Aktor Kriminalisasi Ditangkap

Buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Anggoro Widjojo, tertangkap di Shenzhen, China. Ia aktor dalam kasus korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan. Dan masyarakat juga masih ingat, bahwa Anggoro – melalui adiknya, Anggodo, terlibat dalam meng-kriminalisasi KPK. Hebohnya mem-populer-kan kasus hukum “cicak versus buaya.” Yakni, memperhadapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melawan Bareskrim Mabes Polri.
Karena peng-adu domba-an itu, KPK nyaris benar-benar lumpuh. Dua pimpinan (komisioner) KPK bahkan sudah dijebloskan ke rutan Brimob. Tuduhannya, karena KPK menyadap pembicaraan telepon pejabat elit Mabes Polri, plus elit Kejaksaan Agung. Andai penahanan komisioner KPK tidak dilawan oleh segenap masyarakat, pastilah akan sangat memperlemah gerakan pemberantasan korupsi.
Gerakan menolak penahanan pimpinan KPK juga masif di media sosial memperoleh dukungan lebih dari 1,5 juta orang. Juga merebak unjukrasa di seluruh daerah di Indonesia diikuti tokoh-tokoh nasional keagamaan serta LSM. Ketua Umum Tanfidziyah PB-NU (Prof. Dr. KH Said Aqil Siraj) dan Ketua Umum PP Muhammadiyah (Prof. Dr. Din Syamsuddin) turut berunjukrasa. Kejaksaan Agung tergopoh-gopoh menerbitkan SP3, membebaskan komisioner KPK.
Saat itu muncul istilah kriminalisasi KPK. Yakni menganggap kriminal pelaksanaan kewenangan KPK. Yang dianggap kriminal adalah menyadap telepon seseorang tanpa izin. Padahal kewenangannya dijamin UU Nomor 30 tahun 2002 tentang institusi KPK. Karena itu KPK diberi alat khusus penyadapan (dibeli secara resmi dan mahal melalui alokasi APBN). Alat penyadap canggih dimaksud hanya dimiliki oleh KPK.  Namun pasti penyadapan oleh KPK tidak sembarang dilakukan, dan harus sesuai dengan SOP (standard operational prosedure). Yakni terdapat laporan dan indikasi kuat akan terjadinya tindak pidana korupsi. Sampai awal tahun 2014 ini konon masih puluhan pemilik nomor telepon yang disadap menunggu giliran diperiksa KPK. Termasuk dari kalangan DPR dan elit parpol.
Penahanan komisioner KPK dikenal dengan sebutan “cicak versus buaya.” KPK di-identikan sebagai cicak yang sedang melawan buaya (Mabes Polri). Istilah itu diberikan oleh Komjen (purn) Susnoduadji, yang kini menjadi terpidana kasus korupsi pilkada Jawa Barat. Sebelumnya, (mantan) Kabareskim Mabes Polri pernah menjadi buronan karena menghindari eksekusi untuk penahanannya.
Gerakan masyarakat anti kriminalisasi KPK mengajukan uji materi. Beruntung MK (Mahkamah Konstitusi) mengesahkan wewenang penyadapan KPK. Yang patut diapresiasi adalah inovasi MK dengan memperdengarkan isi sadapan, dalam sidang terbuka. Selasa, 3 November 2009, dimulai menjelang zuhur, terjadi situasi yang menghibur, melegakan jiwa masyarakat Indonesia. MK bagai menggelar “sidang istimewa” dengan acara mendengar rekaman penyadapan telepon seorang pengusaha asal Surabaya (Anggodo Widjojo) dengan beberapa teman istimewanya.
Komunikasi dengan dialek Surabaya kental ini diduga menjadi  skenario kriminalisasi KPK. Skenario ini boleh dikata telah meraih sukses awal, bahkan sukses fee pun sudah dibicarakan. Sidang MK berlangsung lunak diselingi joke-joke, tidak tegang. Tetapi Ketua MK Prof. Machfud MD dalam wawancara dengan televisi selepas sidang, menggelari para pejabat yang terkait (disebut-sebut dalam telepon Anggodo) sebagai binatang, menjijikkan.
Meski penuh joke, agaknya majelis MK geram, tak kalah geram dengan masyarakat yang mengikutinya melalui tayangan langsung televisi. Negeri ini bagai digadaikan di tangan cukong-cukong. Dan harus diakui, media massa, wartawan berperan besar menembus kebuntuan arus informasi hukum formalistik. Sejak awal penetapan dua pimpinan KPK (periode lalu, Bibibt dan Chandra Hamzah) sebagai tersangka, wartawan telah mengendus kebusukan permainan ke-tersangka-an.
Rabu (29 Januari 2014), aktor utama dibalik adu-domba KPK versus Polri, Anggoro Widjojo, ditangkap dari persembunyiannya selama 4 tahun.  Masyarakat mengapresiasi kinerja KPK sebagai kado khusus untuk perayaan Imlek tahun kuda kayu. ***

Rate this article!