Aliran Kurs “Jalan Tikus”

Rupiah masih tertekan sampai pertengahan September, walau telah menunjukkan pemulihan (tipis). Keteguhan pemerintah mengelola fiskal, dan surplus cadangan devisa, menjadi faktor penguat rupiah. Pada pembukaan awal pekan (bersamaan tahun baru Hijriyah), pasar uang memperdagangan rupiah sudah menguat hingga Rp 14.850,-per-US$. Telah keluar dari kritis, tidak sampai terjerumus pada ambang psikologis (Rp 15.000,- per-US$).
Tetapi masih perlu pengaturan pengeluaran dolar, tak terkecuali memulai pembiasaan pembayaran gaji tenaga kerja asing (TKA) dengan rupiah. Pemerintah juga perlu menggagas manajemen “jalan tikus” pengeluaran dolar AS. Yakni, menambah satu tahap proses penukaran uang rupiah ke dolar AS. Sehingga setiap penukaran rupiah harus melalui mata uang asing lain (yen Jepang, riyal Arab Saudi, atau ringgit Malaysia) sebelum menjadi dolar AS.
Tambahan proses penukaran uang akan menambah varian kebutuhan mata uang asing. Menjadi lebih beragam, walau terkesan berliku-liku bagai “jalan tikus.” Dalam jumlah besar, sekaligus akan bermakna “menanam jasa” terhadap negara sahabat yang sama-sama terdampak pelemahan mata uang. Bahkan jika di-formal-kan sebagai kerjasama, nilai tukar akan naik, sebagai balas jasa metode “jalan tikus.”
Depresiasi rupiah terhadap dolar AS, terjadi sejak awal Oktober. Bersamaan dengan depresiasi beberapa mata uang di Asia. Rupiah tergolong paling merosot dibanding mata uang lain di Asia Tenggara. Namun sebenarnya, kurs rupiah pernah menapaki tren positif bersamaan dengan sukses penanganan terorisme di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Rupiah meroket Rp 70,- per-US$ (menguat 4,97%). Namun hanya bertahan 4 hari.
Berdasar grafis Bank BUMN, rupiah kembali melemah drastis hingga mencapai Rp 14.133 pada pertengahan Mei 2018. Bank Indonesia (BI) telah banyak melakukan intervensi menghambat penurunan laju nilai rupiah. Tetapi terasa masih kurang. Karena peningkatan nilai dolar AS bersumber pada utamanya. Yakni, peningkatan suku bunga oleh The Fed (bank sentral AS). Sehingga masyarakat AS lebih suka menabung. Tak terkecuali dolar yang di-investasikan di luar negeri turut balik ke AS.
Maka perlu di-inovasi pengaturan (dan pengawasan) penukaran rupiah menjadi dolar AS. Pengawasan diperlukan sesuai kebutuhan riil, dan menghindari spekulasi provit taking yang semakin menjerumuskan. Selain itu, pengawasan “pembelian” dolar, bisa dilakukan dengan cara penukaran berjenjang. Termasuk dengan metode “kurs jalan tikus.” Yakni, setiap penukaran rupiah ke dolar AS, harus melalui mata uang asing lain. Misalnya, dari rupiah ke riyal, lalu berlanjut ke dolar AS.
Awal pekan ini kurs dolar AS senilai Rp 14.860,-per-US$. Sejak dipagu sebesar Rp 13.400,- (dalam asumsi APBN 2018 ditetapkan pada Oktober), rupiah telah terkoreksi sebesar 10,89%. Diperlukan berbagai cara memperkuat manfaat rupiah, termasuk menggelontor kredit sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Karena hampir seluruhnya (99%) berbasis rupiah. Sehingga rupiah terasa lebih bermanfaat (dibutuhkan) dan tetap berdaulat di dalam negeri.
Bahkan rupiah juga berdaulat di Arab Saudi. Hal itu dirasakan jamaah haji Indonesia, bisa membeli berbagai macam barang dan kebutuhan dengan menggunakan uang rupiah. Pecahan rupiah Rp 50 ribu senilai dengan 13 riyal Saudi Arabia. Membanggakan! Hebatnya, walau selama setahun terkoreksi sebesar 10,89%, ternyata tidak menyebabkan kenaikan harga pangan, relatif stabil. Inflasi hanya sebesar 2,13%.
Bahkan pada saat tertekan hebat (bulan Agustus) tercatat deflasi sebesar 0,05%. Di negara lain, depresiasi mata uang inharent dengan melambungnya inflasi. Maka sebenarnya rupiah masih memiliki pondasi ke-ekonomi-an yang kuat. Namun diperlukan pengaturan penukaran rupiah dengan “jalan tikus,” untuk menjerakan spekulan.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: