Alokasi Berkeadilan Mengurangi Kemiskinan

(Formula (Baru)Pagu Dana Desa 2018)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Tidak mudah menggunakan dana desa (DD) yang ditransfer dari APBN (Anggaran Pendapaatn dan Belanja Negara). Terbukti, lebih dari 96% DD masih tersimpan di rekening kas umum daerah (RKUD) kabupaten dan kota.Kepala Desa belum bisa mengambil, karena terkendala administrasi. Termasuk laporan penggunaan DD tahun lalu. Sehingga DD masih menjadi rezeki besar pemerintahan desa, tetapi mengunduhnyaperlu pendampingan (transparansi) manajemen perdesaan.
Pemerintah (pusat) telah men-transfer anggaran DD ke RKUD sebesar Rp 5,2 trilyun. Kiriman APBN itu untuk 30.448 unit pemerintahan desa. Namun hanya 1.188 Kepala Desa yang telah tandatangan penerimaan. Artinya, yang telah tersalur ke rekening kas desa, hanya 3,9%. Kendala terutama pada tata-kelola pemerintahan desa. Umumnya tidak siap mengelola dana besar (sekitar Rp 800 juta per-desa). Karena DD baru dimulai selama tiga tahun terakhir.
Hanya 18 kabupaten yang telah siap menerima transfer DD dari APBN. Berdasar catatan Kementerian Keuangan (per- 1 Maret 2018), masih Rp 134,65 milyar dana dari kas negara yang dikeluarkan ke rekening daerah kabupaten. Sisanya Rp 5 trilyun lebih masih utuh di kas negara. Kendala utamanya, karena pemerintah kabupaten (Pemkab) belum menerbitkan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang tatacara pembagian dan penetapan rincian dana per-desa.
Kendala penyaluran DD dari rekening Pemkab ke desa, masih menunggu kesiapan pemerintahan desa (Pemdes). Syarat yang cukup sulit dikerjakan, adalah laporan Pemdes tentang penyaluran DD tahun lalu. Setidaknya telah lebih dari 50% telah digunakan untuk pembangunan desa. Itu membutuhkan auditkeuangan, lazimnya dikerjakan oleh akuntan publik profesional. Juga telah dipapar dalam LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) tahunan Kepala Desa di hadapan rapat umum desa.
Transfer dari pusat ke daerah dilakukan setelah Pemda memenuhi persyaratan. Yakni, telah terdapat Perda tentang dana desa, yang memuat turan tentang alokasi dana desa serta dana bagi hasil. Tidak mudah karena Pemkab harus menyisir laporan keuangan seluruh desa. Ironisnya, tidak satupun desa menggunakan jasa audit akuntan publik. Begitu pula penyusunan arus kas desa, hanya dikerjakan oleh pegawai desa dengan kompetensi di bawah level ahli madya.
Pemanfaatan Maksimal
Berdasar UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, pelaksanaan keuangan desa, akan diberlakukan seperti APBD dan APBN. Misalnya pada pasal 79 di-amanat-kan sistem perencanaan pembangunan desa melalui musrenbang-des. Pada ayat ke-2, disyaratkan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (6 tahun), sesuai visi dan misi kampanye kepala desa terpilih. Juga wajib menyusun RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Desa) tahunan yang selanjutnya menjadi APB-Des.
Secara bertahap, kelak, desa juga bisa turut menyokong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah berjanji, setiap desa akan menerima dana transfer (minimal) sebesar Rp 1 milyar per-tahun. Janji itu bukan muluk-muluk, karena sejak tahun 2016, kekuatan APBN telah sebesar Rp 2.000-an trilyun lebih. Jumlah desa ditaksir sebanyak 74 ribu unit pemdes tersebar di 434 kabupaten dan kota.
Jadi, hanya dibutuhkan anggaran sekitar Rp 100-an trilyun. Itu hanya sekitar 3,5% dari kekuatan APBN. Terutama untuk penanggulangan kemiskinan melalui cara yang lebih mulia. Bukan sebagai BLT (bantuan langsung tunai), melainkan sebagai penguatan sumber daya ekonomi.Berdasar data Kementerian Desa PDTT, rekapitulasi pemanfaatan dana desa dari 2015 hingga 2017 telah sesuai peruntukan.
Prioritasnya menunjang aktivitas ekonomi masyarakat. Yaknipembangunan jalan desa 21.709 Kilometer (km), jembatan 1.960 km, pasar desa 7.161 unit, BUM Desa 21.811 unit. Serta prasarana pertanian berupa embung 2.047 unit, irigasi 41.739 unit dan sarana olahraga 2.366 unit. Didesa pesisir juga digunakan untuk pembangunan tambatan perahu 5.116 unit.
Selain infrastruktur desa, DD juga digunakan untuk peningkatan kualitas lingkungan hidup masyarakat desa. Diantaranyapenyediaan air bersih 6.432 unit, MCK 82.356 unit, Polindes 6.705 unit, drainase 590.371 unit.Juga pendirian pendidikan anak usia dini (PAUD) 21.357 unit, Posyandu 30.244 unit, dan penggalian sumur 45.865 unit. Tetapi masih banyak infrastruktur desa yang harus diperbaiki, namun tidak boleh menggunakan dana desa (DD).
Misalnya, perbaikan dan penambahan irigasi pertanian sekala besar (antar-desa dan antar-kabuapetn), tetap menjadi kewajiban Pemkab dan Pemprop. Begitu pula pembangunan jalan antar-desa, serta penanaman hutan mangrove penahan abrasi air laut. Porsi DD hanya untuk pembangunan aset desa, dan bantuan prasarana lain kegiatan kelompok masyarakat desa. Diantaranya, boleh digunakan untuk rehab tempat ibadah (masjid jami’) desa.
Pro “Kantung” Kemiskinan
Tahun (2018) ini, pola DD mengalami perbaikan dalam pagu per-desa. Terdapat tiga jenis pagu, yakni, alokasi dasar (AD), alokasi afirmasi (AA), dan alokasi formula (AF). Pada pagu AD, transfer dari APBN sebesar Rp 46,2 trilyun, dibagi secara merata kepada 74.958 desa. Jadi, setiap desa akan memperoleh jatah AD sebesar Rp 616,345 juta. Selain jatah (AD) yang sama, akan ditambah dengan jatah AA, yang akan dibagikan kepada desa dengan kriteria tertinggal dan sangat tertinggal, yang memiliki penduduk miskin terbesar.
Maka jatah DD kategori AA, sebesar Rp 1,8 trilyun, memprioritaskan desa di pelosok, terisolir, dan jumlah penduduk miskin. Semakin banyak penduduk miskin, jatah tambahan AA semakin besar. Boleh jadi, desa-desa di Papua Barat, Papua, dan NTT (Nusa Tenggara Timur), akan mendominasi tambahan jatah AA. Pola ini disebut sebagai “pembelaan” terhadap penduduk miskin struktural. Kondisi perdesaan yang nyaris tidak merasakan manfaat pembangunan.
Kemiskinan struktural, sebenarnya bukan disebabkan potensi sumberdaya alam (SDA) yang kurang, dan tanah yang tidak subur. Melainkan ke-terisolasi-an, dan topografi daerah. Menyebabkan sulitnya pembangunan infrastruktur konvensional. Sehingga desa miskin struktural memerlukan inovasi. Bahkan perlu pemasalan teknologitepat guna pengadaan infrastruktur. Misalnya, yang terpenting, penyediaan listrik (batrei) tenaga surya. Serta jembatan dan jalan “pembuka” isolasi.
Tetapi jatah desa miskin dan tertinggal (pola AA), tidak boleh digunakan untuk pengadaan listrik desa, serta jalan dan jembatan antar-desa. Juga tidak boleh untuk pembangunan sekolah. Jatah AA hanya digunakan untuk pembangunan MCK kelompok, polindes, dan posyandu. Sedangkan infrastruktur lain (jalan, akses pendidikan, dan kesehatan) akan diurus oleh Kementerian terkait.
Sedangkan pagu ketiga, pola AF, sebesar Rp 12 trilyun, diberikan berdasar jumlah penduduk (berbobot 10%), jumlah penduduk miskin (berbobot 50%), serta indeks kemahalan (berbobot 25%). Lagi-lagi, desa dengan kondisi kemiskinan struktural akan memperoleh jatah lebih besar. Seyogianya, terdapat pendampingan sistemik terhadap alokasi dana desa dengan pola AA dan AF. Pendampingan diperlukan sejak perencanaan sampai evaluasi, sehingga bisa dipastikan ketepatan penggunaan.
Pengelolaan dana besar, niscaya membutuhkan perencanaan (dan pengawasan). Diperlukan aparat desa yang lebih cerdas dan memiliki dedikasi (moralitas) memadai.Perlu perlu pula pendampingan tim anggaran, untuk menghindari kesalahan administrasi penggunaan anggaran, yang berbuntut Pengadilan Tipikor. Jika tidak waspada, akan banyak kepala desa atau perangkat desa mendekam di penjara.
——— 000 ———

Tags: