Ancaman Pragmatisme dalam Pemilu

Oleh :
Maswan
Maswan, adalah Dosen Unisnu Jepara, Kandidat Doktor Unnes, Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah 

Dalam penelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), baik pilpres, pilleg, pilkada (pilgub/pilbub) bahkan pilpet telah diatur dalam perundang-undangan mengenai sanksi pidana dari pelanggaran politik uang (money politinc), namun realitasnya pelanggaran yang dilakukan oleh calon peserta pemilu tetap terjadi, dan anehnya dari pelanggaran tersebut jarang yang mendapat sanksi secara hukum.
Sebut saja, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang kini dilakukan secara serentak telah diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 sebagaimana perubahan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang sanksi pidana bagi pihak manapun yang menjalankan praktik politik uang.
Mengenai sanksi dalam pasal 187 poin A hingga D dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, tersebut disebut bahwa orang yang terlibat politik uang sebagai pemberi bisa dipenjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan. Selain hukuman badan, pelaku juga dikenakan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Ketentuan pidana tersebut, tidak hanya berlaku kepada pemberi, tetapi penerima uang berbau politik itu juga dikenakan sanksi pidana yang sama dengan pihak pemberi. Sekalipun ancaman hukuman sangat berat, tetapi pelaku politik uang ini tidak pernah surut, pelakunya tetap berjalan melenggang seolah-olah tidak ada beban.
Pertanyaannya, mengapa setiap kali ada pemilihan umum, pileg, pilpres dan pilkada tetap ada saja politik uang, padahal para pelaku sebagai calon pimpinan bangsa tersebut sudah berjanji tidak melakukan hal tersebut?
Mencederai Demokrasi
Seperti yang banyak diungkap di media massa, bahwa, Politik uang dengan segala bentuknya telah lama mencederai demokrasi dan merusak hasil pilkada. Bentuk-bentuk politik uang seperti pemberian uang tunai, barang, dan janji-janji politik merupakan teror nyata terhadap otonomi pemilih. Politik uang merupakan bagian dari politik transaksional yang berujung pada jual-beli suara. Mereka yang terpilih karena politik transaksional terbebani untuk mengembalikan modal. (Suara Merdeka, 19/2/2018)
Mencermati sanksi politik uang sangat berat dan mengerikan, harusnya tidak ada yang berani melanggar. Dan mestinya para calon pemimpin sudah memahami betul bahwa politik uang adalah sebuah pelanggaran hukum ketatanegaraan dan pelanggaran hukum agama. Dalam hukum agama, politik uang itu termasuk kategori suap menyuap dan ini dilaknat oleh Allah SWT.
Dengan tidak ada rasa was-was dan tersembunyi, para calon yang tampil di pilkada tersebut sudah menyiapkan sejumlah uang untuk para pemilih. Menariknya, justru para simpatisan, pendukung dan para calo bersepakat dengan calon yang diusung untuk menentukan jumlah nominal uang beramplop untuk satu suara.
Memang bahasa yang digunakan tidak politik uang, tetapi diubah menjadi uang stimulan agar masyarakat mau menggunakan hak suaranya. Dengan menggunakan bahasa uang stimulan, uang ganti bensin atau apapun bahasanya, kesannya tidak ada unsur suap menyuap. Dengan demikian, peemberian amplop kepada pemilih seolah-olah tidak ada rahasia lagi. Masyarakat secara terbuka juga sudah termindset pada pikiran, setiap ada pemilu pikirannya pada amplop berisi uang, kalau tidak ada amplopnya tidak mau memilihnya.
Istilah NPWP
Masyarakat pemilih, setiap ada pemilu saat ini sudah terkondisikan seperti itu, dan ini seolah-olah sudah membudaya. Masyarakat yang tidak paham politik pikirannya sudah terkontaminasi dengan uang sebagai harga suara yang harus dibeli. Bahkan sekarang ini muncul istilah yang dipakai oleh masyarakat pemilih terhadapat para calon atau kepada tim sukses pemilu dengan menyebut Nomer Piro, Wani Piro (NPWP).
Menlihat sikap dan perilaku pemilih seperti itu, siapa yang harus disalahkan? Apakah masyarakat yang buta politik tersebut harus disalahkan? Ataukah para politisi yang menjadi biang pembodohan politik bangsa ini yang harus menanggung dosa rakyat?
Harusnya citra pemilihan umum (pemilu), baik pilpres, pileg dan pilkada (pilgub, pilbup/pilwakot) dapat dilakukan dengan luber (langsung, umum, bebas dan rahasia) dilakukan para pemilih unuk memilih figur pemimpin yang benar-benar berkualitas. Pemilihan umum yang demokrastis, adalah pemilihan unum yang menggunakan daya nalar dan nurani yang sebenar-benarnya, dan didukung oleh etika yang santun, tanpa ada intimidasi dan politik uang.
Ya inilah sisi lemah pendidikan politik kebangsaan yang salah arah dan salah urus. Dengan kondisi politik yang tidak terurus tersebut, akhirnya berdampak pada sikap mental bangsa yang apatis, suka menerabas, tidak jujur dan korup.
Demi pemurnian demokrasi dan mewujudkan kualitas Pemilu tahun 2019 yang akan datang, mari kita sebagai rakyat pemilih di negeri ini yang cerdas dan berperadaban, patut menghindari politik uang dan jangan mengembangkan istilah Nomer Piro Wani Piro (NPWP) dalam Pilgub ini. Pilihlah nomer calon yang sesuai dengan nalar dan nurani kita. Semoga kita menjadi pemilih yang bermartabat dan berbudaya.

———— *** ————-

Rate this article!
Tags: