ALIS

ALIS

Oleh :
Ana Khasanah

Sekarang sudah jam lima kurang lima belas menit tetapi kedua sahabatku, Sofia dan Maria sudah sibuk dengan pensil alisnya. Bagi mereka alis adalah mahkota yang berharga dan menjadi satu hal paling penting untuk menunjang penampilannya, maka sudah tak kaget lagi ketika hampir dua minggu ini mereka belajar keras untuk bisa membentuk alis yang sempurna.

“Alis sempurna itu yang ujungnya lancip,” kata Maria.

“Bener banget, terus kalau ingin lebih sempurna lagi kita harus membuat alis yang tetap terlihat natural,” tambah Sofia.

“Apakah alismu kedutan lagi?” tanya Maria.

“Kamu harus percaya ya, tadi alis sebelah kiriku kedutan lagi.”

Kedutan lagi? Sebelah kiri? Aku dan Maria mendadak diam. Walaupun aku merasa bosan dengan obrolan mereka tentang alis tapi kalau boleh jujur aku mulai tertarik dengan istilah kedutan di alis mata.

Menurut primbon Jawa yang diceritakan oleh Sofia, ketika alis mata sebelah kanan kedutan artinya orang itu akan segera mendapatkan kabar baik entah itu rezeki atau yang lainnya. Dan sebaliknya ketika yang sebelah kiri kedutan maka akan segera mendapatkan kabar yang kurang baik.

Hal ini bermula dari mata sebelah kiri Sofia yang terus kedutan sewaktu kami di bus menuju tempat magang yakni indekos yang kini kami tempati. Aku dan Maria tidak terlalu menanggapi sebab kami tidak percaya dengan hal semacam itu tetapi siapa yang menyangka bahwa kami harus mengalami pengalamman yang kurang baik, kami bertiga tertidur di bus yang kami tumpangi dan sewaktu kami bangun langit sudah dalam keadaan gelap. Gelap total. Tidak ada yang kami lihat dari balik kaca bus. Dan lebih parahnya kami diturunkan di pinggir jalan sebab supir dan kondektur tidak tau persis alamat yang akan kami tuju.

Bayangkan dengan kondisi tubuh yang sudah lelah letih lesu kami harus menyeret koper sepanjang jalan mencari sebuah tempat untuk istirahat semacam minimarket misalnya, tapi lagi lagi kami sedang tidak berada di tengah perkotaan dan tempat semacam itu akan susah kami temui, sepanjang kanan jalan yang kami lihat hanya satu dua rumah yang sudah gelap dan sebelah kiri adalah lautan dengan angin yang cukup kencang. Tepat kami sudah berada di kota garam, Rembang. Dengan sisa tenaga yang kami punya, kami bersyukur akhirnya malam itu kami bisa istirahat di sebuah tempat ibadah, seorang pengurus masjid memberikan izin kami untuk memakai serambi masjid.

Kemudian kejadian yang kedua terjadi pada hari pertama magang, sejak sebelum berangkat ke tempat magang alis sebelah kanan Sofia mulai kedutan terus-menerus maka dengan candaan aku dan Maria menunggu-nunggu kabar baik itu datang. Dan benar, kabar baiknya adalah semua mahasiswa magang mendapatkan jatah makan siang juga gaji harian yang akan diterima setiap akhir pekan. Dari sanalah kami mulai tertarik dengan apapun yang menyangkut alis mata terlebih untuk Sofia dan Maria. Tetapi dari semua itu sebenarnya gajian di akhir pekan menjadi hal yang paling membahagiakan untuk anak kos. Hari Sabtu menerima gaji dan hari Minggu bisa untuk membayar tosa menuju gereja dan setelahnya bisa pergi berbelanja, seperti membeli buah sesekali, persediaan makanan untuk dikos dan tentu membeli pensil alis.

Lagi lagi bersangkutan dengan alis. Maria bilang ia baru belajar menggunakan pensil alis belum lama ini bahkan ia bercerita saat masih tinggal di asrama susteran tidak pernah terpikir akan menggunakan pensil alis. Begitu juga dengan Sofia sewaktu masih di pesantren ia sama sekali tidak mengenal pensil alis, ia bilang hanya tau celak itupun karena sunah rosul. Dan aku, jangan berbicara denganku soal pensil alis sebab aku tidak menyukai apapun selain memasak.

Dan setiap malam, hampir dua minggu ini semua berjalan dengan pensil alis. Karena di tempat magang dilarang menggunakan make up alhasil mereka memakainya hanya dikosan saja atau ketika mereka akan pergi ke gereja. Dan sepertinya aku akan mabuk selama tiga bulan ikut magang di sini, aku akan terus melihat dan mendengarkan obrolan mereka tentang pensil alis dan semua hal yang berhubungan dengan alis yang seolah tidak ada obrolan yang lain.

“Aku suka warna hitam soalnya kan pakai hijab biar netral aja.” Kata Sofia.

“Mungkin karena rambutku sedikit terang jadi aku suka warna yang terang juga,” tambah Maria tak mau kalah.

Aku juga sampai hafal dimana letak pensil alis berada, pensil alis ada dimana-mana, di atas kasur, di atas lemari pakaian bersama dengan lilin patung bunda Maria dan terkadang ada di atas tumpukan sajadah dan mukena. Bahkan pensil alis selalu ada di samping mereka ketika usai beribadah. Baik, kamar kos ini memang penuh pensil alis tetapi yang terpenting mereka tidak menyuruhku untuk ikut menggambar alis dan turut beribadah bersamanya sebab mereka tau bahwa aku hanya suka memasak dan agamaku adalah kebaikan.

“Aku sebenarnya kurang percaya dengan primbon kedutan di alis mata sebab selama belasan tahun tinggal di Sumatera aku belum pernah mendengarkan cerita itu,” kata Maria.

Dan soal kedutan di alis mata sebelah kiri Sofia hari ini, aku dan Maria telah membaca di sebuah artikel bahwa penyebab seseorang yang mengalami kedutan di alis mata baik sebelah kanan atau kiri karena orang tersebut terlalu sering mengonsumsi minuman yang mengandung kafein dengan berlebihan, stress dan kurang tidur. Dan Sofia memang cocok dengan apa yang disampaikan oleh penulis dalam artikel tersebut, ia suka sekali minum teh dan kopi sehingga ia sering mengalami insomnia. Tapi untuk berjaga-jaga aku ingin menunggu kabar kurang baik yang akan terjadi dengannya nanti.

Sibuk dengan pensil alis membuat mereka tidak sadar bahwa langit dari balik jendela kamar sudah mulai gelap. Sebentar lagi aku akan terbahak-bahak ketika melihat mereka uring-uringan sebab tidak mengabaikanku dan hanya peduli dengan pensil alisnya.

Benar, Ana mendekatiku, membuka tubuhku dan mendapati beras yang masih utuh. Ia lupa belum menekan tombol cooking. Kemudian ia memakiku, memaki pensil alis, memaki alis mata dan memaki dirinya sendiri. Dengan ini aku berhasil menyingkirkan pensil alisnya sejenak dan dengan terpaksa mereka menunda buka puasa sembari menungguku memasak kembali sampai menjadi nasi.

“Selamat berbuka puasa,” ucap Maria.

“Selamat berbuka puasa.”

Untungnya mereka tidak pernah mengajakku memakai pensil alis dan berbuka puasa seperti hari ini sebab mereka tau bahwa aku hanya suka memasak dan agamaku adalah kebaikan.

Kebumen, 2020

Ana Khasanah. Lahir di Kebumen, 23 tahun yang lalu. Buku antologi puisinya berjudul “Cermin” terbit 2018 lalu. Tulisannya dimuat dibeberapa media seperti Radar Banyumas, Harian BMR FOX, Iqra.id dll. Saat ini berdomisili di daerah kelahirannya. Dapat dihubungi di khasanah.anaa@gmail.com.

———– *** ————

Rate this article!
ALIS,5 / 5 ( 1votes )
Tags: