Ancaman KLB Measles Rubella

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Sungguh miris menyimak release Kantor Staf Presiden per 10 September 2018 atas hasil capaian imunisasi Measles Rubella (MR) di empat provinsi terendah yakni Aceh (6,88 persen), Riau (18,92 persen), Nusa Tenggara Barat (20,37 persen), Sumatera Barat (21,11 persen), Bangka Belitung (26,45 persen), Kalimantan Selatan (28,31 persen), Sumatera Utara (29,53 persen) dan Kepulauan Riau (34,5 persen). Rendahnya cakupan tersebut menggambarkan bahwaupaya pemerintah untuk menekan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) akibat virus MR belum berhasil sebab target minimal cakupan sebesar 95 persen. Namun pada saat yang sama mulai ditemukan 71 kasus MR di sejumlah lembaga pendidikan di Banjarbaru Kalimantan Selatan.
Kondisi tersebut sangat mengkawatirkan mengingat cara penularan melalui udara (air borne diasease) dan menyebar melalui droplet bersin atau ingus orang yang terinfeksi oleh penyakit rubella atau campak Jerman terutama sangat berresiko terhadap kelompok rentan seperti ibu hamil, balita dan anak-anak. Oleh karena itu ancaman Kejadian Luar Biasa (KLB) MR tinggal menunggu waktu. Setidaknya ada beberapa faktor yang mengakibatkan rendahnya cakupan imunisasi MR yang tengah digalakkan pemerintah, pertama adanya fatwa MUI atas bahan vaksin yang digunakan. Merujuk Fatwa MUI No. 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin Measles Rubella Produk dari Serum Institute of India untuk Imunisasi bahwa ketentuan hukum sebagai salah satu dasar pertimbangan MUI point 2 bahwa “Penggunaan Vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII) hukumnya haram karena dalam proses produksinya menggunakan bahan yang berasal dari babi”.
Meski point 3 dinyatakan bahwa “Penggunaan Vaksin MR produk dari SII bahwa pada saat ini dibolehkan (mubah) karena ada kondisi keterpaksaan (dlaruratsyar’iyyah), belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suciserta ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal. Justifikasi bahwa vaksin buatan India yang telah digunakan lebih dari 140 negara di dunia termasuk 48 negara Muslim ternyata belum cukup ampuh untuk menyakinkan bagi sebagian masyarakat terutama Muslim di Indonesia untuk “menerima” argumen tersebut.Masyarakat menangkap pesan fatwa MUI berfokus pada aspek halal – haram sebagai pertimbangan utama bagi setiap umat Islam. Faktor penolakan atas aspek halal – haram inilah yang dominan di masyarakat. Sebab hal ini menyangkut keyakinan seseorang meski setiap orang juga memiliki keberagaman atas pemahaman tersebut. Apalagi menyangkut buah hati mereka sehingga dapat dimaklumi bahwa meski imunisasi merupakan hak anak namun orang tualah yang menentukan apakah mau diberikan imunisasi atau tidak.
Kedua, adanya faktor ‘ketakutan’ pasca imunisasi balita mereka akan mengakibatkan demam, nyeri bekas suntikan hingga mengalami kelumpuhan misalnya. Dalam ‘bahasa kesehatan’ fenomena tersebut disebut KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). Sebenarnya KIPI dapat terjadi pada semua jenis imunisasi, baik berupa reaksi lokal pada tempat penyuntikan, seperti nyeri, bengkak, dan kemerahan, maupun reaksi sistemik, seperti demam, dan ruam.Untuk menentukan penyebab reaksi KIPI, harus memperhatikan onset, yakni masa sejak diberikan imunisasi sampai timbul gejala. Selain itu perhatikan pula apakah ada dugaan penyebab lain selain imunisasi.Ketiga, sebagian masyarakat yang menolak imunisasi belum memperoleh informasi yang benar, akurat dan lengkap. Biasanya akan timbul persepsi, kesan bahwa mengurus stigma buruk apalagi memperoleh informasi kasus lain sehingga akan menyimpulkan “ketakutan” yang mengancam kesehatan dan keselamatan balitanya dan pada akhirnya terjadi sikap penolakan.
Pada saat yang sama mereka belum terkena atau merasakan kejadian MR. Bahkan ada yang menyakini bahwa tidak perlu imunisasi karena tubuh memiliki daya imunitas sendiri, asupan gizi yang memadai dan istirahat yang cukup mampu terhindar dari virus MR. Padahal vaksinasi MR memberikan kekebalan secara spesifik terhadap penyakit tertentu mengingat bayi, balita dan anak-anak sejak dini kekebalan tubuh belum berfungsi secara sempurna (herd immunity). Hal lain yang mempengaruhi adalah gerakan program imunisasi masih bersifat opsional sehingga tidak ada unsur paksaan. Secara psikologis ini memberi ruang atau celah bagi sebagian kelompok masyarakat untuk menolak balita dan anak-anaknya dilakukan imunisasi. Ketiadaan sanksi yang menjerat bagi penolak imunisasi memberikan andil terhadap keberhasilan atau kegagalan sebuah program kesehatan.
Mengacu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Penyakit Menular menjelaskan bahwa penyakit campak dan rubella (MR) adalah salah satu jenis penyakit menular langsung yang sangat berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah di wilayah setempat. Di sisi lain pemerintah diwajibkan untuk segera melakukan akselerasi riset secara intensif hingga ditemukan bahan vaksin yang jelas dijamin kehalalannya, semoga.

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: