Ajang Konsolidasi Budaya, 1.200 Penari Merahkan Pantai Boom

Sebanyak 1.200 penari gandrung menari kolosal di Pantai Boom akhir pekan lalu.

Sebanyak 1.200 penari gandrung menari kolosal di Pantai Boom akhir pekan lalu.

Kabupaten Banyuwangi, Bhirawa
Menjelang sore di akhir pekan lalu, Pantai Boom Banyuwangi menjadi lautan merah saat 1.200 penari Gandrung unjuk kebolehan. Menarikan tarian khas yang menjadi identitas Banyuwangi, mereka ibarat bidadari turun dari langit. Ribuan penari Gandrung itu menyuguhkan tarian elegan nan memesona. Tari kolosal itu kian memukau saat seribu selendang merah Gandrung mulai terkembang.
Gandrung, seni tari khas Banyuwangi yang kerap menjadi tarian pembuka di berbagai ajang. Tari ini menyimbolkan penghormatan masyarakat Blambangan kepada Dewi Sri. Melibatkan 1.200 penari Gandrung mulai tingkat SD hingga SMA, tari ini dikemas menjadi pertunjukkan tari kolosal massal nan memukau.
Pagelaran ini bukan hanya sekadar pertunjukan tari  kolosal, tapi mengandung makna konsolidasi budaya yang melibatkan banyak pihak. “Ini juga salah satu strategi menumbuhkan kecintaan generasi muda pada seni Gandrung. Mereka tidak hanya menjadi penonton namun terlibat langsung dalam upaya pelestarian itu sendiri,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Kali ini, Gandrung Sewu mengangkat tema ‘Seblang Subuh’. Barisan lelaki pembawa penjor mengawali  pertunjukan. Mereka mantan prajurit-prajurit Blambangan yang berusaha mengumpulkan rekan-rekan seperjuangan di masa lalu. Disusul puluhan Gandrung Marsan (Gandrung Laki-laki) masuk yang membawakan tarian Gandrung bernuansa jenaka.
Awalnya, Tari Gandrung dibawakan oleh laki-laki atau yang kerap disebut Gandrung Marsan. Lambat laun, Gandrung berkembang dan banyak dibawakan perempuan. Penari Gandrung perempuan pertama adalah Gandrung Semi.
Pertunjukan kolosal dilanjutkan lewat adegan munculnya Gandrung Semi diikuti ribuan penari Gandrung berkostum merah yang menghambur dari berbagai arah mata angin lantas menyatu di satu titik. Serempak, tarian khas Gandrung tergelar dengan indahnya.
Tari kolosan disisipi teatrikal perebutan posisi sebagai gandrung, antara laki-laki dan perempuan. Fragmen ini pun dikisahkan berlangsung hingga subuh. Begitu adzan subuh berkumandang, mereka tersadar akan kesalahannya. Kedua belah pihak memohon ampun pada Yang Maha Kuasa. Mereka menyadari bahwa menjadi Gandrung adalah suratan tangannya, jadi harus dijalani, dan tak perlu diperebutkan.
Tiap penari Gandrung membawa sapu lidi yang menyimbolkan permohonan ampun kepada Yang Maha Kuasa. Ribuan penari itu mengembangkan kipas kuning diiringi kemunculan Dewi Sri di tengah para penari. Kemunculan Dewi Padi sebagai pamungkas pertunjukan tari kolosal saat hari memasuki senja.
Bupati Abdullah Azwar Anas mengatakan gelaran kolosan ini sebagai ikhtiar menjaga seni dan budaya Banyuwangi. Bukan hanya pertunjukan, tapi bagian konsolidasi budaya lintas generasi yang melibatkan bibit-bibit penari gandrung di kalangan pemuda. “Gandrung sudah ditetapkan sebagai warisan budaya,” katanya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Yanuar Bramuda mengatakan Festival Gandrung Sewu sudah digelar untuk kali ketiga dan tahun ini mengangkat tema ‘Seblang Subuh’. “Tema Seblang Subuh mengandung makna permohonan ampun kepada Yang Maha Kuasa,” katanya.
Ajang ini merupakan salah satu dari puluhan agenda kegiatan dari perhelatan Banyuwangi Festival 2014. Pekan lalu, juga telah digelar Banyuwangi Ethno Carnival yang mengusung tema ‘The Mistic Dance of Seblang’.
Puteri Pariwisata 2014 Syarifah Fajri Maulidiyah, turut hadir. “Saya tidak menyangka Banyuwangi yang kota kecil, tapi bisa mengemas pertunjukan sebagus ini. Tarian dan musiknya rancak, penarinya kompak dan atraktif, kostum merah menyala yang dikenakan pun cantik,” ujar Fajri. [nan]

Tags: