Alam dan Keserakahan Manusia

Nurudin

Oleh :
Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Univ. Muhammadiyah Malang/UMM)

Bencana alam silih berganti terjadi di Indonesia. Bencana alam sudah menjadi kejadian rutin yang harus kita tunggu setiap tahun. Suka atau tidak suka kita harus siap hidup berdampingan dengan bencana alam.
Sebenarnarnya, bencana alam yang hampir dipastikan selalu muncul itu seharusnya telah mampu memberikan pelajaran penting bagaimana kita. Kita harus sudah bisa mengantitipasi dan memprediksinya. Alasannya, agar bencana yang selalu muncul itu tidak semakin menyengsarakan manusia penghuni negeri yang sering disebut dengan gemah ripah loh jinawi tersebut.
Namun yang terjadi kemudian adalah bencara selalu muncul dengan akibat yang semakin parah. Dampak tidak saja dirasakan pada masyarakat tetapi pemerintah sebagai pengambil kebijakan mulai kedororan pula. Bukti kedodorannya adalah karena alat-alat pendeteksi bencara dan para pemimpin kita baru berbuat setelah bencana muncul. Ibarat kaset, itu terus diputar setiap tahun
Bencara memang punya banyak aspek dan penyebab. Namun dari sekian aspek dan penyebab itu sebenarnya kita sudah bisa mencari kesimpulan utama apa yang harus dilakukan untuk mengantisiasinya. Katakanlah bencara selalau terjadi, tetapi bagaimana agar bencana itu tidak berdampak kerugian yang semakin luas? Ini menjadi pelajaran penting karena bencana alam sudah menjadi pemandangan kita hampir tiap tahun.
Beberapa pihak mengatakan memang sebaiknya kita tidak perlu menyalahkan salah satu pihak. Pendapat itu tidak salah. Hanya tidak seratus persen benar. Masalahnya, tanpa usaha mencari sebab – ada indikasi menyalahkan – kita cenderung akan apatis atas sebuah sebab atau tak ada kebijakan kongkrit ke arah penyelesaian bencana alam tersebut.

Keserakahan
Salah satu sebab utama terjadinya bencana alam adalah keserakahan manusia. Keserakahan inilah yang menyebabkan pemicu munculnya bencana alam. Jika tidak begitu, maka dampak dari bencana alam tidaklah parah.
Kita ambil contoh banjir yang melanda Malang akibat aliran deras banjir yang berasal dari Kota Batu (4/11/21). Menurut beberapa sumber terbukti bahwa 90 persen tanah yang biasanya bisa menahan lajur air sudah mulai digunakan untuk lahan pertanian, khususnya sayur-sayuran. Kita tahu, pohon hutan yang ditebangi untuk dipakai sebagai lahan mengakibatkan banjir. Bagaimana mungkin Malang yang hampir tak terdampak banjir tiba-tiba terkena bencana banjir itu? Bukankah itu akibat keserakahan manusia?
Keserakahan di sini bisa karena ambisi manusia untuk mendapat keuntungan berlipat. Pengusaha menanamkan modal di kota Batu dengan memandang sebelah mata kepentingan banyak orang. Ini tentu serakah. Pejabat yang mau dilobi dan diberi keuntungan sepihak karena investasi di Batu juga bentuk lain dari serakah. Tak terkecuali para petani yang hanya mementingkan keuntungan dan menuruti kehendak “tuan tanah” tak luput dari indikasi serakah. Bukahkan serakah sudah mewabah ada di sekitar kita?
Tentu saja bencana alam itu sudah menjadi kehendak Tuhan. Dalam hal ini kehendak Tuhan memang mutlak. Tetapi apakah kita selalu mengatakan semua itu kehendak Tuhan untuk menghindar dari sebab karena tingkah laku manusia itu sendiri?
Terkait dengan keserakahan manusia ini menjadi lebih tragis manakala didukung oleh kebijakan pemerintah (daerah). Pemerintah yang harusnya mengatur dan mengelola sumber daya alam dan manusia berubah menjadi monster yang melegalkan dan memberi peluang munculnya keserakahan manusia. Bukan rahasia lagi bahwa pendirian sebuah proyek akan diikuti dan terkait dengan kebijakan pemerintah (daerah). Sementara kebijakan tidak akan lepas dari keuntungan material yang didapatkan pejabat pemerintah. Jadi, keserakahan manusia didukung kuat dengan keserakahan pejabatnya.
Banyaknya pejabat yang terlibat korupsi itu akibat keserakahan manusia pula. Keserakahan menerima materi dari investor untuk mengijinkan sebuah proyek. Keserakahan karena membiarkan segala kebijakan daerah merugikan masyarakatnya dan hanya memberikan keuntungan pada segelintir orang.
Menjadi lebih tragis lagi manakala kebijakan pemerintah dibawah kendali segelintir orang yang mempunyai kepentingan atasnya. Maka berbagai upaya yang akan dilakukan untuk kepentingan masyarakat hanya beredar dalam wacana. Dalam praktiknya itu tak mudah diwujudkan. Karena para pejabat itu hanya menuruti kepentingan segelintir orang tersebut.

Gurita
Itulah gurita yang belum kunjung usai. Jadi kepentingan dan keserakahan investor berkait erat dengan keserakahan para pejabatnya. Akibatnya sudah bisa diduga.
Kasus bencana alam tentu tidak akan berdampak buruk jika kita punya kemampuan melakukan antisipasi dini. Sayangnya antisipasi dini ini sangat lemah atau sengaja dibuat lemah sementara korban di masyarakat semakin berjatuhan. Kasus banjir di di Malang tak akan terjadi manakala antisipasi sebab bisa dilakukan sejak awal. Salah satunya antisipasi sebab di sekitar lereng gunung Arjuna.
Jika persengkongkolan pengusana dan pejabat sudah terjadi, setiap ada perbedaan pendapat dan kritik atasnya akan diselesaikan dengan kekuasaan. Karena mereka mempunyai kekuatan politik dan ekonomi. Maka, jika keserakahan sudah menjadi nabi, kekuasaan adalah jalan keluar. Inilah gurita yang tak kunjung usai.

————– *** ———–

Rate this article!
Tags: