‘America First’ ala Trump

Oleh:
Hutri Agustino
Dosen FISIP Unmuh Malang dan Penerima Beasiswa Erasmus Mundus di University of Trento-Italy

Tampilnya Donald Trump dari Partai Republik menjadi presiden Amerika yang ke-45 telah mendorong perubahan konstelasi politik di tingkat global. Skandal peretasan hasil pilpres yang dituduhkan kubu Obama kepada Pemerintah Rusia pimpinan Vladimir Putin, membuat modal legitimasi politik Trump menjadi sangat rapuh. Tidak hanya bagi kubu Hillary Clinton dan para simpatisan Partai Demokrat, masyarakat internasional turut mempertanyakan agenda politik dibalik skandal peretasan tersebut. Fenomena itu menjadi hal paling janggal, karena sejak Perang Dunia I terjadi-Rusia dan Amerika nyaris tidak pernah sekalipun sepakat tentang suatu hal, bahkan dalam cerita film sekalipun. Misalnya yang menyangkut segala konsekuensi politik-ekonomi saat Perang Dingin (cold war) seperti perlombaan kepemilihan senjata nuklir, isu terorisme di era George W. Bush sampai konflik melawan ISIS (NIIS) di Irak dan Suriah pada era Presiden Obama beberapa saat lalu. Oleh sebab itu, skandal peretasan hasil pilpres yang dilakukan Rusia untuk memberikan kemenangan bagi Trump, tentu membuat hubungan kedua negara kembali pada titik nol. Saling lempar pujian dan dukungan antara Trump dan Putin sesaat setelah hasil Pilpres diumumkan, menjadi pertanda proses rekonsiliasi politik antara pimpinan eks Blok Barat dan Blok Timur.
Selanjutnya, dengan merapatnya dua negara adidaya tersebut tentu akan mengoreksi total peta aliansi politik di level internasional. Fakta tersebut turut terjustifikasi dengan berbagai manuver politik Trump yang semakin melemahkan mitra aliansi. Misalnya dengan mengatakan bahwa Kanselir Jerman-Angela Merkel tidak lebih hebat dari Vladimir Putin yang notabene menjadi seteru selama kepemimpinan Obama. Disusul dengan pernyataan bahwa Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sudah usang, padahal keberadaan NATO masih sangat penting bagi negara-negara di Benua Eropa, khususnya Ukraina. Begitu juga dengan pembatalan Traktat Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang membuat hubungan antara Amerika dengan Jepang dan Australia menjadi renggang. Karena, eksistensi TPP tersebut sangat strategis dalam mereduksi hegemoni ekonomi yang deras dilakukan oleh China sebagai seteru abadi Jepang. Akibat dari keputusan kontroversial Trump terkait TPP tersebut, saat ini justru Australia tengah meminta China termasuk Indonesia untuk turut menyelamatkan TPP. Bisa diprediksi, upaya tersebut akan bertepuk sebelah tangan, khususnya bagi China yang sejak awal berbeda kelompok aliansi. Tidak hanya itu, Trump juga akan meninjau ulang Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) dengan Kanada. Padahal, Kanada menjadi salah satu mitra penting Amerika saat puluhan tahun berkonfrontasi dengan sejumlah negara di Kawasan Amerika Latin seperti Cuba dan Bolivia.
Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di pihak aliansi Rusia seperti China, Korea Utara, setengah dari wilayah Ukraina yang pro Rusia, mungkin juga Iran dan pemerintahan Assad di Suriah yang beberapa saat lalu banyak di sokong secara politik dan militer oleh Putin-kiranya penting untuk segera mengambil keputusan politik karena Rusia sebagai mitra utama aliansi telah mengubah haluan seiring tampilnya Trump sebagai presiden Amerika. Perubahan peta aliansi politik tersebut akan memberi efek domino bagi masa depan dunia. Minimal terkait dengan status konflik di beberapa kawasan yang banyak diisukan menjadi pertarungan klasik antara Amerika dan Rusia pasca Perang Dingin. Misalnya konflik melawan ISIS (NIIS) yang masih berkecamuk di Suriah dan Irak, konflik perbatasan di Ukraina, sengketa Laut China Selatan antara China, Jepang dan Taiwan sampai pada status embargo bagi negara komunis Korea Utara termasuk kesepakatan nuklir dengan Iran.
Proteksionisme
Terpilihnya Trump sebagai US One, tidak terlepas dari serangkaian pidato politik bernuansa proteksionis saat kampanye jelang pemungutan suara. Trump berjanji akan memberikan perlindungan total terhadap seluruh penduduk Amerika dari berbagai ancaman, khususnya yang datang dari kelompok imigran yang ia anggap teroris. Berbagai pernyataan itu akhirnya tersebut menjadi ‘America First’. Bagi kelompok pemilik suara usia produktif, Trump lebih memberikan harapan akan jaminan masa depan yang jauh lebih baik. Sebab Hillary Clinton dianggap terlalu ramah terhadap kelompok imigran yang berbeda ras, bangsa bahkan agama. Hal tersebut dikhawatirkan oleh anak-anak muda Amerika, dapat menjadi ancaman di masa depan. Misalnya dalam memperebutkan beasiswa, lowongan pekerjaan, jaminan sosial, jaminan kesehatan dan jaminan perumahan di tengah resesi ekonomi dunia yang tak kunjung mereda.
Tidak perlu waktu cukup lama untuk dapat menikmati realisasi janji politik Trump saat kampanye. Karena, hanya selang beberapa hari setelah pelantikannya sebagai presiden, ia langsung merilis penghentian pengeluaran visa selama 30 hari bagi tujuh negara muslim dengan alasan keamanan dan terorisme yang ia sebut datang dari kelompok Islam. Ketujuh negara tersebut antara lain: Irak, Suriah, Iran, Sudan, Libya, Somalia dan Yaman. Bahkan, khusus untuk pengungsi akibat konflik Suriah, dibatalkan untuk selamanya. Sebab, diperkirakan terdapat sekitar 18 ribu dari 4,8 juta pengungsi asal Suriah telah melarikan diri ke Amerika dengan berbagai cara, salah satunya mungkin yang sering kita sebut sebagai ‘manusia perahu’. Sedangkan penerimaan pengungsi dari negara lain ditunda selama empat bulan. Tidak hanya itu, pembangunan pagar pembatas sepanjang 3.200 km antara Amerika dan Meksiko pun segera ia realisasikan. Trump beralasan bahwa pagar pembatas itu sangat penting, sebab selama ini banyak dimanfaatkan oleh penduduk Meksiko untuk menyeberang ke Amerika, padahal banyak diantara mereka adalah penjahat dan pengedar narkotika. Jika Jagdish Bhagwati dalam Protectionism (1988) lebih menekankan tafsir proteksionisme Amerika terkait dengan Konferensi Bretton Woods (1944) yang melahirkan SAP (Structural Adjusment Program) dan GATT (The General Agreement on Tariffs and Trade), maka proteksionisme ala Trump lahir karena tafsir akan kejahatan dan terorisme.

                                                                                                    ———– *** ———–

Rate this article!
Tags: