Anakku

Oleh:
Fajar Irawati

Entah mengapa akhir-akhir ini aku senang sekali menonton atraksi Tong Setan yang digelar di pasar malam dekat rumahku. Kebetulan Mas Adi -suamiku- sedang tugas di luar kota selama tiga bulan karena tugas kantor. Mas Adi pulang ke rumah satu minggu sekali. Jadi, aku selalu pergi sendiri jika keluar rumah.
Sudah satu bulan lebih pasar malam yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah tempat tinggalku berlangsung. Tontonan yang paling aku suka adalah Tong Setan. Aku hanya berjalan kaki menuju pasar malam untuk menonton Tong Setan. Bagiku atraksi Tong Setan sangat menarik dibandingkan tontonan yang lain.
“Bude, Wulan izin ke pasar malam, ya.”
“Nonton Tong Setan lagi?” tanya Bude.
Aku jawab dengan anggukkan kepala.
“Wulan, perutmu sudah besar. Nyebut, Nduk! Jangan terlalu senang nonton Tong Setan, lah!”
“Emang kenapa, Bude?”
“Pamali, Nduk,” kata Bude. “Bude khawatir akan berakibat nggak baik ke bayimu. Sebaiknya kamu banyak berdoa dan sholawatan untuk bayimu!”
“Hari ini terakhir, Bude.”
“Terserah kamu, Wulan. Bude hanya mengingatkanmu.”
Bude menghela napas dan membiarkanku pergi ke pasar malam. Bude sudah tahu betul watakku karena aku di rawat Bude sejak kecil. Kedua orang tuaku meninggal saat aku balita. Kebetulan Bude tidak mempunyai anak. Jadi, aku sudah dianggap seperti anak kandungnya sendiri.

***

Sudah dua minggu ini tidak ada tontonan yang mengasyikkan bagiku. Hari-hariku hanya membantu Bude menjaga warung dan membereskan rumah Bude. Saat aku sedang membereskan rumah, aku merasakan sakit yang luar biasa. Aku segera duduk dan memanggil Bude.
Bude datang segera setelah mendengar panggilanku.
“Kenapa kamu, Nduk?” tanya Bude cemas.
“Perutku sakit sekali, Bude,”
“Sepertinya kamu mau melahirkan. Ini sudah bulannya, kan? Kita ke rumah sakit saja, ya, Nduk!”
Aku hanya mengangguk dan pasrah.
“Bude telepon suamimu dulu, ya.”
“Nggak usah Bude. Biar kejutan buat Mas Adi kalau bayinya lahir.”
Aku membayangkan pasti Mas Adi senang sekali mendengar anak pertamanya lahir.

***

Setibanya di rumah sakit, aku dibawa ke ruang persalinan. Bude selalu berada di sampingku berdoa dan menyemangatiku. Proses persalinanku begitu cepat. Belum ada dua jam aku masuk ke ruang persalinan, dokter mengatakan aku siap melahirkan karena sudah pembukaan lengkap.
Mendengar lengkingan suara tangisan bayi, hatiku terasa tersiram air es. Butiran air mataku menetes bahagia karena aku merasa sebagai wanita sempurna yang bisa melahirkan seorang bayi dari rahimku.
Setelah aku dan bayiku dibersihkan, perawat meletakkan bayi mungil di sampingku. Aku terperangah melihat sosok mungil yang ada di sampingku. Wajahnya menyeramkan. Kedua matanya tidak simetris, salah satu pipinya hitam legam, dan hidungnya sangat kecil.
Ya, Tuhan…, mengapa anakku seperti ini? Aku menangis histeris melihat fisik anakku.
“Dia bukan anakku! Singkirkan bayi itu!!!”
Mendengar teriakanku, perawat segera menggendong sosok mungil yang terbaring di sebelahku. Bude mendekap tubuhku dan menenangkanku. Aku harap ini mimpi buruk dan aku akan segera terbangun dari mimpi buruk ini,
“Istigfar, Nduk!” Bude menuntunku untuk beristigfar dan kuikuti ucapan Bude hingga aku tertidur.

***

Entah berapa lama aku tertidur hingga aku membuka mata kembali. Aku masih berharap kejadian tadi adalah sebuah mimpi buruk.
“Kamu sudah bangun, Nduk?”
“Wulan, mimpi buruk, Bude.”
Bude menangis sambil mengusap rambutku.
“Kenapa Bude nangis? Tadi Wulan cuma mimpi, kan?”
Bude tidak menjawab sepatah katapun.
“Bayi tadi bukan anak Wulan, kan, Bude?”
Bude menghela napas dan menjawab lirih, “Bayi itu anakmu, Wulan.”
Aku kembali menangis. Bagaimana jika Mas Adi datang dan tahu kalau anaknya tidak sempurna. Ya Tuhan, mengapa Engkau beri aku anak seperti itu?

***

Hari ini jadwal Mas Adi pulang. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Pasti Mas Adi akan sangat terkejut melihat fisik anaknya.
Aku menunggu Mas Adi di warung, sementara anakku sedang berada di kamar bersama Bude. Jujur, aku belum bisa menerima keadaan anakku.
Setelah beberapa saat menunggu, datanglah Mas Adi.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam.”
Kusambut suamiku dengan mengecup punggung telapak tangannya.
“Loh, Wulan. Perutmu sudah mengecil? Kamu sudah melahirkan? Kok tidak memberi kabar, Mas? Pasti ingin membuat kejutan, ya?” tanya mas Adi beruntun dengan raut wajah begitu senang.
Aku mengangguk pelan.
“Di mana anakku?”
Aku tidak menjawabnya. Malah aku tidak bisa menahan bendungan air mata keluar dari mataku.
“Loh, kok nangis?”
“Anak kita ada di kamar dengan Bude, Mas.”
Mas Adi segera menuju kamar. Jantungku berdebar menunggu apa yang akan terjadi saat Mas Adi melihat anaknya.
Kulihat Mas Adi menatap tajam bayi mungil itu. Jantungku terus berdegup menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun tak kuduga, Mas Adi menggendong bayi mungil dan mencium keningnya.
“Mas, anak kita …,” kataku dengan deraian air mata.
“Ya, ini anak kita. Apapun kondisinya, dia adalah titipan dari Tuhan untuk kita. Kita harus ikhlas merawatnya.”

Cilacap, 22 November 2022

———— *** ————-

Biodata penulis:
Fajar Irawati, Guru SMP Negeri 4 Cilacap, Alumnus Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Rate this article!
Anakku,5 / 5 ( 1votes )
Tags: