Ajarkan Ketrampilan untuk Tingkatkan Perekonomian

Semangat peserta Sekolah Rakyat di Dusun Petungulung Desa Margopatut Kecamatan Sawahan, menjadi harapan peningkatan perekonomian.(ristika/bhirawa)

Semangat peserta Sekolah Rakyat di Dusun Petungulung Desa Margopatut Kecamatan Sawahan, menjadi harapan peningkatan perekonomian.(ristika/bhirawa)

(Sekolah Rakyat Masa Kini)
Nganjuk, Bhirawa
Sekolah Rakyat, mendengar dua kata tersebut seperti membawa imajinasi kita menjelajah lorong waktu kembali masa lampau. Di mana, sekolah rakyat adalah sekolah yang dikhususkan untuk kaum pribumi yang mencetak juru tulis untuk melayani kaum kolonialis.
Berbeda dengan bayangkan kita, Sekolah Rakyat yang digagas di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Dusun Petungulung Desa Margopatut Kecamatan Sawahan adalah gudang segala ilmu. Lokasinya sengaja dipilih dekat area persawahan dan aliran sungai jernih, berdiri sebuah bangunan sederhana berukuran sekitar 3 x 6 meter, yang difungsikan sebagai ‘Sekolah Rakyat’.
Tidak seperti sekolah pada umumnya, selain tanpa dinding dan hanya beratapkan ilalang, para muridnya pun terdiri dari warga dusun yang berumur antara 35-60 tahun. Mereka adalah warga yang sudah berumah tangga. Maka tidak heran, jika ada beberapa murid wanita  yang diperbolehkan menggendong dan mengasuh anak balitanya sembari mengikuti pelajaran.
Materi pelajarannya pun sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Pengajarnya bukan guru formal, melainkan relawan yang menjadi tutor. Jam pelajaran disepakati pukul 09.00 pagi sepulang dari sawah, ladang atau memasak di dapur dan berakhir sekitar pukul 11.00.
“Kulo belajar ndamel tumbu, kersane saget disade, damel tambahan blonjo (saya belajar membuat tumbu, agar bisa dijual untuk tambahan belanja -red.),” ujar Kustiyah  (45) salah satu murid Sekolah Rakyat, saat ditanya disela-sela kegiatan Sekolah Rakyat. Ibu-ibu paruh baya ini sedang praktek membuat peralatan dapur tradisional berbahan anyaman bambu.
Sementara murid yang lain, tampak bergerombol di gubuk lain sedang mendapatkan penjelasan dari tutor tentang teknik memasak tiwul, untuk diproses dalam bentuk kemasan  siap jual. “Niki mangke disade teng kutho (ini nanti dijual di kota -red.),” ujar Ponirah (52) yang mengaku tidak bisa menulis karena tidak tamat SD.
Pengalaman unik dan berkesan juga dirasakan para pengajarnya, seperti pengakuan Siti Nur Imamah. Salah satu relawan ini menyebut Sekolah Rakyat di Dusun Petungulung adalah aktivitas pendidikan kreatif yang mengutamakan prinsip kemandirian, santun dan dapat meningkatkan taraf hidup.
Nur Imamah juga tidak mendapat upah atau gaji uang layaknya guru resmi. “Sesekali mentornya disangoni tiwul, kunir asem. Jika butuh sarana pendukung ya urunan seadanya,” ujar wanita yang sehari-hari aktif mengajar di sebuah SMA  di Nganjuk ini.
Nur Imamah, sebagai tokoh penggerak Sekolah Rakyat di Dusun Petungulung mengajak para warga untuk menjunjung nilai edukasi. Dia berpendapat, sebanyak apapun bantuan yang diberikan oleh pemerintah tidak akan berdampak banyak bagi warga masyarakat jika tanpa diimbangi edukasi dari penerima bantuan. “Banyak yang menerima bantuan tapi tidak bisa memanfaatkan dengan baik. Itu akan beda ceritanya jika penerima bantuan paham akan pemanfaatan bantuan secara efektif berdasarkan nilai edukasi,” tuturnya.
Sekolah Rakyat di Dusun Petungulung Desa Margopatut, semoga tidak hanya sekedar monumen yang dibangun kemudian diabaikan dan akhirnya dilupakan. Dengan harapan meningkatkan ekonomi kerakyatan, Sekolah Rakyat dengan model edukasi yang serupa dapat berdiri di seluruh wilayah Kabupaten Nganjuk. [ris]

Tags: