Akrabi “Rantai” Gempa

Puluhan gempa tektonik (lindu), dan vulkanik (erupsi gunung berapi) terasakan hampir seribu kali, dalam sebulan dengan berbagai skala. tidak bisa tidak, wajib menyesuaikan diri dengan alam. Karena secara geologis, Indonesia tergolong menumpang di “punggung” patahan sesar gempa bumi. Bangsa Indonesia kuna terdahulu, di berbagai daerah memiliki catatan tertulis tentang lindu. Juga tuturan “wedus gembel” sebagai pertanda erupsi gunung berapi.
Yang terbaru, gempa terjadi di perairan Ujung Kulon, Pandegelang (Banten). Pusat gempa di 164 kilometer barat daya Pandegelang, berkekuatan 6,9 SR (skala Richter). Berdasar ilmu kegempaan, gempa magnitudo yang cukup besar, dan terjadi pada kedalaman 10 kilometer, diperkirakan berpotensi tsunami. Maka beberapa daerah direkomendasikan waspada tsunami. Diantaranya, Banten, Lampung, dan Bengkulu.
Namun setelah ditunggu selama 2 jam tiada gulungan ombak, maka peringatan tsunami direvisi oleh BMKG (Badan Meteorologi dan Klimatologi dan Geofisika). Peringatan potensi tsunami sangat perlu, sebagai antisipasi dini. Walau ternyata, pergerakan lempeng Indo-Australia kali ini, tidak memicu tsunami. Catatan BMKG, selama bulan Juli (2019) terjadi peningkatan gempa tektonik, sampai 841 kali. Bulan Juni tercatat 735 kali.
Gempa yang sering terjadi ber-magnitudo di bawah 5,0 SR, sebanyak 789 kali. Sedangkan yang melebihi 5,0 SR sebanyak 52 kali. Indonesia timur, terutama Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Bali, menjadi kawasan yang paling sering diguncang gempa. Terdapat 4 lindu yang berdaya rusak. Yakni, gempa Maluku Utara (7 Juli) dengan magnitudo 7,1 SR. Disusul gempa Sumbawa (13 Juli), walau hanya berkekuatan 5,5 SR.
Gempa Halmahera Selatan (14 Juli) dengan magnitudo 7,2, menyebabkan korban jiwa sebanyak 13 orang. Dan keempat, lindu di Bali Selatan (16 Juli), berkekuatan 6,0 SR, terasa hingga di Banyuwangi (Jawa Timur). Hingga kini tiada ilmu yang dapat memperkirakan waktu datang gempa. Sehingga kawasan yang pernah dilanda gempa tektonik, seyogianya menyesuaikan diri. Terutama upaya penyelamatan.
Pemerintah berkewajiban “meng-advokasi” masyarakat. UU Penanggulangan Bencana pada pasal 26 ayat (1) huruf b, dituliskan bahwa setiap orang berhak: “mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.” Bahkan pentingnya pendidikan dan latihan kebencanaan diulang lagi pada pasal 35. Didalamnya juga di-amanat-kan penegakan regulasi tentang rencana tata-ruang (RTRW).
Gempa sudah dialami masyarakat di berbagai kawasan “langganan.” Sampai terdapat mitos, dan legenda, sebagai transformasi antar generasi. Di Aceh, dikenal legenda “Mamong.” Berupa ombak besar bergulung-gulung memasuki daratan sampai jauh. Begitu pula masyarakat Jawa (dan Sunda) memiliki legenda ratu penguasa samudera selatan. Mitos yang sama dimiliki masyarakat Maluku, Lampung, Banten, dan Bengkulu
Bahkan di Lombok bukan sekadar mitos, melainkan tercatat dalam pula dalam karya sastra. Kitab “Babad Lombok,” bercerita, mendokumentasikan erupsi dahsyat gunung Rinjani. Karena selain gempa bumi (tektonik), Lombok juga sering berlabur abu akibat gempa vulkanik (gunung berapi). Juga masyarakat pulau Rote, memiliki cerita tentang lindu dan tsunami. Masyarakat meyakini, bahwa gempa bumi akan memperkaya sumber daya alam di perut bumi.
Sesunggunya Indonesia tergolong menumpang di “punggung” sesar gempa bumi. Empat lempeng tektonik di dunia (Euro-Asia, Pasifik, Samudera Hindia, dan Australia) melewati wilayah Indonesia. Namun banyak bangsa-bangsa yang menempati “punggung” tektonik, telah menyesuaikan diri. Jepang, misalnya, sukses mempersiapkan infrastruktur, dan pelatihan me-minimalisir dampak gempa.
Gempa bumi beruntun, seyogianya menambah daya me-minimalisir keparahan dampak bencana. Begitu pula gempa vulkanik, bisa diubah menjadi ekonomi kreatif, dengan kesiagaan masyarakat terlatih.

——— 000 ———

Rate this article!
Akrabi “Rantai” Gempa,5 / 5 ( 1votes )
Tags: