Aksara, Literasi dan Keberagaman

Retno Susilowati

(Catatan Hari Aksara Internasional 8 September 2019)

Oleh :
Retno Susilowati
Pegiat Literasi Keluarga. Peneliti senior pada Public Sphere Center (Puspec), Surabaya

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) baru saja usai menggelar rangkaian kegiatan Hari Aksara Internasional (HAI) Tingkat Nasional ke-54. Puncak acara peringatan diselenggarakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu, (7/9) lalu.
Penyelenggaraan peringatan ini berdasarkan hasil keputusan Konferensi PBB yang diselenggarakan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 17 November 1965 di Teheran, Iran, yang telah menetapkan tanggal 8 September sebagai International Literacy Day. Dalam setiap tahunnya, tema yang diusung dalam peringatan HAI selalu berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan tantangannya. Pada tahun 2019 ini, Unesco memilih mengusung tema peringatan HAI dengan tajuk ‘Literacy and Multilingualism ‘. Sejalan dengan itu, Kemendikbud pun turut memperingati HAI dengan mengusung tema “Ragam Budaya Lokal dan Literasi Masyarakat”.
Melalui tema tersebut, kita tentu berharap bahwa memberantas buta aksara merupakan bagian dari literasi di masyarakat. Kita memiliki budaya dan bahasa yang begitu banyak di nusantara ini, sehingga semuanya itu bisa digunakan untuk mendukung literasi ini, untuk masyarakat di sekitar masing-masing. Pada sisi lain, pemilihan tema tersebut juga bisa dibaca bahwa persoalan keberagaman sedang menjadi perhatian utama bangsa-bangsa di dunia. Perhatian dunia terhadap isu keberagaman ini tentu menjadi sangat relevan bila didaratkan dalam konteks kehidupan di tanah air.
Kegaduhan terkait isu Papua hari ini jelas tidak bisa dipisahkan dari isu keragaman budaya di tanah air. Terlepas dari itu semua, menunjukkan bahwa keragaman bila tidak dibaca secara tepat akan melahirkan sensitivas yang bisa mengoyak kebersamaan sebagai bangsa maupun kebersamaan sebagai komunitas dunia. Dengan kata lain, bahwa butuh formulasi yang tepat dalam membaca keragaman masyarakat agar bisa dikelola secara baik dan tidak menghadirkan gesekan satu sama lain. Dalam konteks inilah upaya untuk menggelorakan literasi budaya dan kewargaan menemukan relevansinya.
Secara khusus, sejatinya isu budaya dan kewargaan sudah disepakati oleh World Economic Forum pada tahun 2015 lalu sebagai satu dari enam literasi dasar yang harus dikembangkan masyarakat dunia. Keenam literasi dasar tersebut mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan. Literasi budaya dan kewargaan dimaknai sebagai kemampuan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Sementara itu, literasi kewargaan adalah kemampuan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Memahami Keberagaman
Di tengah perubahan dunia yang begitu cepat, masyarakat membutuhkan literasi budaya dan kewargaan agar dapat mempertahankan identitasnya sebagai orang Indonesia dan dapat hidup bersama dalam keberagamaan. Para pendiri bangsa menyadari bahwa diversitas yang dimiliki Indonesia adalah kekayaan dan olehnya itu harus dipertahankan. Saat ini, umumnya masyarakat Indonesia telah menyadari keberagaman yang ada, baik itu etnis, agama, suku, dan golongan. Akan tetapi problemnya adalah tidak mudah untuk mempraktikkan keberagaman itu dalam ucapan dan sikap di dunia maya maupun nyata.
Indonesia disebut-sebut oleh Elizabeth Pisani sebagai an improbable nation di dalam bukunya “Indonesia, etc”. Bagaimana tidak. Gugusan 13.000 lebih pulau, 300an suku bangsa di berbagai daerahnya dengan sekitar 700 bahasa, budaya, dan pandangan hidup yang sangat beraneka ragam. Indonesia bisa ada hari ini karena kombinasi abu vulkanik dan angin laut menghasilkan rempah-rempah, dan rempah-rempah bagi orang Eropa adalah barang mewah yang menarik mereka untuk datang berbondong-bondong dan berdagang. Tidak puas dengan perdagangan, mereka menerapkan monopoli, mendirikan sistem pemerintahan kolonial, yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat dan berujung perang kemerdekaan. Indonesia modern terlahir dari ketidakpuasan masa lalu tersebut (Pisani, 2014). Dan hari ini semua manusia yang lahir di dalam batas geografis negara yang bernama Indonesia ini “dipaksa” untuk hidup di bawah satu bendera dengan segala keanekaragaman manusianya.
Hidup dalam kebhinnekaan menuntut seluruh orang Indonesia untuk memiliki literasi budaya dan kewarganegaraan yang tinggi, karena ketahanan (survival) kita sebagai suatu bangsa negara sangat ditentukan oleh keberhasilan semua manusianya merajut sebuah anyaman sosial yang harmonis dari elemen-elemen yang beragam ini.
Literasi akan budaya dan kewarganegaraan membuat kita mengenal aneka ragam umat manusia dengan klasifikasinya: mulai dari anggota keluarga, teman-teman, tetangga, teman kantor, warga sekota, warga sesuku bangsa, dan sesama warganegara Indonesia, hingga orang-orang dari bangsa lain. Dengan literasi budaya dan kewarganegaraan kita juga belajar mengenal siapa diri kita sebagai seorang individu, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota suku bangsa, sebagai seorang warganegara Indonesia, dan sebagai umat manusia. Dengan demikian kita akan mempunyai pemahaman lebih mendalam tentang keanekaragaman manusia, kita bisa mengapresiasi keanekaragaman tersebut, dan mengasihi sesama umat manusia.
Budaya Literasi Keluarga
Keluarga memiliki peran strategis dalam pencapaian literasi anak, karena sejatinya keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama yang mampu menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai bagi setiap anak. Tingkat literasi anak berkorelasi positif dengan keberhasilan anak tidak hanya di sekolah, tetapi juga di dalam kualitas kehidupannya pada masa depan.
Literasi bukan sekadar kegiatan membaca, menulis, dan berhitung. Lebih dari itu, dalam konteks kekinian literasi merupakan kemampuan mengakses, mencerna, dan memanfaatkan informasi secara cerdas yang nantinya memengaruhi segenap aspek kehidupan. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga merupakan cikal bakal tumbuhnya generasi bangsa yang literat. Generasi yang literat akan mampu membawa bangsa Indonesia mempunyai peradaban yang tinggi sehingga dapat menyejajarkan diri dengan negara-negara maju di dunia.
Menjadi urgensi untuk menggiatkan gerakan literasi mulai dari lingkungan keluarga sebagai tempat pendidikan pertama bagi anak. Orangtua yang mempunyai otoritas penuh terhadap tumbuh kembang anak mempunyai kesempatan seluas-luasnya dalam membentuk budaya literasi sejak dini. Namun, fakta yang kita temui sehari-hari di tengah masifnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, orangtua zaman now cenderung menghabiskan waktu untuk bermedia sosial dengan gawainya, sehingga menyebabkan waktu bersama keluarga menjadi tidak berkualitas.
Terlepas dari apa pun profesi orangtua, nilai-nilai keluarga yang memegang teguh budaya literasi harus ditanamkan kepada anak sejak dini, karena anak yang literat senantiasa dekat dengan buku dan terbiasa menggunakan bahan bacaan untuk memecahkan permasalahan kehidupan. Pelaksanaan literasi harus terintegrasi dengan aktivitas keluarga sehari-hari untuk mempersiapkan generasi emas yang mampu menghadapi berbagai tantangan pada masa depan yang dinamis dan kompetitif.
Kita hidup sebagai bangsa yang penuh keragaman, baik dari budaya, bahasa, seni, suku, bangsa, agama maupun ras. Untuk hidup damai dan berdampingan dalam masyarakat yang beragam tersebut, tentu dibutuhkan toleransi antara satu sama lain. Itulah mengapa sikap toleransi perlu ditanamkan sejak dini, terutama kepada anak. Dengan menanamkan sikap toleransi, berarti membekali anak bisa memahami dan menghargai orang lain. Tentu saja ini penting sebagai modalnya kelak untuk hidup bersosialisasi dalam lingkungan yang beragam.
———- *** ————

Rate this article!
Tags: