Akur Politik Halal Bihalal

Seluruh perkantoran (pemerintahan maupun swasta) mulai dibuka kembali setelah libur anjang lebaran. Umumnya dimulai dengan aktifitas berjabat tangan bersalam-salaman, dengan bertabur kata “maaf.” Saling meminta dan memberi maaf, lazim disebut halal bihalal. Telah menjadi adat budaya nasional, lintas agama, dan lintas kepangkatan. Bahkan seluruh kerajaan di berbagai daerah di Indonesia secara khusus menggelar acara adat berlebaran. Pesta jamuan raja bersama rakyat.
Istana negara (kepresidenan) juga menggelar acara halal bihalal setiap tahun, sejak awal kemerdekaan. Tujuannya, (sejak awal pula) untuk meng-akur-kan kembali perbedaan pandangan (politik) para tokoh bangsa, dan negarawan. Tak terkecuali perbedaan pandangan yang sangat tajam antara Soekarno (Presiden) dengan Moh. Hatta (Wakil Presiden). Juga perbedaan pandangan politik jajaran Menteri (kabinet). Termasuk dalam penyusunan UUD maupun dasar negara (Pancasila).
Berbeda pandangan politik, tidak menjadikan permusuhan permanen. Melainkan sekadar cara pandang dalam visi kebaikan tatanan kenegaraan. Halal bihalal sebagai acara resmi kenegaraan, dimulai ada tahun 1948. Suasana politik masih sangat panas. Disebabkan pemberontakan oleh DITII, upaya makar PKI, serta perang politik dengan kolonial (Belanda). Elit politik terbelah ke dalam faksi golongan-golongan, ke-suku-an, dan ke-agama-an. Niscaya membahayakan kesatuan nasional, yang baru dibangun selama 3 tahun.
Suasana politik saat ini, nyaris lebih terbelah dibanding 71 tahun yang lalu. Keterbelahan politik saat ini disebabkan pemilu serentak (pilpres dan pileg). Walau sebenarnya, pemilu 2019 mencatat sukses partisipasi politik sangat baik (81%), tertinggi selama 5 kali pemilu (sejak tahun 1999). Membuktikan keinginan masyarakat, mengukuhkan sistem demokrasi membangun pemerintahan yang legitimate (san, dan kuat) berdasar konstitusi. Yakni, UUD Bab II (tentang MPR) pada pasal 2, dan pasal 6A (tentang pilpres , dan pasal 19 (tentang DPR).
Masih terdapat amanat konstitusi mengukuhkan sistem demokrasi, yakni, UUD Bab VIIB tentang Pemilihan Umum, pasal 22E berisi enam klausul peraturan. Di dalamnya terdapat peraturan khusus tentang penyelenggara pemilu. UUD pasal 22E ayat (5), menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.”
Amanat UUD itu menjadi dasar pembentukan KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang independen (mandiri). Independen, walau setiap komisioner KPU wajib didukung fraksi parpol di DPR-RI. Sehingga komisioner KPU merupakan “kehendak bersama” partai politik. Berasal dari rakyat, disaring oleh pemerintah, serta lebih disaring dan didukung oleh seluruh fraksi parpol di DPR-RI.
Bahkan konstitusi masih menyediakan sarana pengadilan khusus altar politik dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. UUD pasal 24C ayat (1), menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final …, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Tetapi sukses pemilu serentak 2019, berdampak ke-terbelah-an elit politik secara diametral. Tokoh masyarakat juga turut terbelah secara emosional, karena perbedaan dukungan politik. Olok-olok dan penistaan melalui media sosial (medsos) makin memperkeruh suasana sosial dengan berbagai ujaran kebencian. Hoax (berita bohong), fitnah, dan perundungan, menjadi “sumbu” ledak kerukunan sosial. Suasana kebatinan sosial terbelah.
Hasil akhir pemilu, sesuai asas kontestansi niscaya selalu terdapat pemenang. Ada yang kalah. Biasa pula, kekalahan menimbulkan kekecewaan. Namun tidak boleh berlarut-larut. Toh Pemilu akan selalu berulang setiap lima tahun. Kekecewaan dampak pemilu segera bisa dihapus dengan momentum halal bihalal, dengan kesetaraan martabat. Tiada sebutan pemenang maupun pengalah. Perbedaan politik segera diakhiri, bersama lagi memajukan negeri.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: