Amplop Pejabat dan Pejabat Amplop

Oleh :
Nurudin
Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Beberapa waktu lalu, masyarakat disibukkan dengan wacana urusan amplop. Hal itu dipicu oleh video yang bereda luas di masyarakat saat Menko Maritim Luhut B Pandjaitan menyodorkan amplop ke KH Zubair Muntashor, pengasuh pondok pesantren Nurul Cholil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Masalahnya video itu kemudian menyebar dan dibingkai sedemikian rupa sesuai kepentingan masing-masing. Apalagi suhu politik sedang panas menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) pada tanggal 17 April 2019.
Peyoratif
Setiap menjelang Pemilu, perbincangan soal amlop kian menghangat. Soal amplop tak kalah hangatnya dengan istilah serangan fajar. Kedua istilah itu selalu mengikuti setiap perhelatan Pemilu. Bukan soal istilah itu sebenarnya, tetapi dua istilah tersebut berkaitan dengan usaha untuk memengaruhi perilaku pemilih. Soal serangan fajar misalnya, banyak yang memprotesnya tetapi masyarakat tetap menjadi sasaran empuk. Sementara itu, yang melakukan serangan fajar merasa tidak berbuat kesalahan.
Istilah amplop sebenarnya menjadi istilah umum yang tak berkait erat dengan kepentingan. Namun, istilah amplop dalam perkembangannya mengalami makna peyoratif (pemburukan makna). Amplop diidentikkan dengan perilaku buruk. Padahal tak selamanya begitu. Misalnya, “Berapa amplop pembicara itu saat diundang dalam seminar nasional?” Amplop di sini mengandung arti honorarium (penghargaan).
Sementara itu, makna peyoratif juga bisa berkembang sedemikian rupa. Amplop menjadi krusial karena dipakai untuk memengaruhi sikap dan perilaku atau kepentingan sepihak. Misalnya, “Jadi anggota DPR amplopnya tebal”, “Wartawan itu sering menerima amplop. Makanya disebut wartawan amplop”, “Pejabat pemerintah itu memberikan amplop ke pak Lurah untuk memengaruhi pilihan politik masyarakat sekitar”.
Istilah amplop di atas tentu mempunyai konotasi buruk. Bisa berarti sogokan, suap, atau uang pelicin untuk kepentingan pemberi amplop tersebut. Dalam hal ini, amplop yang sebenarnya pengganti kata yang baik sudah berubah arti karena mengalami makna penyoratif. Maka, amplop identik dengan perbuatan yang di luar batas kewajaran atau bahkan melanggar etika.
Maka, saat menteri Luhut BP memberikan amplop ke KH Zubair Muntashor, sebagaimana bisa disaksikan dalam video yang sudah viral, sudah mempunyai makna penyoratif. Perilaku menteri itu bukan diartikan memberikan honorium atau penghargaan tertentu.
Problematis
Istilah amplop yang sebenarnya mempunyai arti biasa saja mengapa kemudian menjadi wacana heboh di masyarakat? Kita ambil salah satu contoh aktualnya kejadian yang menimpa Luhut BP dan KH Zubair Munstashor.
Pertama, Luhut adalah seorang pejabat. Karenanya, setiap gerak langkahnya akan dimaknai sebagai kepentingan politik. Hal demikian tak jauh berbeda perilaku menteri pada periode kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Para menterinya sibuk kampanye untuk mendukung pencalonan SBY periode kedua. Luhut tentu saja punya kepentingan untuk mendukung pencalonan Jokowi ke periode kedua pula.
Tentu saja, tindakan pemberian amplop itu sangat problematis, apalagi diketahui ada rekaman videonya. Bagi kelompok pendukung Jokowi-Ma’ruf hal demikian akan dianggap biasa saja. Namun demikian, bagi pendukung Prabowo-Sandi itu dianggap sebagai bentuk kecurangan seorang pejabat publik.
Meskipun sebenarnya, kegiatan tersebut bisa jadi hal biasa. Analoginya, seseorang mendatangi rumah orang lain dengan meninggalkan “sesuatu” itu dianggap biasa. Seorang kiai pun dengan tidak mengurangi rasa hormat tak jarang juga menerimanya. Bahkan jika seorang tamu mendapatkan “sesuatu” dari tuan rumah, tamu itu biasa meninggalkan “sesuatu” pula, ada yang menyebutnya sebagai”mahar”. Masalah menjadi rumit karena yang datang seorang menteri dan ketahuan memberikan “amplop” kepada kiai. Jika yang meninggalkan amplop bukan pejabat akan lain ceritanya. Maka, komentar soal amplop juga berkaitan dengan dukung mendukung politik juga.
Kedua, pemberian amplop itu tidak menjadi polemik manakala tidak ada yang menyebarkannya ke media sosial. Tentu ini bukan semata-mata kesalahan pada penyebar video itu. Masalahnya, zaman sudah berubah, tentu kita tidak bisa mengaca terus-menerus pada alat komunikasi sepuluh tahun yang lalu. Saat ini orang dengan mudahnya merekam peristiwa yang dilihatnya dan punya kecenderungan untuk menyebarkannya.
Viralnya video pemberian amplop menteri Luhut kemudian diramaikan media sosial sampai dikonsumsi media-media online. Pemberitaannya pun kian gencar dan populer. Tentu saja, pemberian amplop pada seorang kiai karena disiarkan akan dianggap sebagai ketidakwajaran. Sementara itu, kasus pemberian amplop dan tidak terekam kamera bisa jadi lebih banyak. Jadi, amplop menjadi problematis tidak saja karena viralnya di media sosial tetapi juga karena menyangkut menteri sebagai pejabat publik. Pada menteri era manapun, soal amplop ini akan dipakai untuk kepentingan politik.
Etika
Orang memberikan amplop sebenarnya tidak melanggar hukum asal suka sama suka. Ia menjadi masalah seandainya satu pihak terpaksa atau dipaksa, bisa juga karena tekanan. Persoalan amplop akan menjadi objek kajian hukum jika sudah melanggar pidana atau perdata. Menteri Luhut bisa mempermasalahkan secara hukum jika dianggap mencemarkan nama baiknya. Tetapi menteri itu juga akan berpikir dua kali karena itu akan menyangkut reputasinya. Artinya, seandainya dia melaporkan, maka secara tidak langsung “menelanjangi dirinya sendiri. Ini tentu menjadi dilema tersendiri.
Persoalan amplop lebih banyak berkaitan dengan soal etika dan kepantasan. Hal demikian sama dengan saat seorang wartawan menerima amplop. Secara hukum ia tentu tidak bersalah karena pemberi dan penerima sama-sama berkepentingan, sama-sama suka dan membutuhkan. Namun, secara etik itu tentu tidak elok. Wartawan menerima amplop dianggap mencederai etika kewartawanan.
Pemberian amplop seorang pejabat publik juga lebih banyak menyangkut etika dan kepantasan. Apakah seorang pejabat publik memberikan amplop untuk kepentingan politik (misalnya)? Namun etika itu sanksinya ada pada hati nurani. Seseorang dianggap melanggar dan ia merasa bersalah atau tidak enak sendiri berarti ia telah melanggar etika. Masalahnya pelanggaran etika, jika tidak melanggar pidana atau perdata, sanksinya berada dalam hati nurani masing-masing. Kalau sudah soal kepantasan itu semua berurusan dengan reputasi dirinya di mata banyak orang.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: