Anarkisme Politik di DPR

Karikatur DewanDewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) benar-benar terkoyak-koyak pada alur parsialisme semakin akut. Tren parsialisme sudah mulai mewabah sejak pemilihan presiden (pilpres, Rabu 9 Juli 2014). Terpecah pada dua kubu capres. Yakni Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung Prabowo Subianto, serta Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung Joko Widodo. Kini bahkan terdapat dualisme kubu  kepemimpinan di DPR-RI. Ini tidak lazim, dan pasti melanggar UUD.
Dalam UUD pasal 19 ayat (2), dinyatakan, “Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang.” Untuk itu ditetapkan pula UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD). Inilah realita pertama dampak kubu-kubuan di DPR. Ada kelompok koalisi yang terus kalah di forum parlemen. Pemilihan pimpinan MPR, kalah. Pemilihan pimpinan, juga kalah. Lalu ditinggal (karena akan kalah lagi) pada pemilihan pimpinan komisi-komisi di DPR.
Selesai pilpres, seharusnya koalisi bubar. Namun ternyata berkelanjutan, sekaligus melanjutkan “balas dendam.” Diakui atau tidak, telah terjadi balas dendam. Ada yang menggunakan asas “sapu bersih” kepemimpinan di parlemen. Ada pula yang memboikot forum persidangan, walk-out sehingga rapat dead-lock, jalan buntu. Untuk membentuk alat kelengkapan dewan (komisi-komisi beserta pimpinannya) belum berhasil mulus.
Bagi-bagi jabatan itu dianggap menguntungkan kelompok tertentu (KMP), dan menafikan kelompok lainnya (KIH). KMP dianggap menggunakan asas “sapu bersih” yang dijamin UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3. Hal itu juga sudah dibuktikan pada pemilihan pimpinan MPR dan pada saat pemilihan pimpinan DPR. Situasi dalam gedung bagai di pasar saham, gaduh oleh suara pialang (makelar saham).
Bahkan kini terbentuk kepemimpinan lain (tandingan) di DPR-RI. DPR sudah benar-benar terpecah. Ada kepemimpinan DPR-RI yang dibawahkan oleh kelompok KMP. Kepemimpinan lainnya dibawahkan kelompok KIH. Kelompok mana yang sah? Ini seharusnya tidak perlu dipertanyakan. Namun terlanjur akut, sudah pasti diperlukan fatwa MA (Mahkamah Agung) atau MK (Mahkamah Konstitusi).
Peta kekuatan di parlemen, memang miris. Kelompok KMP (sepeninggal PPP) kini memiliki 253 kursi (45,17%). Sedangkan KIH (ditambah PPP) menjadi 246 kursi (43,92%). Sisanya, fraksi Partai Demokrat (61 kursi setara 10,89%) dianggap floating. Di MPR (696 orang), pengelompokan bisa berubah petanya. KMP sebesar (36,35%), KIH (35,34%), DPD (19,54%), dan F-PD (8,76%). Arah gerak bergabungnya dukungan DPD akan sangat menentukan kekuatan kelompok.
Terbelahnya parlemen tidak menguntungkan pemerintah (Presiden) maupun rakyat. Lebih lagi, pengelompokan dewan ini akan ditiru di tingkat DPRD (Propinsi maupun kabupaten dan kota). Konon DPRD Propinsi Banten dan DKI Jakarta sudah “tertular.” Artinya, dewan sudah benar-benar memasuki asas demokrasi liberal. Boleh jadi pimpinan pemerintahan (Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota) akan terbiasa “jatuh bangun.”
Gelagat jatuh bangun-nya pemerintahan sudah nampak pada pengesahan UU tentang Pilkada, yang disahkan pada akhir kerja DPR periode 2009 – 2014. Bahwa Pilkada dipilih melalui perwakilan. Yakni dipilih DPRD, bukan dipilih langsung oleh rakyat seperti 10 tahun terakhir. Konsekuensinya, Kepala Daerah semakin mudah dijatuhkan oleh DPRD.
Asas demokrasi di berbagai negara, tidaklah liberal benar. Pemerintah (perdana menteri dan pemerintah daerah) bisa dijatuhkan kapan saja. Di Jepang, India dan beberapa negara Eropa, pemerintahan bisa berganti hanya dalam hitungan bulanan. Sudah biasa. Tetapi negara tidak goyah. Karena terdapat garis batas tegas, adanya pemisahan antara fungsi pemerintahan dengan ke-negara-an.
Tetapi di Indonesia, Presiden merupakan Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Satu pucuk pimpinan. Jika Kepala Pemerintahan digulingkan, sebagaimana diatur UUD pasal 7A, pasal 7B dan pasal 8, maka harus segera dipilih presiden baru, oleh MPR.

                                                                                              —————-   000   —————–

Rate this article!
Anarkisme Politik di DPR,5 / 5 ( 1votes )
Tags: