Amanat Konstitusi, Mudahkan Ibadah Haji

(Memanfaatkan Dana Abadi Umat)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Semangat menunaikan ibadah haji tetap bergelora, meski harus sabar meng-antre sampai belasan tahun. Andai baru mendaftar haji tahun ini, maka perkiraan berangkatnya pada tahun 2030. Kecuali terdapat takdir lain. Inilah realita keyakinan masyarakat, bahwa berangkat menunaikan ibadah haji, merupakan panggilan Ilahi. Bukan ditentukan oleh antrean. Bahkan yang tidak pernah antre (mendaftar), tetap berkesempatan memperoleh panggilan ber-haji.
Urusan ibadah haji, bukan hal baru. Pemerintah maupun masyarakat sejak lama telah melaksanakannya. Konon sejak abad ke-16, telah terdapat rombongan jamaah haji dari Jawa, Sunda, Banjar, dan Aceh. Berdasar catatan sejarawan Ludivico di Varthema (Lewis Berthema) di Makkah pada 903 H (tahun 1504 Masehi). Disebut adanya jamaah haji dari wilayah timur, telah banyak berdatangan ke Tanah Suci. Yang dimaksud wilayah timur, termasuk Kepulauan Nusantara.
Kisah orang Nusantara berhaji, bersamaan dengan munculnya kerajaan Islam di sepanjang pantura Jawa (antaralain Demak dan Cirebon). Seluruh kerajaan dipimpin oleh muslim trah habaib (keturunan Kanjeng Nabi SAW). Begitu juga kerajaan Aceh, dan Banjar. Berhaji menggunakan kapal laut yang biasa melakukan perdagangan antar-bangsa. Tak jarang dilakukan secara estafet, berganti kapal beberapa kali di berbagai negara.
Tumbuhnya tren ber-haji yang pesat dari Nusantara (pada abad ke-18), menyebabkan banyak maskapai Inggris, melabuhkan kapal di beberapa dermaga di pulau Jawa. Kapal Eropa lebih diminati, karena lebih besar. Tak lama, VOC (Belanda) tak tinggal diam, turut bersaing mengangkut jamaah haji. Jalur pelayaran dari Jawa ke Jeddah tumbuh subur. Berebut pengangkutan jamaah haji, sampai memicu perang antara Inggris dengan VOC (Belanda).
Pertumbuhan lebih pesat telah terjadi sejak pertengahan abad ke-18. Salahsatu buktinya, banyak ulama (alumni timur tengah dan Mesir) asal daerah-daerah se-Indonesia, mengirim santrinya bermukim di Makkah atau Madinah. Beberapa nama kesohor, yang paling awal adalah Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Bermukim di Makkah dan Madinah selama 35 tahun, sejak sekitar tahun 1730 masehi.
“Jejak” Indonesia Di Makkah
Setelah ulama Banjar, disusul ulama Betawi, Syeh Junaid Al-Batawi, yang lahir di Pekojan, Jakarta. Diperkirakan berangkat ke Makkah pada pertengahan tahun 1760-an, bermukim hingga wafatnya. Tugasnya sebagai ulama (mufti dan imam) di masjidil Haram (Makkah) digantikan putranya, syeh As’ad Junaid. Sedangkan dua putrinya tinggal di Jakarta, menikah dan menurunkan guru-guru agama di Jakarta.
Jejak ulama Indonesia yang kesohor sebagai ulama dan mengajar di masjidil Haram, dilanjutkan oleh syeh Nawawi Al-Bantani. Lahir di kampung Tanara, Serang, Banten, pada tahun 1815 dan meninggal pada tahun 1897 di Mekah. Selain memiliki trah intelektual, syeh Nawawi, juga berdarah “biru” karena keturunan ke-12 Sultan Banten. Silsilahnya tersambung dengan Sunan Gunungjati. Kelak, syeh Nawawi al-Bantani, diakui sebagai “bapak” kitab kuning dari Indonesia.
Ratusan karyanya, berupa kitab kuning, hingga kini diajarkan di pesantren kuna, di seluruh dunia (terutama di Indonesia). Kelak, seluruh keturunannya juga mendirikan pesantren di Jawa (Banten, Cirebon, Kediri, dan pantura Jawa). Antaralain, Buntet (Cirebon). Beberapa keturunannya juga kesohor sebagai intelektual muslim level dunia. Misalnya, KH Ma’ruf Amin (kini Ketua Umum MUI), serta Prof. Dr. KH Said Agil Siraj (kini Ketua Umum PB-NU).
Pada penghujung abad ke-19, lebih banyak lagi santri yang menimba ilmu ke Makkah, dimulai dengan ibadah haji. Beberapa kesohor diantaranya, syeh Ahmad Khatib bin Abdul Latief al-Minangkabawi. Datang ke Makkah pada tahun 1871 (usia 11 tahun), bermukim hingga wafatnya (Maret 1916). Uniknya, syeh Ahmad Khatib, diketahui sebagai imam masjidil Haram pertama yang bukan Arab (asli pribumi Minangkabau, bukan keturunan Arab, bukan trah habaib).
Diantara murid syeh Ahmad Khatib, adalah KH Hasyim Asy’ary, pemuda asal Jombang. Hasyim Asy’ary, datang ke Makkah pada tahun 1892 (usia 17 tahun), awalnya berguru kepada syeh Machfudz at-Tarmisi (ulama asal kampung Termas, Pacitan). Di Makkah, syeh Machfudz, telah kondang sebagai pengajar hadits shahih Bukhori. Selanjutnya, Hasyim Asy’ary berguru ilmu tafsir kepada syeh Nawawi al-Bantani, dan syeh Ahmad Khatib, serta guru-guru lain berkebangsaan Arab. Kelak, KH Hasyim dikenal sebagai pendiri NU (Nahdlatu Ulama) dan pesantren Tebu Ireng.
Pelayaran rute Jawa – Jeddah, menjadi transportasi penjelajahan paling populer di Indonesia. Diawali dengan ibadah haji, berlanjut dengan urusan pendidikan.  Sehingga urusan akomodasi jamaah haji dari Indonesia, sejak lama telah disadari sebagai “tambang” penghasilan. Pada zaman administrasi (kependudukan) moderen, pengurusan paspor haji juga menjadi penghasilan sampingan sangat besar.
Dana Sisa Haji
Saat ini, “omzet” urusan akomodasi haji bernilai sekitar Rp 6,6 trilyun per-musim (setahun). Itu hanya omzet terkait legal formal oleh pemerintah, tidak termasuk urusan privacy. Pemerintah memungut pajak dan retribusi dari berbagai layanan haji. Serta memperoleh PNBP (Penghasilan Negara Bukan Pajak) dari berbagai sektor pelayanan ibadah haji. Yang terbaru, penghasilan dari vaksin suntikan meningitis dan influensa. Maka wajar jamaah calon haji Indonesia memperoleh perlindungan memadai dari pemerintah.
Indonesia secara lex specialist, memiliki payung hukum ibadah haji. Yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji. Di dalamnya diamanatkan kewajiban negara (pemerintah). Terutama menjamin pelayanan, pembinaan dan perlindungan. Pemerintah telah berpengalaman mengurus persiapan ibadah, lebih dari 60 tahun musim haji. Sepatutnya, pelayanan ibadah semakin membaik, profesional, dan halal (transparan).
Amanat paling penting dalam UU haji, terutama tentang akomodasi. UU Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, pasal 37 ayat (2), menyatakan, “Akomodasi bagi Jemaah Haji harus memenuhi standar kelayakan dengan memperhatikan aspek kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan kemudahan Jemaah Haji beserta barang bawaannya.”
Terdapat frasa kata “keamanan, kenyamanan dan kemudahan jemaah… .” Amanat ini wajib sebanding dengan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji), dengan takaran VVIP. Akomodasi berstandar seperti protokoler pejabat tinggi negara. Begitu nilai pertanggungan asuransi, berlevel paling mahal (dan terbaik). Berkahnya, pemerintah memperoleh manfaat besar dalam monopoli penyelenggaraan haji reguler.
Berkah terbesar yang diperoleh, adalah sisa lebih BPIH, berupa DAU (Dana Alokasi Umat. Saat ini (tahun 2017), nilai DAU telah mencapai Rp 97 trilyun. Namun, terdapat undang-undang (UU) khusus yang “melindungi” dana sisa haji. Yakni, UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Pasal 48 ayat (2), menyatakan “Penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji … sesuai dengan prinsip syariah dengan mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas.”
Pemerintah mengusulkan dana kelebihan haji digunakan untuk membangun infrastruktur komersial, yang tidak mengenal kerugian. Antaralain, pembangunan jalan tol, bandara atau pelabuhan. Namun seyogianya, lebih diutamakan pembangunan infrastruktur keperluan haji. Misalnya, pembangunan pemondokan haji di Makkah dan Madinah. Pemondokan menjadi unsur akomodasi utama ibadah haji. Hingga kini, sewa pemondokan masih sangat mahal, dan sering di-keluhkan jamaah haji.
Pada sisi lain pemondokan bukan sekadar untuk jamaah haji, melainkan bisa digunakan untuk jamaah umroh. Setiap tahun, jamaah umroh diperkirakan sekitar 900 ribu orang. Tren peningkatan animo ibadah umroh sebesar 25%. Menjamin bisnis sangat menguntungkan. Kelak, boleh jadi, BPIH akan semakin murah dan mudah. Karena pemerintah Indonesia telah memiliki pemondokan milik negara.

                                                                                                             ———   000   ———

Tags: