Angan-angan “Nikmatnya” Jabatan Politik

(Pertama kali di dunia: Pileg Sekaligus Pilpres Indonesia) 

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik 

Bangsa Indonesia akan menjai pelopor demokrasi paling rumit di dunia. Juga pertama kalinya di dunia! Yakni, pemilihan umum legislatif (pileg), sekaligus pemilihan presiden (piplres) tahun 2019. Namun pada periode selanjutnya (2024), akan menjadi pileg dan pilpres paling efektif dan effisien. Terutama me-mimimalisir kegaduhan sosial, akibat suasana perbedaan altar politik yang dipompa oleh tokoh-tokoh petugas partai politik (parpol).
Mesin politik mulai dipanaskan menghadapi pemilihan umum 2019. Bakal calon legislatif (caleg) sudah didaftarkan ke KPU, KPU Propinsi, serta KPUD Kabupaten dan Kota. Sebanyak 7.796 bakal caleg telah didaftarkan oleh 16 parpol. Termasuk 3.144 bakal caleg perempuan (40,32%). Sedangkan kuota parlemen (DPR-RI periode 2019 – 2014) yang diperebutkan hanya sebanyak 575 kursi. Kemungkinan menjadi anggota parlemen hanya 7,37%.
Terdapat tujuh ribu lebih (92,63%) bakal caleg, akan merasa kecewa, karena gagal menjadi anggota DPR-RI. Akan banyak bakal caleg frustasi, hingga terserang penyakit, sampai sakit jiwa. Jabatan politik yang di-angan-angan (dan diperjuangkan), terlepas dari jangkauan. Lebih lagi bakal caleg incumbent (pernah menjadi anggota DPR) yang telah merasakan nikmatnya jabatan politik tinggi. Sehingga caleg incumbent biasanya lebih “gila” berupaya kembali meraih kursi di DPR.
Suasana “kerja” di DPR, sungguh memabukkan. Hak protokoler dan pergaulan “elitis” (dengan menteri dan pejabat eselon I), menjadi magnet yang diburu seluruh bakal caleg. Seluruh hak protokoler anggota dewan bisa menjadi “tambang” uang. Terutama kunker (kunjungan kerja). Walau jika dicermati, hampir 80% kunker tidak bermanfaat. Lebih lagi kunker luar negeri, tak lebih dari plesiran yang dibiayai negara. Andai ditelisik, kunker luar negeri merupakan bagian dari gratifikasi pihak pemerintah (dan pemda) kepada anggota dewan.
Berdasar amanat konstitusi (UUD pasal 20A), DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Ironisnya, kewenangan fungsi yang di-amanat-kan UUD dijadikan alat tawar untuk memperkaya diri. Beberapa anggota dewan bersuara lantang hanya sekadar peran antagonis. Karena ke-vokal-an sering tidak didukung data, dan cupet pengetahuan. Sehingga usul, saran, dan kritik anggota dewan, mudah “diselesaikan” oleh eksekutif.
Dalam bahasa pujangga Ronggo Warsito, (dinyatakan dalam sindiran) “Akeh ndandhang diunekake kuntul.” Banyak komentar tetapi tidak penting. Tak jarang yang “asbun” (asal bunyi). Menandakan anggota DPR tidak memiliki kompetensi memadai. Tetapi andai mengerti dan cukup pengetahuan, akan semakin banyak yang bisa disuarakan oleh anggota dewan. Sehingga fungsi dewan yang dijamin oleh UUD pasal 20A ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) akan berjalan sesuai arah konstitusi.
Dilarang Berburu Fee
Sudah banyak kritisi bahwa kinerja anggota parlemen (dan DPRD), merupakan kerja tanpa keringat, tanpa keahlian, dan nyaris tanpa pertanggungjawaban. Hal itu disebabkan sistem pemilu legislatif menganut asas proporsional terbuka. Keterpilihan menjadi wakil rakyat bukan berdasar nomor urut, melainkan perolehan suara. Siapapun bisa menjadi anggota DPR (dan DPRD) asalkan memperoleh suara terbanyak.
Ke-terpilih-an melalui suara terbanyak, sebenarnya cukup ideal secara ke-demokrasi-an. Asalkan didukung pendidikan politik memadai oleh parpol. Termasuk pemahaman tentang fungsi APBN (dan APBD). Sehingga fungsi APBN maupun APBD telah di-dalami sesuai kebutuhan Daerah Pemilihan (Dapil). Terutama Dapil yang tergolong T3 (tertinggal, termiskin, dan terluar). Maka setiap anggota DPR (dan DPRD) telah mengerti “peta kebutuhan” Dapil. Juga kebutuhan nasional dan daerah.
Yang pernah merasakan menjadi anggota DPR, pengeluarannya lebih besar dibanding calon baru. Karena itu setiap anggota DPR berupaya “balik modal.” Terbukti, personel yang dikenal sebagai orang baik-baik, juga bisa terjerumus dalam lingkaran situasi yang busuk. Banyak aktifis rakyat, dikenal cerdas dan jujur, bisa berubah menjadi beringas secara sosial. Beringas pula dalam mengeruk kekayaan, beburu rente (commitment fee).
Kekuasaan dan aksesi kekayaan, menjadi misi utama. Sebagian berakhir di Pengadilan Tipikor. Sudah ribuan anggota DPR (dan DPRD) dipenjara. Tetapi yang lain tidak jera, malah bagai meng-antre. Berbagai proyek di Dapil dijadikan “tambang” perburuan commitment fee. Tak terkecuali proyek-proyek di luar Dapil anggota dewan, turut diburu. Seperti terjadi pada kasus OTT anggota DPR dari Dapil Jawa Timur X, berburu rente sampai ke Riau (pada proyek PLTU).
Perlu waspada, manakala terpilih menjadi anggota DPR (maupun DPRD). Belum tentu sebagai berkah. Melainkan bisa menjadi musibah bertubi-tubi menyengsarakan keluarga. Manakala korupsi (dan terkena jaring OTT), akan menjadi musuh bersama seluruh rakyat Indonesia. Maka setiap bakal caleg, seyogianya mempersiapkan diri (dan bertekad) menjadi legislator, bukan koruptor. Diantaranya, tidak perlu melakukan money politics terhadap rakyat pemilih.
Memberi uang receh kepada pemilik suara, akan menyebabkan membengkaknya ongkos politik. Konon, bakal caleg (DPR-RI) harus memiliki anggaran minimal Rp 2 milyar. Begitu pula bakal caleg di daerah. Karena bakal caleg DPRD Propinsi, harus siaga dengan anggaran Rp 1 milyar. Serta sekitar Rp 600 juta untuk DPRD Kabupaten dan Kota.
Kalkulasi Two in One
Biasanya, money politics berdalih, diperlukan untuk membangun jaringan pemilih, dan belanja alat peraga kampanye individual (berupa baju, kaos, dan bingkisan lain). Juga sokongan untuk honor saksi di tiap TPS. Serta mobilisasi masa saat kampanye. Ongkos politik pada pileg tahun (2018) ini akan semakin besar. Karena setiap caleg akan sekaligus membawa misi memperkenalkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bagai two in one.
Berbagai paket bingkisan akan semakin mahal. Karena “dikalkulasi” two in one. Niscaya semakin miris. Namun money politics nyata-nyata di-haram-kan (sesuai UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 280 ayat (1) huruf j, secara tekstual (nyata) melarang menjanjikan atau memberikan uang maupun materi (barang) kepada peserta kampanye (konstituen). Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) sampai tingkat kelurahan (PPL), akan selalu mengintai.
Money politics, bagai kecelakaan demokrasi, yang dipastikan bakal terjadi. Pada pileg dan pilpres serentak tahun 2019, akan semakin nyata. Bisa di-kreasi dalam berbagai cara. Misalnya, melalui honor saksi yang lebih besar. Serta upah tim pemantau independen. Saksi, bukan hanya di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Melainkan juga di tingkat PPS (Kelurahan), PPK (Kecamatan), sampai pada proses perhitungan suara di di tingkat kabupaten dan kota. Juga saat rekap suara di KPU propinsi, serta KPU pusat.
Selain money politics, pelanggaran terbesar lainnya akan terpapar pada medsos (media sosial). Medsos akan menjadi “medan perang” utama pileg dan pilpres serentak. Berbagai ragam medsos, facebook, WhatsApp (WA), instagram, twitter, sampai menyusupi email, semakin berjubel-jubel posting. Selama enam bulan masa kampanye, akan diunggah milyaran ujaran, dan gambar. Sebagian berisi narsis, meng-unggul-kan kelompok (parpol).
Begitu pula pencalonan presiden dan wakil presiden, sedang dimatangkan, melalui koalisi parpol. Tak kalah seru telah disosialisasikan ke ranah ruang publik. Terutama media masa elektronik (televisi) dan media sosial (medsos). Namun ironisnya, perkenalan bakal calon presiden dan wakil presiden, diiringi perang hoax, dan fitnah di medsos.
Sebagian posting juga berisi hoax, perundungan, dan menghantam pihak lawan politik. Niscaya berpotensi menjebak kegaduhan dan perpecahan sosial. Bahkan sampai berujung pelaporan tindak pidana. Polisi akan “panen” laporan pelanggaran penggunaan informasi dan transaksi elektronik. Sekitar 170 juta penduduk usia dewasa pemiliki telpon seluler, akan menjadi sasaran target.
Seluruh ujaran pada medsos, seyogianya ditakar dengan UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pada pasal 28 ayat (2), dinyatakan larangan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”
Juga terdapat amanat UUD pasal 28J ayat (2) yang memberi batas koridor hak asasi manusia, agar tidak melabrak hak asasi orang lain. Menjadi caleg, tidak cukup hanya ber-angan-angan memperoleh hak protokoler dan berbagai kewenangan negaraan. Melainkan telah siap menjadi negarawan, tanpa merongrong negara.

——— 000 ———

Tags: