Ancaman Limbah B3 di Masa Pandemi

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa : alumnus Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya

Penanganan limbah bahan berbahaya, dan beracun (B3) khususnya dari limbah medis menjadi persoalan serius yang harus segera ditangani. Keseriusan dalam penanganan limbah B3 semakin menemukan relevansinya di masa pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) sekarang ini. Di masa pandemi, jumlah produksi limbah medis di fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) meningkat tajam. Kementerian PPN/Bappenas menyebutkan potensi peningkatan timbunan limbah medis akibat penggunaan alat pelindung diri (APD) mencapai 3-4 kali dari jumlah sebelumnya, Bhirawa (25/5).

Pandemi covid-19 membawa dampak serius terhadap pengelolaan sampah medis. Bom waktu limbah medis sejatinya sudah terdengar berdetak sejak tahun lalu. Petakanya ialah rantai penularan Virus Covid-19 serta ancaman dampak buruk terhadap lingkungan. Ancaman bom itu sudah bisa dilihat dari sejumlah kasus pembuangan limbah medis secara ilegal. Misalnya terungkapnya limbah medis berupa alat rapid test dibuang begitu saja di pinggir jalan di Bekasi, Jawa Barat. Belakangan terungkap limbah sebanyak dua kantong itu berasal dari sebuah klinik. Februari tahun 2021 ini ditemukan juga 120 kantong plastik berisi sampah alat pelindung diri (APD) dan sampah infeksius B3 di Kabupaten Bogor, Jabar. Ada pula penemuan sampah masker yang bercampur limbah rumah tangga di TPS di Bekasi. Meski dari jumlah, temuan itu masih kecil, tetapi menggambarkan gunung es limbah medis yang dibuang ilegal.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2020 lalu telah mengeluarkan Surat Edaran Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari penanganan Corona Virus Disease (Covid-19). Dalam surat itu disebut bahwa limbah infeksius dari fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) harus dimusnahkan dengan insenerator bersuhu atau autoclave yang dilengkapi pencacah. Residunya pun harus dikemas lengkap dengan diberi simbol beracun untuk kemudian diserahkan kepada pengelola limbah B3.

Secara nasional, data Kementerian Kesehatan tahun 2020 menunjukkan jumlah fasilitas layanan kesehatan (faskes) yang mempunyai fasilitas pengolah limbah berizin atau insenerator saat ini baru berjumlah 120 rumah sakit dari 2.880 rumah sakit dan hanya 5 rumah sakit

yang memiliki autoclave. Padahal, seharusnya semua provinsi mempunyai alat pengolah limbah medis di daerahnya. Sehingga demikian, penanganan limbah medis dapat diselesaikan di setiap daerah dengan konsep pengelolaan limbah medis berbasis wilayah sesuai amanat Permenkes No. 18/2020 tentang Pengelolaan Limbah Medis Fasyankes Berbasis Wilayah.

Setiap kepala daerah semestinya segera menerbitkan pedoman lanjutan dan memastikan pelaksanaan di lapangan terawasi dengan ketat. Sayangnya, harapan itu jauh panggang dari api. Pembuangan ilegal menunjukkan bobroknya cara kerja pemkot. Ini tidak saja menyangkut pengawasan terhadap hotel, tetapi juga kebobrokan dalam membangun sistem pengelolaan limbah medis yang terintegrasi dengan rumah sakit.

Harus Terintegrasi

Tidak disangkal bahwa limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) memiliki sifat akut dan kronis. Karena itu dibutuhkan tata kelola yang ekstra ketat agar tidak berdampak pada pencemaran lingkungan.

Istilah limbah yang saat ini digunakan sesuai Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah merupakan sisa usaha dan/atau kegiatan industri. Disebut limbah B3 jika limbah industri tersebut mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3), yaitu zat, energi dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.

Mengingat sifatnya yang berbahaya dan beracun, pengelolaan limbah B3 perlu dilakukan dengan seksama mulai dari hulu ke hilir yang wajib dilakukan oleh setiap orang atau pelaku usaha yang menghasilkan limbah B3.

Untuk memastikan pengelolaan limbah B3 dilakukan dengan tepat dan mempermudah pengawasan, maka setiap kegiatan pengelolaan limbah B3 wajib memiliki izin yang dikeluarkan oleh Bupati/Walikota, Gubernur, atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sesuai dengan kewenangannya.

Pemerintah sudah membuka kemudahan bahwa jika tidak dapat dikelola sendiri maka dapat dilakukan pengelolaanya ke pihak ketiga yaitu jasa pengelola limbah B3 yang sudah memiliki izin. Izin adalah suatu instrumen untuk memastikan limbah B3 secara nasional terkelola dengan baik dan memastikan tidak terjadi pencemaran lingkungan. Mengingat karakteritik limbah B3 ada yang bersifat akut dan kronis, maka pengelolaan limbah B3 juga bertujuan agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan dikemudian hari yang berdampak kepada generasi masa depan.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2014 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, menjelaskan bahwa Pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dari pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan B3.

Pengelolaan ini bertujuan untuk mencegah dan atau mengurangi risiko dampak limbah B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Tujuan pengurangan limbah B3 tersebut adalah meminimalkan timbulan limbah B3 yang dihasilkan sehingga dapat meminimalkan juga dampak yang ditimbulkannya termasuk menjaga daya tampung dan daya dukung lingkungan.

Bisnis Masa Depan

Pengelolaan serta penanganan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) perlu dilakukan menggunakan metode yang tepat dan aman. PT. Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) merupakan salah satu industri yang sejak 1994 telah lama bergerak pada bidang jasa pengelolaan jasa pengumpulan daur ulang, pengolahan dan pembuangan limbah B3 dan limbah non B3. Saham PT PPLI dimiliki 95% oleh DOWA dari Jepang dan 5% oleh pemerintah Indonesia.

Sekarang ini kapasitas maksimal pengelolaan limbah dari PPLI ini sekitar 300 hingga 500 ton per hari. Luas lahan PPLI adalah 60 hektare dengan 70 persen untuk operasional pengelolaan limbah dan 30 persen untuk kegiatan administrasi. Tentu tidak mungkin kalau semua limbah diserahkan dan dikelola oleh PT PPLI. Maka dibutuhkan perhatian dan kepedulian dari pemerintah daerah untuk menyiapkan pusat pengelolaan limbah B3 di wilayah masing-masing. Memang tidak berarti setiap daerah harus membangunnya tetapi yang diperlukan adalah pusat pengolahan limbah yang terintegrasi.

PT Prasadha Pamunah Limbah Industri terus berekspansi dengan salah satunya membangun fasilitas pengolahan limbah di Jawa Timur, salah satunya adalah kawasan pengolahan limbah terpadu di lahan seluas 10 hektare-20 hektare. Kawasan pengolahan limbah baru ini disiapkan untuk mampu menampung dan mengolah limbah dari Indonesia Timur, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

Jumlah limbah B3 baik yang bersumber induatri maupun dari rumah tangga cenderung terus meningkat. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah industri di Indonesia dan juga semakin beragamnya produk-produk hasil industri yang dikonsumsi oleh rumah tangga yang sisanya dibuang menjadi limbah. Tentunya jika tidak tertangani dengan baik, akan sangat rentan menurunkan kualitas lingkungan hidup kita.

Banyak manfaat yang bisa diperoleh dari jasa pengolahan limbah, saat ini pemerintah sedang mendorong waste to energi. Bisnis pengolahan limbah menjadi energi bisa menjadi salah satu elemen yang mendukung terwujudnya keinginan itu. Oleh karena itu pemerintah selalu mendukung investasi yang terkait pengelolaan lingkungan.

Melihat terus meningkatnya jumlah B3 di tanah air, maka tidak berlebihan kalau Industri Pengolahan Limbah merupakan bisnis masa depan di Indonesia. Bisnis pengelolaan lingkungan, adalah bisnis masa depan. Penilaian ini tidak berlebihan karena di Indonesia masih sangat terbuka peluang investasi untuk menggarap jasa pengelolaan dan penanganan limbah-limbah hasil industri ataupun rumah tangga. Harapannya, industri ini akan menghasilkan nilai keuntungan yang tinggi baik secara finansial maupun dalam aspek meningkatnya kualitas lingkungan hidup.

—— *** ——–

Rate this article!
Tags: