Anak Korban Gempa Belum Bisa Sekolah

Pasutri korban gempa Palu selamat tiba di Probolinggo.

Berharap Bisa Nitip Sekolah di Kota Probolinggo
Probolinggo, Bhirawa
Pasangan suami-istri (pasutri) Muhammad Fika Rahardika (33) dan Shinta Permatasari (34) yang menjadi korban gempa di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), sudah pulang ke Kota Probolinggo. Namun, persoalan belum selesai menghampirinya. Pasalnya hingga saat ini masih bingung terhadap sekolah tiga anaknya yang masing-masing bernama Roro Kesya, 12, (kelas 6), Muhammad Naufal Kadafi, 9, (kelas 3), dan Roro Sabilillah, 5, anaknya yang masih TK. Ketiganya sudah lebih satu minggu tidak sekolah.
Shinta Senin (8/10) mengungkapkan, selama tinggal di rumah orang tuanya di Perum Kopian Indah, anaknya berharap tetap bisa sekolah. Dan upaya tersebut sudah dilakukan dengan mendatangi SDN Sukabumi 2. Hanya. pihak sekolah belum menentukan sikap. Dia diminta untuk mendatangi kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Probolinggo.
Mereka tinggal di Palu sejak 2009 tersebut belum menemui kepala Disdikpora. Meski begitu, mereka berharap, anaknya bisa sekolah di Kota Probolinggo walau hanya berstatus murid titipan.
“Saya dengar info kota lain yang warganya senasib dengan kami, welcome. Kami berharap untuk sementara anak kami ditipkan di sekolah sini. SD mana saja,” katanya.
Sekeluarga tiba di Kota Probolinggo, Rabu (5/10) lalu. Mereka naik pesawat dari Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar (Sulawesi Selatan) setelah sebelumnya melalui jalan darat dari Palu lewat Kota Poso.
Dirinya tidak pulang Jumat usai tsunami karena terkendala transportasi. Hampir semua fasilitas umum tidak bisa dipergunakan, termasuk transportasi dan komunikasi.
“Saya bisa menghubungi Probolinggo via Hp Minggu malam. Itu pun hanya sekali. Kalau transportasi darat, baru ada hari Rabu,” ungkapnya Moh Fika.
Pulang ke Kota Probolinggo, dia mengaku tidak membawa apa-apa. Baju yang dibawa hanya yang melekat di badannya. Semua barang-barang ditinggal di rumah. Dia hanya memohon, mudah-mudahan barang yang ditinggal di rumahnya di Palu tidak dijarah. “Rumah saya tidak digembok. Dibiarkan begitu saja,” katanya. Mengaku meninggalkan Palu tanpa memiliki uang. Uang di ATM tidak bisa diambil karena mesin ATM-nya tak berfungsi akibat listrik padam. hanya bermodalkan uang di saku. “Ongkos ke sini, saya pinjam uang ke teman-teman di Palu,” tandasnya.
Ia mengajak seluruh keluarganya terbang ke Jawa, selain karena masih terjadi gempa susulan, suasananya pun tidak mengenakkan. Saat dirinya masih di Palu, persediaan makanan habis dan suplai air baru ada tiga hari pasca-tsunami. Untuk makan, ia bahu-membahu dengan tetangga perumahan. “Kalau beras kami tidak ada, kami minta ke tetangga. Begitu sebaliknya. Tiga hari di sana, tidak ada bantuan makanan masuk,” ucapnya.
Fika yang merantau ke Palu lantaran diterima menjadi ASN. Ia menggantungkan pada kabar dari dinasnya, yakni dinas kelautan dan perikanan. sebagai staf bidang karantina ikan di dinas tersebut. Sementara istrinya yang keseharian mengurus rumah tangga dan pendidikan anaknya juga mengaku tidak tahu. “Kalau suami kembali ke Palu, ya ikut ke Palu. Tapi waktunya belum pasti,” tandas Shinta.
Kami berharap hidup di Probolinggo. Tapi harapan tersebut sulit terlaksana kecuali Fika pindah kerja di Pemkot Probolinggo. Keinginannya kuat kembali ke kampung kelahirannya karena di Palu hampir setiap seminggu sekali gempa, meski goyangannya relatif kecil dan tidak membahayakan.
“Ya, setiap minggu ada gempa. Hanya Jumat malam itu yang besar dan disertai tsunami,” tambah Fika.

Ubaya Kirimkan Relawan Tangani Psikologis Anak
Statistics Assistance Center (SAC) Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) mengirimkan relawan guna membantu psikologis anak korban bencana gempa dan tsunami yang ada di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah.
Tim relawan yang terdiri dari satu dosen Fakultas Psikologi yaitu Listyo Yuwanto dan dua mahasiswa angkatan 2015, Cindy Claudia dan Jauhar Helmi Nursandy itu diberangkatkan menuju ke Palu dari kampus setempat, Senin (8/10) kemarin.
“Ini merupakan kali kedua SAC mengunjungi lokasi bencana yang sebelumnya pada tanggal 29 September 2018 dengan memberikan bantuan berupa obat-obatan, terpal dan permainan anak,” kata Listyo.
Dia mengatakan saat pertama ke Palu yang pihaknya lakukan adalah Psychological First Aid tahapan Physical Health (kesehatan fisik), yaitu memenuhi kebutuhan makanan dan minuman penyintas bencana gempa, serta mengevakuasi beberapa keluarga ke tempat aman keluar dari Palu menuju ke Makassar, Sulawesi Selatan.
“Kali ini setelah Physical Health, kami lanjutkan dengan Psychological Health yaitu pendampingan psikologis penyintas bencana serta memberikan bantuan terutama terpal dan obat. Kami juga akan melakukan penelitian tentang psikologi bencana,” kata dia.
Kedua mahasiswa yang tergabung dalam tim relawan juga telah dipilih berdasarkan pengalaman yang mereka miliki dalam menangani situasi bencana. Sebelumnya, Cindy dan Jauhar membantu dalam penanganan badai cempaka di Wonogiri, penanganan kekeringan di Mojokerto, Jawa Timur pembentukan penanganan gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat dan sebagainya.
“Melalui aksi ini, kami berharap dapat membantu pemerintah dalam penanganan para korban bencana di Palu dan sekitarnya, apalagi di sana juga terdapat banyak alumni dan keluarga mahasiswa Ubaya. Ini juga sebagai bentuk Tri Dharma Perguruan Tinggi di bidang psikologi bencana dan humanitarian,” kata Listyo. [wap.ant]

Rate this article!
Tags: