Anak-anak yang Ditinggalkan di Eks Lokalisasi Dolly (1-bersambung)

Virda Oky Dwi Novianti (paling depan) tengah mengikuti ekstra kurikuler menari di SDN Banyuurip 2 Surabaya.

(Virda Penuhi Kebutuhan Sekolah dari Hasil Saweran Menyanyi)

Kota Surabaya, Bhirawa
Tidak semua anak beruntung lahir dan tumbuh di keluarga yang ideal. Ada ayah, ibu dan saudara yang saling memberi perhatian. Karena dengan begitu, peran keluarga dalam pendidikan akan berjalan sebagaimana mestinya. Namun jika tidak, ceritanya pun berbeda. Seperti halnya anak-anak yang rentan putus sekolah di wilayah eks lokalisasi dolly.
Siang di Kota Surabaya sudah menyengat kala jam menunjukkan pukul 11.00 WIB. Di antara gang sempit perkampungan, hingar bingar kemacetan, dan cerita masa lalu tentang bisnis prostitusi yang telah ditiadakan. Anak-anak berusia kurang dari 10 tahun bergegas keluar dari rumahnya menuju SDN Banyu Urip 2 Surabaya. Hanya siswa kelas 3 – 5 yang seperti itu, sementara siswa kelas 1,2,3 dan 6 ke sekolah pagi-pagi seperti pada umumnya.
Saat itu baru hari kedua para siswa mengikuti proses belajar mengajar di tahun ajaran baru 2018/2019. Virda Oky Dwi Novianti baru naik kelas tiga di sekolah itu. Dia tampak bersemangat siang itu. Meski isi perutnya masih kosong karena belum sarapan sejak pagi.
“Tadi cuma ada nasi putih di rumah. Jadi langsung berangkat saja. Nanti pulangnya baru makan,” tutur Virda saat ditemui di sekolahnya. Saat pulang, Virda sebenarnya juga tidak yakin ada lauk pendamping nasi untuk dia makan. “Kalau gak ada lauk ya makan nasi putih saja. Sering makan seperti itu,” katanya.
Nasib Virda secara ekonomi memang kurang beruntung. Dia lahir di lingkungan yang dulu dikenal sebagai lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara. Ayahnya tersandung masalah narkoba dan untuk beberapa tahun ke depan harus tinggal di Lapas Porong, Sidoarjo. Virda ditinggalkan ayahnya sejak duduk di bangku kelas 1. Sementara ibunya, menderita gagal ginjal dan harus cuci darah hingga dua kali dalam sepekan.
“Di rumah sama uti, bude, dan saudara-saudara. Totalnya ada sembilan orang yang tinggal di rumah jadi satu,” kata Virda.
Di usianya yang masih baru 9 tahun, Virda cukup punya keberanian. Menghadapi siapapun termasuk menjadi penyanyi dangdut di berbagai panggung hajatan. “Pernah juga nyanyi di Pasar Jarak. Kadang dapat uang Rp 10 ribu – Rp 20 ribu dari saweran. Kadang juga dapat sampai Rp300 ribu,” kata dia.
Untuk apa uang itu? Dia lalu menunjukkan sepatu yang baru dia beli. Virda menabung untuk menutupi kebutuhan personalnya selama sekolah. Kadang, uang juga diberikan ke neneknya untuk belanja. “Kalau ada uang biasanya nenek masak sayur asem terus ada lauknya juga,” kata dia.
Virda tak pernah mempermasalahkan hal itu. Dia tetap suka berlari-larian di sekolah. Bermain dengan teman-teman sebayanya. Tapi Virda juga sering tidak masuk sekolah lantaran sakit perut hingga typus. “Pernah juga karena lapar sampai nangis. Di rumah tidak ada makanan,” kata dia.
Hal lain yang mengganggu sekolah Virda ialah rasa kantuk. Saat duduk di kelas 2, Virda kerap terlambat masuk pagi. Kadang juga tidur di sekolah karena mengantuk. Itu karena dia terbiasa tidur hingga larut malam, atau ikut menyanyi sampai hampir pagi. “Tapi nilai matematikanya masih dapat 100. Agama daat 9,” katanya pamer.
Jarak rumah Virda denga sekolah hanya sekitar 500 meter. Dengan berjalan kaki, Virda memenuhi kewajibannya belajar. Dia berusaha tetap bertahan. Karena di satu waktu yang akan datang, Virda yakin akan dapat menemui kesuksesan. Dan yang pasti, bertemu ayahnya saat duduk di bangku SMP.
“Sudah lama nggak jenguk ayah. Kata uti kalau saya sudah duduk di SMP ayah akan pulang,” tutur dia.
Bercerita tentang ayahnya, Virda menunjukkan rasa rindunya yang mendalam. Terakhir dia menjenguk, ayahnya memeluk dan menangisinya. Beberapa waktu lalu, dia mengaku baru dapat kiriman dari ayahnya uang untuk memperbaiki rantai sepeda. “Di sana (lapas) ayah kerja merawat ayam,” katanya.
Di sekolah tersebut, anak-anak yang ditinggalkan keluarganya tidak hanya Virda. Masih ada delapan lagi yang seperti itu dan tercatat sebagai anak rentan putus sekolah. Contoh lainnya adalah M Syaifudin. Siswa kelas IV tersebut merasakan hidup tenang setelah tinggal bersama neneknya. Ibunya dibui dan ayahnya pergi menikah lagi.
“Enak tinggal sama nenek, dulu ayah sama ibu sering bertengkar. Pernah sampai ayah mukul ibu juga,” tutur Syaifudin. Suasana kelam itu melekat jelas dalam benaknya hingga ia merasa lebih baik tinggal dengan sang nenek. Ayahnya sesekali datang menemuinya untuk memberi uang saku. Pertemuan itu terjadi setiap malam minggu di depan rumah neneknya.
Kepala SDN Banyu Urip 2 Subandi mengungkapkan, di sekolahnya tercatat ada sembilan anak yang tercatat rentan putus sekolah. Mereka kerap absen dan ada yang menghilang tanpa keterangan. Umumnya, anak-anak ini memiliki latar belakang keluarga yang tidak sehat. Orangtuanya bercerai atau terkena masalah pidana.
“Setiap tahun kerap ada yang berhenti sekolah. Saat kita berusaha mencari di rumahnya, anak sudah tidak ada. Informasi dari tetangga kadang tidak cukup akurat,” tutur Subandi.
Misalnya tahun ajaran baru ini, ada satu siswa yang entah ke mana dia berada. Selama bersekolah, guru selalu mengawasi untuk memastikan dia datang. Hingga beberapa hari anak tersebut absen, sekolah melacak keberadaanya.
“Kalau yang ada orangtuanya enak, mudah ditemukan. Kalau tidak ada, kita cuma bisa tanya ke tetangga sekitar. Tapi hasilnya tetap nihil,” kata dia. Anak tersebut, lanjut Subandi, juga bermasalah pada latar belakang keluarganya.
“Di Surabaya ini pendidikan sudah gratis, anak tinggal berangkat sekolah. Tapi permasalahan tidak hanya soal biaya, tapi juga latar belakang keluarga. Itu yang sangat serius,” pungkas dia. [Adit Hananta Utama]

Tags: