis kaligrafi huruf Kanji ini pun tidak bisa dilakukan oleh semua orang Jepang. Karenanya, bisa belajar Shodo langsung dengan seniman aslinya adalah kesempatan langka. Seperti yang diikuti mahasiswa Sastra Jepang Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya, Rabu (11/2).
Beberapa detik sebelum menulis Shodo, Goto Minoru berdiam sejenak. Seniman Shodo itu menunggu sejenak iringan musik dari shamisen (Gitar kecil berdawai tiga asli Jepang). Setelah merasa dirinya tenang, dia langsung menyambar kuas dan menulis Shodo secepat mungkin. Tak lama setelah itu, tulisan bertema ‘Hikari’ pun rampung di atas kanvas dengan lebar sekitar satu meter dan panjang empat meter.
“Hikari itu artinya sinar. Dalam tulisan ini ada beberapa kalimat yang saling berhubungan sesuai kata-kata yang diusulkan para peserta,” kata Goto.
Tampaknya sebelum menulis Shodo, Goto sudah mengantongi sejumlah kata dari peserta yang selanjutnya dirangkai dalam beberapa kalimat terhubung. Dia membaca inti tulisan itu bermaksud menuju masa depan di bawah sinar. Di akhir tulisan Shodo, Goto menulis sebuah kalimat yang berisi pepatah Jepang “Di atas batu pun bisa tiga tahun”.  “Ini pepatah Jepang. Artinya, kita harus hidup dengan sabar, meski seandainya harus duduk di atas batu hingga tiga tahun,” kata dia.
Goto mengaku, cara dia menulis bukanlah pakem menulis Shodo di Jepang. Mendengarkan musik shamisen dan diam sejenak sebelum menulis hanyalah untuk menenangkan hati. Cara ini adalah cara dia sendiri untuk menciptakan keindahan huruf Kanji dalam sebuah Shodo. Sedangkan kecepatan hanyalah usaha dia untuk menulis kalimat sesuai ide yang masih ada di pikirannya. “Musik hanyak untuk membantu ketenangan. Orang Jepang tidak selalu menggunakan musik untuk menulis Shodo,” tutur pria yang juga berprofesi sebagai guru Shodo ini.
Kesenian Shodo ini, diakui Goto tak selalu bisa dilakukan orang Jepang. Karena itu dia berusaha untuk terus mengenalkan Shodo ke masyarakat Jepang di dalam dan luar negeri, termasuk orang-orang yang belajar tentang Jepang. Menurutnya, ini agar Shodo terus bertahan dan tetap diakui dunia sebagai milik Jepang.
“Saya dan para seniman Shodo lainnya sangat prihatin. Sebab, orang Jepang sendiri tidak banyak yang bisa menulis Shodo,” kata dia.
Sebagai teknik paling dasar menulis Shodo, Goto menjelaskan kepada seluruh mahasiswa agar selalu menulis dengan seluruh bagian tangan. Kebiasaan orang menulis hanya menggunakan bagian tangan dari pergelangan tangan hingga jari-jarinya yang bergerak. Tapi, menulis Shodo pergelangan tangan justru harus diam. Sementara sebagai pangkal pergerakannya adalah lengan. “Jadi semua bagian tangan harus bergerak. Karena, kalau hanya pergelangan saja tidak akan bebas menulisnya,” kata Goto.
Sementara itu, Wakil Dekan Fakultas Sastra Untag Surabaya Ummul Khasnah menuturkan, kesempatan ini diberikan untuk mahasiswa agar mereka tidak hanya bisa menulis Kanji, melainkan juga punya keahlian menulis Shodo. Jika sudah mengetahui teknik dasarnya, Ummul yakin para mahasiswa bisa mengembangkan sendiri bersama klub yang sudah mereka bentuk. “Mereka sudah punya klub belajar menulis Shodo. Ini untuk mengasah kemampuan dan menambah wawasan mereka saja,” kata dosen Sastra Jepang ini. [tam]

Tags: