Alumni SMAN 1 Dringu Kota Probolinggo Gagas Warung Bayar Seribu

Warung Baru (Bayar seribu) gagasan alumni SMAN1 Dringu laris manis. [wiwit agus pribadi/bhirawa]

Kota Probolinggo, Bhirawa
Rasa bersyukur bisa diwujudkan dengan berbagai macam cara. Salah satunya yakni dengan beramal lewat makanan murah. Inilah konsep Warung Baru (Bayar Seribu). Warung bentukan pemuda di Kota Probolinggo.
Usai salat jumat, tampak sejumlah pemuda sibuk dengan barang dagangnya. Ada yang menyiapkan nasi, ada yang memasang banner. Sebagian ada yang menata lauk dan perabotan lainnya.
Tak terkecuali sebuah lapak bernama Warung Baru. Hanya bermodalkan meja kecil dan banner pengenal, sejumlah pemuda tampak memasang senyum. Mereka membuka warung tersebut dengan tulus dan tanpa beban. Sebelum warung dibuka saja, sejumlah tukang becak dan juga penjual krupuk keliling, mengantre.
Sejumlah pemuda yang menata lapaknya, tepat di depan Museum Probolinggo saban Jumat membuka Warung Nasi Baru (Bayar Seribu). Tujuannya yakni peduli sesama. Wajar saja jika orang yang pernah tau dan terbiasa dengan warung dadakan tersebut langsung mengantre. Sebab hanya dengan seribu, mereka sudah bisa mendapatkan sebungkus nasi.
Rupanya Warung Nasi Baru yang telah berjalan dua bulan terakhir tersebut digagas oleh 13 orang. Mereka merupakan alumni dari SMAN 1 Dringu. “Kami alumni SMAN 1 Dringu tahun 2010,” terang Abdullah, 28 koordinator Warung Nasi Baru, Jum’at 3/1.
Menurut pria asal Kecamatan/Kelurahan Kanigaran, Kota Probolinggo, latar belakang terbentuknya perkumpulan peduli sesama, karena kesadaran yang ada. Menurutnya, komunitas peduli sesama yang baru terbentuk dua bulan ini, berkomitmen untuk menjaga dan beramal kepada sesama.
Hingga kemudian muncul ide Warung Nasi Baru. Jadi kata Baru itu kepanjangannya Bayar Seribu, tandasnya.
Sasaran awalnya yakni kaum duafa dan fakir miskin. Sehingga Warung Nasi Baru yang dibuat dan dibuka saban Jumat itu menjual sebungkus nasi seharga seribu. “Kami buka tiap Jumat di sini (Jl Suroyo) mulai pukul 14.00 hingga habis,” tuturnya.
Mengapa dijual seribu dan tidak diberikan secara cuma-cuma alias gratis? Abdullah menegaskan bahwa harga yang dibanderol menurutnya sangat murah. Namun tidak digratiskan dengan mempertimbangkan rasa kehormatannya. Baginya, harga yang diberikan tersebut merupakan bentuk penghormatan atas jenih payah yang dilakukan.
Oleh sebab itu sebagai bentuk penghargaan bagi mereka yang bekerja, baik dari kaum duafa dan fakir miskin, tetap bisa membeli nasi bungkus.
Disinggung mengenai masakan yang dijual, pria yang saat itu bersarung tersebut mengatakan bahwa dari 13 anggota yang tergabung dalam kelompok atau komunitas peduli sesama, memakai sistem giliran. “Misalnya Jumat ini yang bagian masak si A, Jumat depan gantian. Termasuk menunya,” katanya.
Mengenai dana yang didapatkan, Abdullah mengaku, mulanya hasil dari iuran kelompok. Namun lambat laun mulai ada sejumlah orang banyak mendonorkan dananya. “Ada beberapa yang juga membantu memberikan sumbangan. Jadi dana yang terkumpul, termasuk hasil jualan, dibuat untuk hari Jumat selanjutnya,” paparnya.
Tiap kali mereka membuka lapak, cukup banyak beras yang dimasak. Minimal 8 kilogram beras, dan bisa menjadi 80 bungkus lebih.
“Awalnya ragu bisa laku apa tidak. Namun Alhamdulillah, hingga saat ini selalu habis cepat terus. Dan ke depan kami akan terus tambah,” lanjutnya.
Ia berharap gerakan kecilnya dapat membantu meringankan warga yang kurang mampu, Serta apa yang telah diberikan menjadi amal yang barokah baik baginya maupun bagi pendonor lainnya, tambahnya.(Wap)

Tags: