Aksi Teror dan Krisis Manusia Modern

Umar Sholahudin (1)Oleh :
Umar Sholahudin
Mahasiswa S-3 Ilmu Sosial FISIP Unair, Dosen Sosiologi Unmuh Surabaya

Aksi terorisme kembali terjadi, kali ini yang menjadi sasaran adalah pusat keramaian dan objek vital, yakni tepatya di Kawasan Sarinah Jalan MH. Thmrin, Jakarta. Kelompok sipil besenjata meledakkan bom dengan daya eksplosif rendah di halaman parkir depan kafe Starbucks, Jalan Husni Thamrin, Jakarta Pusat. Dan tak lama berselang ledakan kembali terjadi di pos polisi tak jauh dari tempat itu pada 14 Januari 2015 lalu. Akibat ledakan terror ini, dikabarkan 26 orang menjadi korban; 7 orang meninggal dan 19 lainnya luka-luka.
Kasus Sarinah bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia, sebelumnya Indonesia di ramaikan dengan peledakan bom yang menguncang dunia internasional seperti Bom Legian Bali, bom halaman gedung DPR/MPR, bom Natal, Istiqlal, Cijantung, Kedubes Philipina, peledakan bom di Aceh dan berbagai peledakan bom di daerah. Tragedi kemanusiaan tersebut telah menelan ratusan nyawa dan melukai ribuan orang. Kehidupan masyarakat kita ini bagaikan apa yang diungkapkan oleh Thomas Hobes sebagai “homo homini lupus”, manusia adalah srigala bagi sesamanya.
Tragedi kemanusiaan tersebut memunculkan pertanyaan besar bagi kita bangsa Indonesia yang di kenal ramah. Ada apa sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, sehingga sadisme dan kekerasan makin hari makin tumbuh. Bom Marriot ini semakin menambah deretan panjang kekerasan kemanusian yang terjadi di bumi Indonesia ini. Sudah sedemikian sakitkah sebagian manusia dan masyarakat negeri ini, sehingga mereka bertindak sedemikian agresif dan sadis. Perilaku dan tindakan sadisme tersebut sungguh sangat meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Yang lebih ironi lagi, bahwa pelaku peledakan bom tersebut di lakukan oleh orang yang tidak sembarangan dan sangat profesional. Peralatan yang digunakanpun dengan memakai teknologi yang modern.
Yang jadi pertanyaan kemudian adalah mengapa manusia modern terdidik begitu mudah melakukan tindakan kekerasan  terhadap sesamanya?  Dalam konteks ini, Ali Shariati menarik akar permasalahan pada dimensi sistem kemasyarakatan dan idiologi dari kebudayaan modern yang kini dominan di hampir setiap penjuru dunia yang lebih berkiblat pada budaya Barat. Suatu sistem kehidupan dan budaya yang lebih mendewakan aspek materialisme dan rasionalisme dari aspek spritualisme. Sehingga kehidupan sosio-kultural, ekonomi dan hukum jauh dari spiritualitas yang hakiki. Dengan kata lain, pusat petaka kemanusian itu adalah kebudayaan meteri dan alam pikiran humanisme-antroposentris, yang menapikan kehadiran agama dan Tuhan.
Orang awam tentu sulit memahami tragedi kemanusiaan ini, bagaimana mungkin orang terdidik itu dapat terseret menjadi manusia yang tindakan kekerasan. Jika demikian, adakah kepintaran atau pendidikan itu berfungsi untuk membimbing kehidupan, sehingga manusia itu tidak terseret dalam tindakan kekerasan.
Krisis Manusia Modern
Tragedi kemanusiaan tersebut merupakan wujud dari adanya krisis manusia modern. Perkembangan dan perubahan masyarakat yang begitu cepat telah menghasilkan orang-orang yang pandai dan pintar secara intelektual, tapi krisis secara moral dan spiritual. Orang-orang terdidik inilah yang kemudian mencipatkan sebuah peradaban dengan teknologi canggih. Namun dengan arogansinya, orang-orang terdidik bisa berbuat apa saja sesuai dengan hasrat dan kepentingannya, termasuk dengan melakukan kekerasan antar sesama  sekalipun. Peter L. Berger (1982:35) melukiskan manusia modern yang begitu mudahnya melakukan tindakan kekerasan itu sedang mengalami anomie, yaitu suatu keadaan di mana setipa individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan peresaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan pentunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini.
Daniel Bell menyebut krisis manusia modern yang begitu mudah melakukan tindakan kekerasaan itu merupakan produk dari sebuah proyek global yakni proses modernisasi. Proses tersebut telah mencerabut dan melenyapkan nilai-nilai lihur kehidupan tradisional yang digantikan oleh nilai-nilai kemodernan masyarakat yang penuh dengan keserakahan dan seribu satu nafsu untuk mengusai sebagaimana watak masyarakat modern-kapitalis. Seorang sosiolog, M.K. Merton mengatakan : bahwa pada tahapan tertentu dari struktur sosial masyarakat akan menumbuhkan suatu kondisi dimana pelanggaran terhadap norma-norma merupakan wujud  reaksi “normal”. Merton berusaha menunjukkan bahwa berbagai struktur sosial yang mungkin terdapat di masyarakat dalam realitanya telah mendorong orang-orang dengan kualitas tertentu cenderung berperilaku menyimpang ketimbang mematahui norma-norma kemasyarakatan yang ada.Dengan kata lain, struktur sosial-ekonomi yang ada mempunyai “kontribusi” terhadap munculnya perilaku dan tindak kekerasan.
Kehidupan sosial kemasyarakatan kita memang saat ini sedang mengalami krisis yang begitu massif. Tidak saja terjadi pada diri individu-individunya, tetapi juga krisis itu terjadi pada tingkat struktur sosial-budaya, ekonomi, politik dan hukum kita. Struktur sosial tersebut sudah tidak mampu mengakomodir persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyrakat, struktur tersebut disfungsional. Di tengah multi krisis inilah, manusia menjadi liberal, bisa berbuat dan bertindak sesuai kehendaknya dan kepentingannya tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Nilai dan norma yang ada sudah begitu usang dan sudah menjadi fosil sosial yang sudah tidak mampu lagi mengikat antar sesamanya. Ikatan-ikatan sosial kehidupan masyarakat menjadi lepas. Mereka mencari ikatan-ikatan sosial sendiri-sendiri, dan cenderung yang menguntungkan dirinya. Kondisi ini yang di sebut Durkheim sebagai masyarakat tanpa norma (normlessnes)

                                                                                                             ———– *** ————

Rate this article!
Tags: