Ambang Bahaya Ancaman Sosial LGBT

Ani Sri RahayuOleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Belakangan ini pembahasan fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kembali mencuat ramai sebagai diskusi publik. Fakta tersebut, sejalan dengan berita tentang tertangkapnya artis Saipul Jamil oleh pihak kepolisian karena diduga melecehkan seorang remaja pria. Sebelum ini, artis Indra Bekti juga dilaporkan melecehkan seorang pesohor pria lewat pembicaraan telepon yang cenderung ‘mengarah’. Apa yang bisa kita maknai dari insiden-insiden ini? Suka atau tidak suka, kita tentu akan mengaitkannya dengan fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
LGBT adalah bagian realitas dari kehidupan kita, setidak-tidaknya eksistensi itu telah terungkapkan secara verbal dengan simbol-simbol yang tak lagi ditutupi pada era teknologi komunikasi seperti sekarang. Fenomena penyimpangan orientasi seksual itu juga ada pada masa-masa jauh sebelum kehidupan modern saat ini, bahkan di zaman Nabi Luth sudah menjadi salah satu persoalan sosial serius di tengah kelaziman hidup bermasyarakat. Fenomena ini, harus kita antisipasi sebagai ancaman sosial yang sangat berbahaya sebagai generasi muda bangsa.
Realitas kaum LGBT
Hadirnya kaum LGBT di Indonesia haruslah diantisipasi sebagai ancaman sosial bersama. Meski disinyalir masih ada berbagai kasus lain sejenis yang tidak terungkap ke publik, terutama di tengah semakin berkembangnya fenomena Lesbian, Gay, Biseks, dan Transgender (LGBT) di Indonesia. Memang belum ada data resmi tentang berapa jumlah penyandang LGBT di Indonesia. Data Direktorat Administrasi dan Kependudukan (Depdagri, 2005) diperkirakan ada 400 ribu Transgender (waria).
Secara gencar para penyandang LGBT ini mensosialisasikan diri dan nilai-nilai seksualitas yang mereka anut dengan mengambil momentum kebebasan yang demikian terbuka. Industri budaya pop, terutama industri kreatif di bidang entertainment seperti musik, sinetron dan film menjadi alat yang strategis untuk menyebarkan cara pandang, gaya perilaku dan eksistensinya pada publik, hampir seluruh lapisan usia dan strata sosial. Lemahnya mekanisme sensor dan kritisisme publik menjadikan proses penetrasi nilai-nilai LGBT menjadi semakin efektif.
Selain memanfaatkan media industri hiburan, LGBT bahkan telah memasuki arena politik dengan jaringan loby yang kuat.
Lihat saja jumlah negara yang semakin banyak melegalisasi pernikahan sejenis dan para politisi yang secara terbuka menunjukan simpati dan dukungan politiknya. Setidaknya sejumlah pemimpin negara besar di dunia menunjukan sikap akomodatif terhadah kaum gay dan lesbi seperti PM Inggris, David Cameron, Barrack Obama, Francois Hollande. Dukungan tersebut telah membawa dunia dalam ambang bahaya akibat agresi dalam skala yang masif terhadap nilai-nilai keluarga, moral publik, dan masa depan dunia.
Targetnya adalah terciptanya proses habituasi (pembiasaan) dan adaptasi (penyesuaian) bagi masyarakat terhadap LGBT, sehingga akhirnya masyarakat akan menerima fenomena penyimpangan orientasi seksual yang jelas-jelas bertentangan dengan norma agama dan nilai-nilai sosial bangsa sebagai kelaziman, terbiasa dan bahkan tersugesti untuk masuk dalam kondisi yang mereka sebut sebagai hak azasi yang tergantung pada pilihan individu masing-masing.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa maraknya fenomena LGBT sangat terkait dengan tren negara-negara liberal yang memberikan pengakuan dan tempat bagi penyandang LGBT di tengah-tengah masyarakat. LGBT dianggap sebagai bagian life style masyarakat modern yang menganggap pandangan heteroseksualitas sebagai konservatif dan tidak berlaku bagi semua orang. Bahkan, lebih dari 11 negara, diantaranya Belanda, Belgia, Spanyol, Swedia, melegalkan perkawinan sejenis dan menjadi surga bagi LGBT untuk menunjukan eksistensi sosialnya, sekaligus menyalurkan hasrat seksual.
Di Amerika Serikat sendiri hanya sekitar empat negara bagian yang menyetujui pengakuan terhadap pernikahan sejenis. Penolakan juga muncul dari kalangan profesional, Brendan Eich, CEO Mozilla yang mengundurkan diri secara tegas menolak pernikahan sejenis di negara bagian California. Bahkan, Brendan Eich menyatakan apresiasinya terhadap gerakan anti LGBT di Indonesia dengan kultur timur yang menjunjung religiusitas.
Sementara itu, PBB memperkirakan ada sekitar 3 Juta pengidap homoseks di Indonesia pada tahun 2015. Jika dari angka estimasi terendah yakni berkisar empat ratusan ribu orang LGBT, dan ada 10 persen mereka yang menyalurkan hasrat seksualnya secara paksa, maka dapat dibayangkan akan muncul ribuan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak maupun orang dewasa.
Hadirnya kaum LGBT di Indonesia haruslah diantisipasi sebagai ancaman sosial bersama. Meski disinyalir masih ada berbagai kasus lain sejenis yang tidak terungkap ke publik, terutama di tengah semakin berkembangnya fenomena Lesbian, Gay, Biseks, dan Transgender (LGBT) di Indonesia. Memang belum ada data resmi tentang berapa jumlah penyandang LGBT di Indonesia. Data Direktorat Administrasi dan Kependudukan (Depdagri, 2005) diperkirakan ada 400 ribu Transgender (waria).
Di Indonesia sendiri, memang saat ini belum ada politisi yang berani secara terbuka mendukung praktek penyimpangan seksual ini. Namun tidak menutup kemungkinan ketika penetrasi nilai dan pengakuan sosial kaum LGBT ini telah masif, akan merubah haluan para politisi yang memang cenderung melihat kesempatan berdasarkan kalkulasi potensi dukungan suara. Kaum LGBT kemudian semakin berani muncul di tempat publik dengan mempertontonkan identitasnya yang kini tidak lagi dianggap tabu.
Langkah preventif
Melihat fakta tersebut, di ranah akademik sempat terjadi polemik antara Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir dengan sejumlah aktivis, setelah Menteri menyatakan keberatan LGBT masuk kampus. Dari sudut pandang agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah organisasi masyarakat Islam mengharamkan kampanye LGBT, termasuk aktivitas seksual mereka yang menimbulkan kemudaratan antara lain berupa penyakit berbahaya.
Perhatian dan kecaman luas memang muncul, namun sepertinya sulit untuk menyelesaikan akar persoalan dan mencegah terulang kembali jika hanya sekedar pendekatan hukum saja tanpa melibatkan langkah-langkah lainnya secara komprehensif. Kasus pengidap homoseks pedofilia merupakan bagian kecil dari fenomena penyimpangan orientasi seksual yang ada di Indonesia.
Kita menggarisbawahi pernyataan mantan ketua umum PBNU Hasyim Muzadi yang mengingatkan pentingnya upaya mencegah agar kelompok LGBT tidak memperbayak populasi. Ada dua pesan penting dari pernyataan anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini. Pertama, kampanye-kampanye tentang LGBT bertujuan komersial dengan memanfaatkan media massa. Kedua, mereka bergerak di bawah kemasan payung hak asasi manusia (HAM).
Melindungi warga merupakan kewajiban mutlak negara. Tidak boleh ada diskriminasi dari sekat ras, agama, golongan, termasuk yang minoritas seperti LGBT. Logikanya, tentu tidak ada keluarga yang mendorong anaknya menjalani penyimpangan orientasi seksual. Seorang anak, betapa pun berhak memilih jalan hidup seksual lantaran kondisikondisi biologis tertentu, pastilah awalnya diarahkan untuk menjadi anak dengan perkembangan normal.
Kampanye yang mengajak dan mengondisikan atmosfer determinatif untuk membangun tumbuhnya masyarakat LGBT, harus dihadapi secara preventif. Sikap preventif yang ditopang oleh kekuatan peran pemerintah itu, antara lain adalah menumbuhkan kehidupan dengan relasi keluarga kuat, interaksi sehat, serta pendidikan yang memberi daya, arah, dan spirit untuk menempuh kehidupan yang berkualitas, baik untuk individu maupun masyarakat.
Negeri ini harus punya standar moral. Tanpa standar moral dan menjaga nilai-nilai yang diyakini publik, niscaya bangsa itu akan kehilangan generasi penerus bagi masa depannya.Penyandang LGBT jika tidak diwaspadai akan menjadi predator seksual bagi orang normal dan merusak masa depan para pewaris masa depan bangsa.
                                                                                                              ————- *** ————

Rate this article!
Tags: