Akar Konflik Sunni-Syiah

Terjadinya Penyerangan pada perayaan lebaran ketupat warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Sampang pada hari minggu 26 Agustus 2012 oleh warga sunni menjadi suatu hal yang memantik keingintahuan penulis untuk menelaah lebih dalam sebenarnya apa yang mendasari konflik Sunni-Syiah ini. Dalam mendalami akar penyebab konflik Sunni-Syiah ini penulis mencoba menggunakan pendekatan historis dengan mengurai awal mula munculnya konflik kelompok-kelompok dalam Islam ini.
Jika kita flashback melihat sejarah dari munculnya firqoh-firqoh dalam islam ini. Kita dapat memulainya dari awal sejarah Islam dimana baik Sunni maupun Syiah memandang dirinya sebagai kepercayaan yang murni. Perbedaan Sunni maupun Syiah bukan hanya terletak pada pemahaman sejarah Islam, teologi dan hukum tetapi juga dalam keyakinan dan keimanan sehingga menghasilkan attitude yang berbeda diantara pengikut firqoh-firqoh ini.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad S.A.W. pada tahun 632 M. Mayoritas muslim pada waktu itu (nenek moyang Sunni) memilih pengganti nabi berdasarkan tradisi kesukuannya yaitu memilih orang yang paling senior dan dihormati untuk menjadi ketua kelompok (ummat). Justifikasi mereka atas tindakan mereka adalah pernyataan nabi yaitu: “Orang-orangku tidak akan bersama-sama setuju pada kesalahan”.
Perspektif Sunni memandang bahwa pengganti Nabi tidak perlu memiliki kualitas beragama yang khusus namun cukup muslim biasa yang dapat menjadi contoh dan mampu mengarahkan secara baik hal-hal yang menyangkut urusan keagamaan dan politik kelompoknya. Hal inilah yang menjadi justifkasi kaum Sunni pada kepemimpinan Dinasti Ummayah (661 M-750 M). Walaupun kurang dalam otoritas keagamaan namun Dinasti Ummayah menjamin bahwa keimanan diajarkan sesuai kebutuhan dan mendelegasikan keputusan-keputusan untuk masalah keagamaan kepada para Ulama (Lambton, 1981). Ungkapan kaum Sunni yang terkenal dalam hal ini yaitu: “Lebih baik enam puluh tahun di bawah kekuasaan tirani daripada satu hari hidup dalam pertentangan”.
Perspektif Sunni tersebut menjadi sesuatu yang dipermasalahkan oleh sebagian muslim yang lain dan Syiah menjadi kelompok muslim yang tidak setuju dengan pemahaman Sunni itu. Hal tersebut didasari juga oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah wafatnya nabi diantaranya adalah pembunuhan Ali, perubahan Kekhalifahan menjadi Monarki dan pemisahan antara aspek agama dan politik di era kekhalifahan Umayyah.
Dalam perspektif Syiah peristiwa-peristiwa tersebut diatas terjadi bukan karena takdir Allah S.W.T. Namun itu semua terjadi karena kebodohan manusia. Pangkal permasalahannya adalah kesalahan dalam memilih pemimpin. Menurut mereka (Syiah) Allah S.W.T. tidak mempercayakan kepemimpinan ditangan orang biasa yang dipilih melalui pemilihan, namun sebaliknya Allah S.W.T telah mempercayakan agama Islam ini pada keluarga nabi yang biasa disebut sebagai ahlal-byt karena dalam darah mereka mengalir darah nabi. Pendapat Syiah inilah yang menyebabkan akhirnya mereka tidak mengakui legitimasi dari tiga khalifah sebelum Ali. Dalam pandangan Syiah hanya Ali yang pantas menjadi penerus nabi karena Ali adalah sepupu, anak asuh sekaligus menantu Nabi.
Kaum Syiah memandang bahwa nabi telah memilih Ali sebagai penerusnya dan telah membuat sebuah pengakuan dalam sebuah kesempatan di Ghadir Khumm ketika beliau menjalankan prosesi haji wada’ (haji terakhir nabi sebelum meninggal dunia). Beliau mengatakan “Siapapun yang mengakui aku sebagai pemimpin akan juga mengakui Ali sebagai pemimpinnya”. Pernyataan nabi inilah yang menjadi dasar pendirian kaum Syiah dalam menyatakan bahwa seharusnya Ali yang menjadi penerus nabi setelah meninggal dunia bukannya Abu Bakar, Umar ataupun Usman.
Perbedaan pemahaman antara Sunni-Syiah ternyata tidak hanya selesai pada siapa yang pantas menggantikan nabi, namun berlanjut juga pada fungsi dari penerus nabi tersebut. Dalam hal ini Sunni memandang bahwa penerus nabi hanya bisa dilanjutkan oleh orang yang mampu berperan sebagai pemimpin kaum muslim bukan hanya dari kedekatannya denga nabi atau Allah S.W.T sehingga kaum Sunni beranggapan konsensus kaum muslim yang memilih Abu Bakar dan khilafah-khilafah berikutnya mencerminkan attitude Islam yang benar.
Hal yang berbeda ada dalam pandangan kaum Syiah, menurut mereka manusia memiliki potensi untuk melakukan kesalahan oleh karena itulah manusia membutuhkan tuntunan nabi. Setelah wafatnya nabi maka yang bisa menuntun manusia adalah orang suci dan dihormati sesuai dengan ajaran agama (Shobani 2001, p. 96). Berdasarkan hal tersebut maka menurut Syiah Keturunan Ali merupakan penerus dari nabi untuk memberikan bantuan tersebut.  
Berdasarkan penjabaran diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya awal munculnya perpecahan dalam Ummat Islam lebih banyak disebabkan oleh perbedaan persepsi tentang siapa yang seharusnya memimpin Ummat ini. Perbedaan ini menurut penulis sebenarnya merupakan hal yang wajar karena “Li Kulli Ro’sin Ro’yun” (Setiap Orang Pasti Memiliki Ide sendiri-sendiri) begitupun yang terjadi pada pertentangan antara Sunni-Syiah. Hal yang lebih penting saat ini adalah bagaimana menyikapi perbedaan tersebut. Dalam kasus Indonesia yang notabene mayoritas adalah penganut Sunni harusnya mampu untuk menyikapi perbedaan ini agar jangan sampai kejadian yang terjadi pada penganut Syiah di Sampang, Madura terulang lagi pada penganut Syiah di tempat lain.
Perbedaan antara Sunni-Syiah disini bukanlah sebenarnya pada aspek Diennya tapi lebih kepada aspek pemahaman siapa yang lebih pantas untuk menggantikan nabi. Kita berharap semoga tidak terjadi lagi konflik antara sesama penduduk Indonesia karena kita harus mengingat kembali kepada aspek kebangsaan kita yang telah di create oleh para Founding Fathers bangsa ini yaitu Bhineka Tunggal Ika (Walaupun berbeda-beda Tetapi Tetap Satu Jua).

Oleh :
M. Syaprin Zahidi, MA
Dosen Pada Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Rate this article!
Akar Konflik Sunni-Syiah,5 / 5 ( 1votes )