Aksi Teror dan Hilangnya Sense of Humanity

Oleh :
Umar Sholahudin
Mahasiswa S-3 Sosiologi FISIP Unair, Dsoen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Surabaya

Aksi terorisme kembali terjadi, kali ini yang menjadi sasaran adalah kota yang selama ini dinilai aman dan stiril dari aksi terorisme, yakni Kota Surabaya. Tak tanggung-tanggung tiga gereja menjadi sasaran pengeboman (baca: bunuh diri) yang mengakibatkan belasan orang meninggal dan puluhan lainnya luka-luka. Tak hanya itu, pada malam harinya, ledakan kembali terjadi di rusunawa Wonocolo, Sidoarjo yang menewaskan tiga orang. Pagi tadi, 14 Mei 2018, bom kembali meledak di Polrestabes Surabaya. Pelakunya diduga satu keluarga (bapak, ibu dan anak). Sampai saat ini Polda Jawa Timur mengonfirmasi jumlah korban dalam teror bom di Surabaya dan Sidoarjo dalam dua hari terakhir, total korban tewas ada 28 orang baik dari terduga pelaku maupun warga. Selain korban meninggal, 57 lainnya mengalami luka-luka (Jawa Pos, 15/05/2018)
Kasus bom Surabaya bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia, sebelumnya Indonesia diramaikan dengan peledakan bom yang menguncang dunia internasional seperti Bom Legian Bali, bom halaman gedung DPR/MPR, bom Natal, Istiqlal, Cijantung, Kedubes Philipina, peledakan bom di Aceh dan berbagai peledakan bom di daerah lainnya. Tragedi kemanusiaan tersebut telah menelan ratusan nyawa dan melukai ribuan orang. Kehidupan masyarakat kita ini bagaikan apa yang diungkapkan oleh Thomas Hobes sebagai “homo homini lupus”, manusia adalah srigala bagi sesamanya. Bagaimanapun juga, aksi kekerasan apapun dalam bentuk apapun dan oleh siapapun dengan alasan apapun tak bisa dibenarkan oleh dalil apapun, hatta dalil agama sekalipun.
Aksi teorisme di Surabaya sungguh menghentakan kesadaran kita sebagai bangsa yang berbudaya. Ini sebuah rentetan tragedi yang mengerikan dalam sejarah kemanusian di Indonesia. Tragedi kemanusiaan ini bukan lagi sifatnya lokal namun sudah bersifat global dan transnasional. Pelakunyapun tak menutup kemungkinan melibatkan jaringan internasional. Pelaku terorisme domestik disinyalir memiliki jaringan internasional dengan beberapa kelompok radikal diluar negeri.
Tragedi kemanusiaan tersebut memunculkan pertanyaan besar bagi kita bangsa Indonesia yang di kenal ramah dan penuh kasih sayang. Apa sesungguhnya yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, sehingga sadisme dan kekerasan makin hari makin tumbuh subur bagaikan jamur. Bom Surabaya ini semakin menambah deretan panjang kekerasan kemanusiaan yang terjadi di bumi ibu pertiwi ini. Sudah sedemikian sakitkah sebagian manusia dan masyarakat negeri ini, sehingga mereka bertindak sedemikian agresif dan sadis. Perilaku dan tindakan terorisme tersebut sungguh sangat meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Yang lebih ironi lagi, bahwa pelaku peledakan bom tersebut di lakukan oleh orang yang tidak sembarangan dan sangat profesional. Peralatan yang digunakanpun dengan memakai teknologi yang modern.
Hilangnya Kemanusian
Orang awam tentu sulit memahami tragedi kemanusiaan ini, bagaimana mungkin orang terdidik dapat terseret menjadi manusia yang penuh dengan anarkhisme dan sadism.Jika demikian, adakah kepintaran atau pendidikan itu berfungsi untuk membimbing kehidupan, sehingga manusia itu tidak terseret dalam tindakan kekerasan.
Tragedi kamunusiaan tersebut merupakan wujud dari adanya krisis manusia modern. Perkembangan dan perubahan masyarakat yang begitu cepat telah menghasilkan orang-orang yang pandai dan pintar secara intelektual, tapi krisis secara moral dan spiritual. Orang-orang terdidik inilah yang kemudian mencipatkan sebuah peradaban dengan teknologi canggih. Namun dengan arogansinya, orang-orang terdidik bisa berbuat apa saja sesuai dengan hasrat dan kepentingannya, termasuk dengan melakukan kekerasan antar sesama. Peter L. Berger (1982:35) melukiskan manusia modern yang begitu mudahnya melakukan tindakan kekerasan itu sedang mengalami anomie, yaitu suatu keadaan di mana setipa individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini.
Daniel Bell menyebut krisis manusia modern yang begitu mudah melakukan tindakan kekerasaan itu merupakan produk dari sebuah proyek global yakni proses modernisasi. Proses tersebut telah mencerabut dan melenyapkan nilai-nilai lihur kehidupan tradisional yang digantikan oleh nilai-nilai kemodernan masyarakat yang penuh dengan keserakahan dan seribu satu nafsu untuk mengusai sebagaimana watak masyarakat modern-kapitalis. Seorang sosiolog, M.K. Merton mengatakan : bahwa pada tahapan tertentu dari struktur sosial masyarakat akan menumbuhkan suatu kondisi dimana pelanggaran terhadap norma-norma merupakan wujud reaksi “normal”. Merton berusaha menunjukkan bahwa berbagai struktur sosial yang mungkin terdapat di masyarakat dalam realitanya telah mendorong orang-orang dengan kualitas tertentu cenderung berperilaku menyimpang ketimbang mematahui norma-norma kemasyarakatan yang ada. Dengan kata lain, struktur sosial-ekonomi yang ada mempunyai “kontribusi” terhadap munculnya perilaku dan tindak kekerasan.
———— *** ————-

Tags: