Aktualisasi Nilai Kenabian untuk Masyarakat Digital

Oleh:
Rachmad K Dwi Susilo
Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Alumni Hosei University, Tokyo

Banyak cara mengekspresikan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi dan ritual digelar oleh rata-rata masyarakat kita. Bagi Masyarakat Jawa khususnya dan warga Indonesia pada umumnya, peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW sesungguhnya telah menjadi “bagian” hidup yang melekat pada jantung masyarakat dimana penyelenggaraan berlangsung secara meriah.

Keadaan ini seperti yang dinyatakan sosiolog, Robert K Merton sebagai indispensable atau kondisi melekat dalam sistem sosial. Sekalipun tradisi tetap diperlukan tetapi memikirkan substansi jauh lebih penting karena mengharuskan praktik-praktik amal spiritual di lapang. Namun praktik ini tidak mudah. Kita menghadapi karakter masyarakat yang tidak sama dengan karakter masyarakat sebelumnya. Kemanusiaan terombang-ambing, kekacauan, kontradiksi dan ambigu mewarnai masyarakat hari ini. Pertama, masyarakat integratif, tetapi juga fragmentaris. Perkumpulan dan kerumunan medsos mempermudah pertemuan, tetapi tidak selamanya saling tolong, melainkan berkonflik didasari kepentingan dan ego masing-masing.

Kedua, kekayaan informasi, tetapi kondisi ini membuat masyarakat berfikir dangkal. Demikian pula ciri yang ketiga, kreativitas masyarakat tampak meningkat, tetapi tidak mengerti arah yang dituju. Keempat, masyarakat terlihat spiritual. Dimana-mana digelar pengajian dan taklim, tetapi praktik religius ini dibungkus dengan suasana material. Sedangkan yang kelima, individu terperdaya, tetapi sekaligus diberdaya (Sugiharto, 2019).

Tantangan Masyarakat Digital

Jagat digital sudah mengendalikan hidup. Kita memasuki masyarakat yang ditandai dengan determinasi teknologi. Ia tidak sekedar menjanjikan kepraktisan tetapi juga menyertakan masalah-masalah yang mengikut. Salah satu contoh aplikasi dan media sosial yang sudah melekat pada keseharian kita.

Aplikasi tidak sekedar menawarkan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan, tetapi juga memuaskan kesenangan. Misalnya, belanja dipermudah yang akhirnya menuntut kita berperilaku konsumtif. Demikian pula media sosial dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan praktis, tetapi memenuhi kesenangan. Berkali-kali kita membuat video tik tok dan posting ke youtube. Kita banyak membuang waktu hanya untuk urusan yang tidak penting.

Alienasi mendandai masyarakat kita. Panggung semu menjadi simulakrum yang tidak bisa dikendalikan individu. Masyarakat dikendalikan oleh mayoritas semu yang tidak memikirkan hal substansial.Kali ini diproduksi pemain-pemain industri media massa. Konsekuensinya, hakekat atau eksistensi kemanusiaan dipertaruhkan. Sama seperti logika algoritma yang memiliki kaitan atau tali temali. Internet bukan hanya persoalan teknologi tetapi juga terkait erat dengan cara dan proses kekuasaan ekonomi dan politik dijalankan (Agus Sudibyo, 2019)

Kondisi ini yang menyebabkan aktualisasi nilai-nilai agama bertabrakan dengan nilai-nilai yang dipromosikan masyarakat digital. Ingatlah, banyak perubahan yang tidak bisa dikendalikan. Begitu kuatnya determinasi teknologi maka dibandingkan dengan masyarakat sebelumnya mempromosikan nilai-nilai agama hari jauh lebih sulit. Manusia digital kadang menang dan kadang kalah. Kondisi ini tidak mengherankan karena tidak ada realitas linier.

Aktualisasi Nilai Kenabian

Untuk menghadapi kompleksitas masyarakat digital, reaktualisasi nilai-nilai agama merupakan solusi hari ini. Hal ini karena di masyarakat Indonesia, agama masih menjadi lembaga sosial yang melekat erat. Nilai-nilai agama itu universal yang artinya berlaku dimanapun dan kapanpun, maka spirit Islam mampu sebagai basis untuk menyelesaikan persoalan individual dan kolektif pada masyarakat digital.

Islam bukan sekedar nilai dan sistem agama tetapi cara hidup (millah) yang tidak hanya mengatur urusan-urusan ritual, maka sebagai panduan hidup ia menyelesaikan masalah sosial dan dampak negatif dari perkembangan dan perubahan masyarakat digital tersebut.

Lebih jauh, Islam bukan saja sebagai instrumen untuk mengatasi persoalan, tetapi juga rasionalitas nilai yang memandu status sebagai peran-peran Tuhan di muka bumi. Dalam ungkapan Jawa dikenal memayu hayuning bawana dan dalam Islam dikenal istilah khalifah. Kedanya memiliki kesamaan arti yaitu kewajiban untuk membuat bumi menjadi makmur dan lestari. Maka, bukanlah manusia Jawa atau muslim yang baik jika selalu memproduksi kerusakan di bumi.

Nah, aktualisasi nilai-nilai Kenabian merupakan upaya menjalankan status tersebut. Aktualisasi menunjuk pada upaya mengongkretkan nilai-nilai agama pada kehidupan sehari-hari. Ia tidak hanya berhenti pada konsepsi yang diyakini individu melainkan mengejawantah pada karya-karya yang dinikmati banyak orang. Kondisi agama seperti ini yang dinyatakan oleh sosiolog Amerika, Peter L.Berger sebagai mengobjektivasi.

Berangkat dari hal ini kita perlu menentukan eksternalisasi nilai-nilai tersebut. Untuk itu, agama dikontekstualisasikan untuk menjawab persoalan-persoalan publik yang mengejawantahkan pesan rahmatal lil alamin. Efek tindakan ini tidak hanya pada individu saja tetapi juga masyakat banyak.

Langkah-langkah berikut bisa ditempuh. Sebagai insan kita perlu menyadari bahwa tanggung jawab kita adalah pribadi dan sosial. Tanggung Jawab pribadi melekat kepada upaya menjadikan agama sebagai nilai-nilai yang memandu semua aspek kehidupan baik ketika sendirian maupun pada saat berinteraksi dengan orang lain.

Tanggung jawab bersama menjelaskan bahwa aktivitas sosial kita berada pada sebuah kelompok sosial yang tidak hanya melekat urusan individual tetapi juga urusan kelompok. Watak toleransi dan kolaborasi menjadi tanggung jawab sosial. Toleransi yakni siap menghormati perbedaan dan kolaborasi yakni kesediaan untuk memaksimalkan potensi dalam kerja sama. Baik tanggung jawab pribadi maupun kelompok saling terkait dan saling mempengaruhi. Karena sumber persoalan dan sekaligus, penyelesaian sosial berasal dari keduanya.

Sosialisasi protokol kesehatan misalnya merupakan persoalan kedua-duanya. Sekalipun kita sudah menjaga sikap dengan baik dan selalu mengikuti isi protokol tetapi kalau tinggal di masyarakat yang “abai” pada pencegahan persebaran corona atau mereka yang rata-rata tidak menerapkan protokol kesehatan, pasti kita akan terpengaruh.

Akhirnya, aktualisasi nilai kenabian pada masyarakat digital menuntut dialog internalisasi dan eksternalisasi individual/sosial. Seperti logika keimanan, kadang naik dan kadang turun. Kadang dalam menjalankan nilai-nilai kenabian kita menang, tetapi pada kesempatan lain kita kalah. Menurut penulis, kondisi ini tidak menjadi soal, asalkan kita mempraktikkan dialektika tersebut terus menerus. Keadaan ini sesungguhnya produktik karena akan membimbing kita menjadi manusia yang benar baik secara individual maupun sosial.

——– *** ———-

Tags: