Ancaman Kesehatan di Balik Pesta Demokrasi

Dalam sebuah surat kabar nasional beberapa waktu lalu memuat berita yang cukup menggelitik yakni Rumah Sakit Jiwa siap menampung para caleg yang gagal menduduki kursi dewan. Kondisi tersebut sangatlah revelan dengan agenda perhelatan pesta demokrasi yakni pemilihan legislatif baik di tingkat pusat, DPRD Provinsi maupun DPRD Kab/Kota sekaligus dilanjutkan dengan rangkaian pemilihan presiden dan wakil presiden.
Sebagai tahun politik yang ditandai dengan momentum politik dimana partai politik tengah mengajukan sejumlah kader maupun calon yang nantinya merepresentasikan partai politik di parlemen. Di sisi lain, iming-iming sejumlah gaji besar, penghasilan tinggi termasuk seabrek fasilitas sebagai anggota dewan sangat menggiurkan sehingga menjadi daya magnet bagi seseorang calon untuk ikut berkompetisi. Seorang calon tentu akan habis-habisan untuk merebut tiket gedung dewan walaupun terkadang sebenarnya kondisi (finansial) yang tidak memadai bahkan ada yang berhutang sebagai modal bertarung dalam kancah pemilihan legislatif. Syahwat dan libido politik calon tanpa diiringi dengan kemampuan baik sisi finansial, kompetensi, moral dan jiwa pengabdian maka diprediksi akan berdampak buruk bagi prikologis kesehatan sehingga berpotensi menjadi problem rumah tangga dan masalah kesehatan seperti gangguan kesehatan jiwa.
Sejumlah fakta dan pengalaman hasil pemilihan legislatif (pileg) tahun 2009 dimana saat itu ada tiga orang caleg yang dibawa ke RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat. Dua orang di antaranya datang sebentar untuk sekadar konsultasi memeriksakan diri dan langsung pulang. Seorang lagi caleg dari Ponorogo, terpaksa harus dirawat sampai dua hari sebelum akhirnya diputuskan pihak keluarga untuk dibawa pulang. Kondisi tersebut seakan menjadi pertanyaan besar bahwa sejauh itukah keinginan dan ambisi para caleg sehingga harus mengorbankan sisi kesehatan (jiwa) yang sangat elementer. Belum termasuk daerah lain dengan kasus yang menggambarkan kondisi yang hampir sama. Sebenarnya kondisi calon baik di legislatif maupun pemilihan kepala daerah hingga presiden kurang lebih berpotensi sama namun karena perhelatan probabilitas mengalami gangguan kejiwaan calon legislatif yang tidak terpilih tentu semakin besar pula. Apalagi karakteristik parpol di Indonesia yang sangat pragmatis dalam sistem seleksi dan perekrutan kader atau calon untuk diusung sebagai representasi parpol dan masyarakat yang berasal dari daerah pemilihan (dapil).
Sedangkan caleg yang berhasil menduduki “kursi” tentu sangat logis untuk mengembalikan modal selama kampanye sehingga faktor mental-psikologis, memiliki moral dan komitmen, dan jiwa pengabdian yang kuatlah yang mampu membentengi dari upaya moral hazzard yang pada akhirnya perlahan namun pasti akan terperosok dalam tindakan koruptif dengan segala modus dan bentuknya. Kondisi inilah yang sangat dikawatirkan dalam upaya menciptakan pemerintahan (daerah) yang bersih dan memiliki komitmen tinggi terhadap bangsa dan negara. Dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Merujuk definisi diatas bahwa seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan baik skala ringan hingga berat dapat dikatagorikan menggambarkan status seseorang yang tidak sehat. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 merilis bahwa hampir 2 dari 100 mengalami gangguan jiwa berat (piskosis/skizpfrenia) dan angka prevalensi gangguan jiwa berat (piskosis/skizpfrenia : semua umur) tahun 2013 adalah 1,7 per 1.000 penduduk sehingga 6 dari 100 berpotensi “gila”. Tampaknya kondisi tersebut diprediksikan cenderung meningkat seiring dengan musim pesta demokrasi yang semakin masif dan diperparah dengan situasi perekonomian nasional yang semakin sulit seperti kian meroketnya harga barang-barang khususnya bahan pokok, kenaikan kebutuhan hidup (listrik, air, tol) sehingga menjustifikasi hasil penelitian tersebut.

Kekuatan Uang
Bukan hanya di even pemilihan pesta demokrasi, hampir disetiap aktivitas kita yang lepas dari ‘intervensi’ uang walaupun bukan tujuan namun sebagai salah satu alat, sarana untuk mencapai tujuan mengisi kelangsungan hidup kelayakan kekinian hingga kenantian. Di sisi lain eksistensinya kini kian dicari sekaligus menjadi boomerang jika kita tak pandai-pandai memanfaatkan secara tepat dan berguna. Keinginan tanpa diiringi dengan penetapan prioritas kebutuhan maka akan berdampak pada siklus kehidupan ekonomi seseorang.Kondisi inilah juga rentan memicu terjadinya kasus-kasus gangguan jiwa dengan bentuk dan manifestasi klinisnya. Situasi tersebut diperparah dengan tontonan dan media yang terus menerus menampilkan tayangan perilaku dan gaya hidup yang hedonis, glamor dan sarat eksploitasi aspek keduniawian yang mengarah pada gangguan psikologis masyarakat dewasa ini. Oleh karena itu termasuk para calon pemimpin dan wakil-wakil kita yang duduk di kursi dewan. Semoga kelak yang terpilih memang benar-benar menjadi wakil rakyat sejati dengan mengutamakan sisi pengabdian bukan semata-mata karena penghasilan serta bukan wakil yang ‘menginjak’ rakyat dengan perilaku koruptif. Amin
Oleh :
Oryz Setiawan
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya