Anak-anak yang Ditinggalkan di Eks Lokalisasi Dolly (2-bersambung)

Sukasmi menyambut kedatangan cucunya, Virda Oki Dwi Novianti saat pulang dari pulang sekolah sore hari.

Kerabat dan Guru Mainkan Peran Pengganti Orangtua
Kota Surabaya, Bhirawa
Di sekolah, anak berproses tak lebih dari 4 – 6 jam lamanya. Selebihnya, anak akan tumbuh dan berkembang di lingkaran keluarga dan masyarakat. Namun, tidak semua anak beruntung hidup dalam struktur keluarga yang ideal. Tanpa orangtua, pada siapa anak-anak mendapati kasih sayang dan tuntunan?.
Sepetak rumah berukuran 3,5 x 15 meter itu diisi dengan sembilan manusia dari tiga kepala keluarga. Pemandangan di dalamnya penuh sesak. Ruang tamu menjadi satu dengan tempat tidur yang terhampar di lantai. Di sudut ruangan itu, ada Yulianti, ibu dari Virda Oky Dwi Novianti yang tergolek lemas. Menahan sekuat-kuatnya kondisi tubuh yang mengalami gagal ginjal. Sudah lebih dari 500 kali dia melakukan cuci darah. Namun, tubuhnya masih tidak bisa jauh dari tabung oksigen yang terpajang tepat di sisihnya.
Sementara itu, Sukasmi, ibu dari Yulianti yang juga nenek Virda terlihat sibuk dengan pekerjaan rumahnya. Dia baru saja pulang mengerjakan urusan rumah tangga orang lain. Yah, sehari-sehari Sukasmi memang mencari nafkah dengan mencuci, menyetrika atau apa saja yang bisa dia lakukan di rumah-rumah tetangganya.
“Baru dapat uang setelah dari rumah orang-orang. Makanya kalau pagi belum bisa masak untuk Virda. Baru siang hari kalau ada uang itu bisa masak, ” kata dia.
Karena itulah, Sukasmi sadar cucunya kerap jatuh sakit lambung hingga typus. Makannya tidak teratur, kadang-kadang masak, kadang-kadang tidak. “Kalau ada uang, pagi itu saya belikan nasi kuning Rp 4 ribu dan uang saku Rp 2 ribu. Kalau nggak ada, saya cuma kasih uang saku saja, ” tutur dia. Untungnya, Virda termasuk anak yang mudah diberi pengertian. Sehingga dia pun tidak pernah protes dengan keadaan seperti itu.
Sukasmi adalah bagian dari keluarga yang paling dekat dengan Virda. Cucunya itu bahkan terbiasa memanngilnya dengan sebutan ibu. Semua kebutuhan Virda menjadi tanggung jawabnya. Meski sehari-hari, Virda termasuk anak yang sangat mandiri. “Dia sudah bisa masak sendiri, belajar sendiri, dan tahu kebutuhan yang harus dicukupinya sendiri,” kata dia.
Sampai untuk membeli buku sekolah, cucunya menabung sendiri dari hasil sawerannya. Dan yang paling penting bagi dia, Virda adalah anak yang sangat paham dengan kondisi keluarga. Dia yang biasa mengantar mamanya cuci darah di rumah sakit. Mendorong kursi roda dan berani mencari bantuan jika dia kewalahan di rumah sakit. “Dia terbentuk dari keadaan yang serba terbatas ini. Seperti tiba muncul dari inisiatifnya sendiri gitu, ” kata Sukasmi.
Sukasmi mengaku, dia tidak pernah merasa kerepotan dengan mengurus Virda. Sebaliknya, dia sering dibantu. Apa yang dia sampaikan kepada cucunya bahwa ibu (nenek) sudah tua benar-benar dipahami Virda. Sukasmi kerap memberi pesan agar Virda ikut menjaga orangtua atau mamanya yang sedang sakit. Virda memahami itu semua, bahkan jika ada uang dari menyanyi, cucunya selalu berbagi kepada seluruh keluarga. “Saya pasti di kasih paling banyak untuk belanja,” tuturnya sembari tersenyum.
Sukasmi mengaku, kondisi keluarganya berada pada kondisi cukup berat setelah adanya penutupan lokalisasi dolly. Suaminya, kakek Virda, semula memiliki kios yang dibuka di sekitar lokalisasi. Waktu itu hasil jualannya cukup lumayan. Namun setelah dolly ditutup, kiosnya pun ikut ditutup. Suaminya yang juga sedang menderita diabetes itu kini hanya berjualan di depan rumah. Di gang kecil, Jl Kupang Gunung Tembusan yang sepi. Pembelinya hanya tetangga sekitar. “Hasilnya cuma cukup untuk isi ulang tabung oksigen mamanya Virda, ” tutur dia.
Selain Virda, Sukasmi juga harus merawat Akbar kakak Virda. Dia baru duduk di bangku kelas 6 dengan pekerjaan sehari-hari mengamen. Sukasmi kerap khawatir dengan Akbar yang lebih sering berada di luar rumah. Apalagi dulu, saat lokalisasi dolly masih beroperasi. “Saya memang tidak pernah melarang cucu untuk berhubungan dengan siapa saja. Meskipun kenal dengan maling, balon (PSK) atau siapa saja tidak apa-apa. Asal tidak meniru kelakuannya,” tutur dia.
Sambil terbata-bata Yulianti berucap, dia sesungguhnya tidak tega dengan kondisi anak-anaknya. Kadang pulang mengamen, si Akbar membawa nasi bungkus satu untuk dimakan ramai-ramai. “Saya juga takut dengan anak-anak. Tapi bagaimana lagi, kondisinya memang begini, ” tutur dia.
Sementara itu, Retno Sutartiningsih guru kelas II SDN Banyuurip 2 Surabaya bercerita, dia telah mendampingi Virda selama duduk di kelas 2 tahun lalu. Sebagai guru, dia mengaku hanya bisa melakukan tugas yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Namun, khusus kepada Virda dan anak-anak rentan putus sekolah lainnya dia memberi perlakuan beda.
“Dari segi akademik, rata-rata mereka ini tertinggal. Makanya, saya sering memberi tambahan pelajaran ke Virda setelah jam pelajaran usai,” tutur dia.
Retno mengaku, sebagai guru dia merasa telah menjadi keluarga kedua bagi Virda. Karena tidak hanya urusan pelajaran, terkadang untuk jajan pun dia berikan. “Jadi kalau sudah kelihatan sering menguap begitu mesti saya tanya, apa ngantuk atau lapar? Kami juga sering ngasih uang jajan ke dia,” tutur dia.
Anak-anak seperti Virda, diakui Retno memang cukup memprihatinkan. Dari sisi keluarga, dia sudah jarang mendapatkan perhatian. Padahal semangat belajarnya cukup tinggi. “Ada teman sekelas Virda yang orangtuanya juga dipenjara, belajarnya susah sekali sampai tahun ini tidak bisa naik kelas, ” kata dia.
Tidak hanya perhatian lebih dari guru, sekolah diakuinya juga memberikan layanan khusus kepada anak-anak yang agak lambat menangkap materi pelajaran. Yaitu kelas inklusif yang dibina oleh guru khusus. Untuk layanan ini, lanjut Retno, diberikan tidak berdasar kerentanan anak terhadap ancaman putus sekolah. Melainkan, kepada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dalam mengikuti proses belajar mengajar.
“Kalau menghadapi anak-anak seperti ini kita tidak mungkin marah. Mereka ngantuk di kelas, tidak mengerjakan tugas, ketinggalan pelajaran, semua harus besar sabarnya. Karena mereka sebenarnya sangat butuh perhatian dan motivasi untuk tetap sekolah, ” pungkas dia. [Adit Hananta Utama]

Tags: