Alarm Bahaya Industri Perbukuan Nasional

Oleh :
Drs. Abimanyu Poncoatmojo Iswinarno., MM.
Pustakawan ahli utama di Dinas Perpustakan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur

“Pada akhir tahun 2023 ini kami berencana menutup toko/outlet milik kami yang masih tersisa. Keputusan ini harus kami ambil karena kami tidak dapat bertahan dengan tambahan kerugian operasional per bulannya yang semakin besar,”
Manajemen PT Gunung Agung Tiga Belas
Minggu (21/5/2023)

Kabar menyedihkan kembali menyentakkan kita semua. PT GA Tiga Belas atau Toko Buku Gunung Agung akan menutup seluruh gerainya di Indonesia pada akhir tahun 2023. Faktor penyebabnya tidak lain adalah, kerugian operasional yang kian membengkak setiap bulannya. Akhirnya pilihan untuk menutup toko buku yang telah berkiprah 70 tahun tidak terhindarkan. Inilah alarm (tanda) bahaya untuk dunia perbukuan nasional.

Sesungguhnya, sejak tahun 2013, Toko Buku Gunung Agung telah berjuang untuk menjaga kelangsungan usaha dan mengatasi kerugian akibat biaya operasional yang tidak sebanding dengan capaian penjualan. Kondisi ini semakin diperparah oleh pandemi Covid-19 pada awal 2020 yang membuat Toko Buku Gunung Agung tak dapat bertahan.

Direksi Toko Buku Gunung Agung dalam keterangan bersama secara tertulis pada Sabtu (20/5), menyebutkan, tahun 2020 telah menutup sejumlah gerai yang tersebar di Surabaya, Semarang, Gresik, Magelang, Bogor, Bekasi dan Jakarta. Menurut rencana, toko buku yang berdiri pada 1953 itu akan menutup gerai yang tersisa akhir tahun 2023, Kompas (22/5)

Ancaman Literasi Nasional
Tutupnya toko buku nasional merupakan alarm bahaya untuk dunia perbukuan, bahkan juga akan membahayakan bagi pertumbuhan budaya literasi Indonesia. Sebab, toko buku dan perpustakaan termasuk parameter dalam pengukuran literasi.

Ini bencana bagi bangsa apabila penutupan toko buku tidak ditanggapi dengan serius. Sebab, tingkat literasi berdampak pada kehidupan berbangsa secara umum.

Memang, masa pandemi Covid-19 mengubah perilaku masyarakat yang awalnya membeli buku langsung di toko menjadi memesan buku secara daring. Hal tersebut memengaruhi pemasaran dan penjualan buku yang secara langsung berdampak pada keuntungan serta kelangsungan usaha.

Langkah digitalisasi sampai hari ini juga belum menjanjikan bisa menjadi jalan keluar. Persoalannya adalah buku-buku tersebut tidak menemukan pembacanya di dunia digital. Lalu, di dunia cetak, (penjualannya) itu sudah semakin tergerus.

Tekanan terhadap penerbit dan toko buku terjadi meskipun keduanya telah mengambil langkah-langkah digitalisasi. Penerbit telah menerbitkan buku digital dan menjual lewat lokapasar. Namun, penjualan buku digital belum bisa mengompensasi penurunan penjualan buku cetak. Harga buku digital cenderung lebih murah. Banyak komponen dalam harga buku cetak yang hilang, seperti komponen distribusi. Ini yang orang sering lupa, digitalisasi membuat buku jadi murah. Maka, bagi penerbit, (digitalisasi) membuat bisnis tidak sustainable. Sementara itu, biaya operasional seperti pegawai dan pemeliharaan terus meningkat. Selain disebabkan pandemi, perkembangan dunia digital juga menggerus pasar buku Indonesia. Hal ini membuat dunia perbukuan perlu bersaing dengan pembuat konten yang lebih menarik, seperti audio dan video. Minat baca masyarakat Indonesia yang rendah membuat konten-konten tersebut lebih digemari.

Sedikitnya waktu yang diluangkan masyarakat untuk membaca buku, sesungguhnya sudah terasakan sejak tahun 2016 dan 2017. Saat itu, mulai banyak konten video dan audio bertebaran di internet. Hal ini dinilai cukup mengganggu minat baca, pemasaran, dan penjualan buku di Indonesia.

Data Perpustakaan Nasional RI menunjukkan, tingkat kegemaran membaca masyarakat sebesar 63,90 persen pada 2022 dengan durasi 1,6 jam (98 menit) per hari dengan lima bahan bacaan per tiga bulan. Sementara itu, laporan We Are Social pada triwulan III-2022 menemukan, rata-rata waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia berselancar di media sosial adalah 3,3 jam (198 menit) per hari setara dengan 23,1 jam (1.386 menit) setiap pekannya.

Mengutip laporan analisis internal perusahaan induk media sosial, Meta per Februari 2022, lebih dari 50 persen waktu pengguna Facebook dan Instagram dunia dihabiskan untuk menonton video. Dalam laporan pendapatan Meta triwulan III-2022, lebih dari 140 juta video di Instagram dan Facebook ditonton setiap harinya.

Nestapa Industri Perbukuan
Hari ini, industri perbukuan tengah dirundung persoalan pelik mulai dari hulu hingga ke hilir. Kondisi semakin terasa menghimpit ketika negara tidak begitu antusias untuk hadir dalam menyelamatkan industri perbukuan.

Sebagai ilustrasi misalnya, dalam proses percetakannya, kertas baca yang digunakan sebagai bahan baku utama buku masih diimpor dari luar negeri, bukannya diproduksi negeri sendiri. Kemudian dari sisi distribusi, penerbit menghadapi sejumlah tantangan terkait ketentuan pembagian royalty atau keuntungan penjualan buku yang menyentuh angka 50 – 58 persen dari berbagai toko buku besar. Angka tersebut dinilai masih memberatkan. Tak hanya itu, masalah lain muncul berupa banyaknya buku bajakan yang dijual di berbagai marketplace lantaran tidak ada hukum kuat yang mengatur.

Selain itu, masalah lain berupa aksesibilitas buku pun muncul. Khususnya kesulitan akses bagi masyarakat Indonesia di bagian Timur. Hal ini disebabkan oleh industri perbukuan yang masih terpusat di Pulau Jawa menjadi alasan mengapa tarif ongkos kirim buku ke daerah-daerah Indonesia di bagian Timur relative mahal sehingga harga buku yang dijual mau tidak mau harus dinaikkan sekitar 15 – 20 persen dari harga jual di Jawa. Situasi itu tentu memberatkan bagi konsumen kalau hanya membeli sedikit buku.

Oleh karena itu, Negara perlu hadir untuk ikut berupaya menyelamatkan industri perbukuan nasional yang seharusnya menjadi salah satu garda terdepan untuk usaha mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Upaya tersebut, bisa dilakukan dengan cara pemerintah yang tegas membentuk semacam Dewan Perbukuan Nasional yang bertugas untuk menangani permasalahan industri perbukuan nasional mulai dari hulu ke hilir.

Kemudian dari sisi bahan baku yang diimpor dari luar, pemerintah memberikan subsidi kertas kepada penerbit agar bisa memangkas ongkos cetak. Sementara itu, Dewan Perbukuan Nasional dari sisi distribusi bisa mengaitkan industri buku dengan berbagai perpustakaan umum daerah (Perpusda) di seluruh Indonesia.

Tujuannya agar Perpusda mempunyai akses terhadap berbagai buku yang bisa memperkaya wawasan masyarakat dari penerbit langsung sehingga menjadi bahan bacaan yang diakses secara mudah oleh siapapun tanpa terkecuali. Di sisi lain, di tiap perpumda juga bisa menghadirkan toko buku dan untuk mengatasi ongkos yang murah, maka pemerintah bisa bekerja sama dengan Pos Indonesia untuk memudahkan proses pengiriman buku.

Jadi penerbit tidak lagi menghadapi persoalan distribusi. Karena begitu mereka cetak dan lapor ke Perpusnas lalu terkoneksi dengan Dewan Perbukuan Nasional, pemerintah bisa membeli buku-buku sebagai bacaan di perpustakaan daerah. Tak hanya itu, penerbit juga menghadapi persoalan lain yakni proses distribusi yang belum berjalan dengan baik. Tak ayal, banyak penumpukan buku-buku di gudang penyimpanan namun hanya sedikit penerbit yang memiliki gudang layak pakai untuk menjaga kualitas buku-buku mereka. Sehingga, buku-buku banyak yang rusak dan tidak layak dijual.

Akhirnya, kebanyakan penerbit kini juga memberlakukan sistem print on demand atau mencetak buku sesuai permintaan, untuk menghindari risiko penumpukan yang membuat buku menjadi rusak sehingga harganya anjlok.

Dalam hal ini, peran pemerintah dalam bisa dalam bentuk membantu menyediakan gudang di setiap wilayah untuk industri perbukuan nasional.

Sungguh, di tengah krisis pemikiran dan nilai saat ini, industri perbukuan ini perlu mendapatkan perhatian. Artinya, di tengah segala tantangan dan perubahan, penutupan Toko Buku Gunung Agung menjadi simbol bahwa literasi di Indonesia masih membutuhkan perhatian lebih. Ini adalah alarm bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam upaya menguatkan literasi di negeri ini, untuk generasi masa depan.

——— *** ———-

Tags: