Akhir Tahun Target Okupansi Jatim Naik 56 Persen

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Bulan September dan Oktober terakhir ini okupansi perhotelan di Jatim mengalami penurunan hingga 54 persen dan di Surabaya 63 persen dibandingkan dengan bulan Agustus kemarin. Bahkan diperkirakan bulan November mendatang okupansi akan naik secara signifikan.
Menurut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jatim, M Soleh, saat dikonfirmasi Bhirawa, Minggu (25/10) kemarin mengungkapkan, peningkatan okupansi secara signifikan ini karena adanya penyerapan anggaran pemerintah dan kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Conference, Exhibition) diperkirakan di Jatim mencapai 56 persen dan di Surabaya sebesar 66 persen.
“Diharapkan di November ini merupakan puncaknya penyerapan anggaran baik dari pemerintah melaui kegiatan MICE supaya bisa digenjot sebab kontribusi MICE sendiri sebesar 40 persen. Selain itu juga di bulan November akan banyak wisatawan mancanegara yang akan berlibur di Indonesia khususnya di Jatim,” jelas Soleh.
Sementara diakhir tahun lalu hingga awal tahun ini sebenarnya belum ada pertumbuhan sama sekali terhadap tingkat hunian kamar, akan tetapi pertumbuhan hotel sangat besar. “Pada triwulan I,II dan III tahun lalu pertumbuhan hunian kamar sangat tinggi namun di triwulan IV mengalami penuruan drastis karena adanya Surat Edaran Menpan,” ujarnya.
Bahkan di Triwulan I 2015 tingkat hunian kamar juga masih turun, baru di triwulan II, III dan IV mulai ada kenaikkan. “Sebenarnya sama saja untuk triwulan 2014 dan 2015 ini artinya tidak ada pertumbuhan tingkat hunian kamar, akan tetapi di triwulan II, III dan IV ini lebih baguslah dibandingkan triwulan I,” tandasnya.
Untuk itu PHRI berharap pemerintah bisa berperan lebih dalam meningkatkan okupansi hotel-hotel yang mulai tumbuh dengan pesat. “Kami akan berusaha mengajak pemerintah untuk mendatangkan para wisatawan dengan mengolah tempat destinasi wisata, memperbaiki infrastruktur, membuat event-event nasional maupun internasional serta mengeluarkan anggaran untuk promosi,” harap Soleh.
Sedangkan penurunan okupansi dalam industri hotel dan restoran mengakibatkan revenue dan profit turun. Hal itu diperparah oleh naikknya biaya gaji karena UMK, biaya energi (TDL, air dan BBM) serta bahan pangan yang lebih dari 20 persen sehingga sekitar 30 ribu tenaga kerja hotel dan restoran.
“Sejak ada SE Menpan, sekitar 50 ribu tenaga kerja hotel dan restoran dirumahkan, tapi setelah SE Menpa dicabut bulan april lalu kini tinggal 30 ribu tenaga kerja yang belum terserap. Apabila keadaan semakin membaik maka kami berharap 30 ribu tenaga kerja segera terserap,” pungkas Soleh. [riq]

Tags: