Ancaman Neo-Kolonialisme Global

(Refleksi HUT Kemerdekaan RI yang Ke 74)

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya , Mahasiswa S-3 FISIP Uaair Surabaya

Tidak terasa bangsa Indonesia sudah 74 tahun merayakan kemerdekannya. Merdeka dari penjajahan kolonialisme bangsa asing. Namun bernahkah kita sudah merdeka dalam arti yang sesungguhnya? Merdeka dari penjajahan fisik perang memang ya, tapi kita belum merdeka secara ekonomi dan politik. Bahkan secara budaya. Kedaulatan ekonomi, politik dan budaya kita masih dibawah pengaruh dan tekanan bangsa asing. Inilah yang sering kita sebut sebagai bentuk neo-kolonialisme. Kondisi bangsa ini bagaikan keluar mulut harimau masuk mulut buaya.
Begitu juga dengan semangat nasionalisme bangsa kita. Semangat nasionalisme yang dibangun dengan susah payah, penuh dengan pengorbanan darah dan air mata oleh para pahlawan dan para founding father saat ini sedang mengalami degradasi yang cukup mengkhawatirkan. Nasionalisme sosial, politik, budaya, ekonomi dan keamanan bangsa kita pelan-pelan dan pasti terkikis oleh munculnya neo-kolonialisme baru yang sifatnya global. Kita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat sepertinya mudah dipermainkan oleh bangsa asing. Dengan kata lain, nasionalisme kita sangat begitu mudah ” di obral” dengan dalih nasionalisme yang sebenarnya semu. Dan ini akan menjadi ancaman serius bagi bangsa kita dalam membangun negara yang berada dan mandiri jika tidak disikapi secara serius.
Sejak merdeka tahun 19945, bangsa Indonesia tak pernah berhenti dari bentuk penjajahan bangsa asing. Setidaknya kita telah mengalami tiga bentuk penjajahan dari pihak asing. Pertama, penjajahan fisik. Penjajahan ini terjadi pada zaman penjajahan untuk meraih dan mempertahankan kemerdekaan, di mana saat itu para pahlawan kita harus berjuang mati-matian untuk merebut dan mempertahankan keutuhan wilayah geografis Indonesia yang akan dicaplok dan dikuasi asing.
Kedua, penjajahan di bidang ekonomi. Penjajahan ini terjadi pada zaman Orde Baru. Setelah era Soekarno berakhir dan kemudian dilanjutkan pemerintahan Soeharto dengan orde barunya. Proses pembangunan mulai dijalankan. Namun demikian, proses pembangunan Indonesia tak lepas dari ketergantungan pihak asing, terutama dalam masalah uang. Mau membangun tapi, tak punya uang. Kondisi inilah yang mendorong pemerintah Soeharto ngutang ke luar negeri. Hampir semua program pembangunan di era orba di danai oleh pihak asing. Sebut saja CGI, UNDP, IMF, Paris Club, Bank Dunia, dan berbagai lembaga donor asing lainnya yang ikut memberikan suntikan dana bagi proses pembangunan di Indonesia. Pemerintah Indonesia di bawah kendali Soeharto dan sesudahnya tidak mampu menolak berbagai iming-iming utang yang begitu menggiurkan, tapi pada akhirnya menyengsarakan. Di era Soeharto, utang sudah menjadi “kebiasaan politik” dan bahkan jika berhasil mendapat utang dengan angka besar di anggap sebuah prestasi negara.
Beban Nasional
Meledakkah utang indonesia yang sudah mencapai ribuan triliun rupiah. Begitu besarnya utang Indonesia ini yang kemudian menjadi malapetaka dan bencana ekonomi bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Puncaknya pada tahun 1997 Indonesia di timpa krisis ekonomi yang begitu parah dan sampai detik ini belum bisa bangkit.
Dengan kata lain, era orde baru dan bahkan sampai orde reformasi ini, penjajahan yang paling kentara adalah penjajahan di bidang ekonomi. Pemerintah Indonesia tidak memiliki kemandiaran sama sekali dalam masalah utang luar negeri ini. Kedaulatan politik dan ekonomi kita di obok-obok sesuai dengan kepentingan asing. Dalam Statistik Utang Luar Negeri Indonesia edisi Maret 2019 yang dikeluarkan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, pemerintah mencatat ULN Indonesia sebesar US$383,3 miliar dolar atau setara Rp5.366 triliun dengan kurs Rp14.000.
Setiap tahun, setengah dari APBN kita nyaris digunakan untuk bayar utang dan cicilan. Bahkan cicilin dan bunga sudah lebih besar dari utangnya. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa kita telah masuk dalam situasi yang dalam teori ekonomi internaional di sebut sebagai Fisher Paradox. Di mana semakin banyak cicilan yang dibayar berarti semakin besar akumulasi utang sebuah negara. Bangsa asing sangat begitu mudah memberikan utang kepada pemerintah kita. Utang tersebut bukaannya menyelesaikan kemelut ekonomi dalam negeri, tapi justru memperparah perekonomian kita.
Saat ini, kita sudah terjerat oleh beban utang luar negeri yang begitu parah. Jika di rata-rata per kepala dan calon bayi yang lahir, penduduk Indonesia menanggung beban utang negara seberasar Rp 7 juta lebih. Kondisi ini sungguh sangat ironis, negeri yang sangat kaya raya dengan sumber daya alam yang berlimpah, tapi negara dijerat utang dan rakyatnya jatuh miskin. Penjajahan ekonomi pihak asing terhadap bangsa Indonesia ini lebih kejam dari pada penjajahan fisik dan konvensional pada jaman penjajahan dan kemerdekaan.
Penjajahan ketiga yang tak kalah parahnya adalah penjajahan di bidang politik. Kini setelah cukup sukses menjajah seara fisik dan ekonomi, kini berlanjut pada bentuk penjajahan di bidang bidang politik. Salah satu yang dimanfaatkan adalah dengan memberikan bantuan dana ratusan milyar rupiah kepada lembaga-lembaga domestik yang wujudnya “mirip” komprador asing. Di mana dana ratusan milyar tersebut digunakan untuk proyek dan kegiatan politik dalam negeri, yakni (salah satunya) melalui survey-survey politik di moment-moment politik seperti Pimilu dan Pilkada.
Revitalisasi
Inilah bentuk penjajahan gaya baru yang coba dipraktikkan oleh pihak asing dan tentunya kondisi ini akan menjadi ancaman serius bagi semangat nasionalisme Indonesia dan pembangunan bangsa yang berdaulat. .Bila ketergantungan ini terus berlanjut dan “dipelihara”. Maka indonesia tidak akan memiliki kewibawaan dan harga diri. Kedaulatan nasional mudah dipengaruhi bahkan diintervensi oleh pihak asing melalui imig-iming uang. Dengan melihat reaitas, kita bagaikan hidup di bawah pengaruh dan tekanan asing, tidak bisa lepas (baca: merdeka) dari segala bentuk penjajahan asing, terutama penjajahan politik dan ekonomi. .
Problem nasional ini harus menjadi perhatian semua pihak, terutama para pemimpin dan generasi muda bangsa ini. Bagaimana membangun kembali rasa dan semangat nasionalisme dan kepahlawanan baru Indonesia menuju negara yang mendiri dan berdaulat di tengah ancaman Neo-Kolonialisme global?.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: