Anggaran Covid-19 dan Potensi ”Free Rider”

Oleh :
Umar Sholahudin
Pengurus Himpunan Pengembangan ilmu-Ilmu Sosal (HIPIIS) Jatim,
Dosen Sosiologi FISIP UWK Surabaya

Akibat Penyebaran wabah virus corono atau Corona Virus Disease 2019, World Bank, Internatinal Monetary Fund (IMF), menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi minus. Data terbaru, Oraganisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran -2,8 hingga -3,9%. Angka proyeksi tersebut tergantung juga pada skenario penyebaran Covid-19 dan penanganannya. Sementara itu, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati dalam acara Town Hall Meeting 2020 yang diselenggarakan pada 19 Juni 2020, menyebutkan Indonesia akan menghadapi ujian sangat berat, yakni pertumbuhan ekonomi pada kwartal II diperkiraan minus 3,8% atau diperkiraakan antara -0,4% – 2% sepanjang 2020.

Selain itu, Covid-19 juga mengakibatkan bencana sosial. Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan RI memproyeksikan angka pengangguran dan kemiskinan akan meningkat selama Pandemi Covid-19. Dengan menggunakan perhitungan dasar (normal), tingkat pengangguran terbuka (TPT) diperkirakan sebesar 5,18% dan kemiskinan sebesar 9,18%. Sementara jika menggunakan perhitungan besar, TPT diprediksi sebesar 7,33% dan kemiskinan sebesar 9.88%. Dengan menggunakan perhitingan sangat berat, TPT diprediksi sebesar 9,02% dan kemiskinan bisa tembus 2 digit menjadi 9,14% (Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu, Juni 2020) .

Penanganan dan pencegahan Covid-19 dan dampaknya tentu saja membutuhkan dana yang sangat besar. Pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, telah menaikkan anggaran untuk penanganan Covid-19 menjadi Rp 905,1 triliun, dari awalnya sebesar Rp 405,1 kemudian naik menjadi yakni untuk sektor kesehatan sebesar Rp 87,55 trilun, perlindungan sosial (Bansos) sebesar Rp 203,9 triliun, untuk UMKM Rp 123,46 triliun, Pembiayaan koperasi Rp 53,57 triliun, untuk sektoral kementrian/lembaga serta pemerintah daerah sebesar Rp 106,11 triliun. Belanja negara selama tahun 2020 diperkirakan naik dari sebelumnya sebesar Rp 2.613,8 triliun menjadi Rp 2.720,1 triliun. Sehingga defisit APBN 2020 diperkirakan membengkak menjadi 6,27% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Potensi Free Rider
Luar biasa jumbonya anggaran Covid-19 hampir mendekati 1.000 triliun. Jika kita cermati, anggaran tersebut tidak hanya digunakan untuk kebutuhan penangan Covid-19 saja, tetapi juga untuk tiga skema dengan jumlah Rp 152 trilun, yakni pencarian utang pemerintah (108,848 triliun), untuk dana talangan BUMN yang ada masalah keuangan sebesar Rp 19,65 triliun, dan untuk penyertaan modal negara sebesar Rp 26,27 triliun. Ada beberapa BUMN yang bermasalah karena kondisi keuangan internalnya, seperti kasus Jiwasraya, ASABRI, dan sebagainya. Jangan sampai kasus moral hazard pada bailout bank Cenutry kembali terulang. Akibat moral hazard para koruptor dalam penggunaan uang rakyat, (uang) rakyat juga yang harus menanggung.

Rakyat harus sangat khawatir dengan adanya potensi munculnya free rider (penunpang gelap) dalam penggunaan dana Covid-19 tersebut. Potensi moral hazard dan munculnya Free Rider dalam penggunaan anggaran super jumbo bisa saja terjadi atau yang memanfaatkan terbitnya Perppu 1 tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. (Perppu Covid). Karena kita memiliki preseden sebelumnya. Potensi ini dapat kita lihat pada pasal 27. Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

Pasal ini sangat rawan melairkan praktek moral hazard dari para pejabat negara, terutama yang memanfaatkan situasi dan kondisi. Pasal ini berasumsi bahwa para pejabat negara kita adalah “para malaikat”, “orang suci” yang tak bisa salah. Asumsinya seharusnya dibalik, bahwa para pejabat negara adalah manusia biasa yang sangat mungkin “imannya” lemah ketika ada kesempatan korupsi datang. Kejahatan korupsi terjadi, bukan karena adanya niat pelakunya, tapi juga adanya kesempatan. Pasal ini, akan memberi “ruang bebas” bagi para pejabat negara. Kita mustinya harus belajar dari kasus mega korupsi; bailout Century. Dengan demikian, seharusnya aturan hukumnya lebih ketat.

Selanjutnya, pada pasal 27 ayat 2. adanya “hak imunitas” atau kekebalan bagi para pejabat negara. Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 27 ayat 3 yang menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Pasal ini secara eksplisit, bertentangan dengan prinsip prinsip supermasi hukum dan prinsip negara hukum (equality before the law). Pasal ini secara nyata akan memberikan “hak imunitas hukum” bagi para pejabat negara, jika melakukan kesalahan/penyimpangan. Pasal ini juga memberi asumsi; para pelaksana kebijakan adalah “para malaikat”, “orang suci” yang tak bisa disentuh oleh hukum sekalipun.
Semua pihak saya pikir bisa memahami, bahwa pandemik Covid-19 luar biasa besarnya dampaknya, baik di bidang kesehatan, sosal, dan ekonomi masyarakat. Dan karenanya membutuhkan penanganan dan anggaran yang luar biasa (besarnya). Namun demikian, pengunaan uang rakyat yang super jumbo tersebut harus didasari dengan prinsip-prinsip tata kelola keuangan dan pemerintahan yang clean dan god goverment. Persoalan yang patut kita cermati dan kita jaga adalah bagaimana penggunaan anggaran super jumbo tersebut dapat dibelanjakan dengan tepat sasaran, tidak mengalami kebocoran, berientasi pada penanganan dan pemulhan, efektif dan efisiensi dalam menangani Covid 19 ini. Dengan kata lain, agar terhindar dari praktek moral hazard? Atas kekhawatiran dan terulangnya kasus moral hazard Century, maka diperlukan transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran Covid-19, harus ada pengawasan, baik secara kelembagaan formal dari DPR, BPK, KPK, Kejaksaan Agung, dan BPKP maupun dari masyarakat dan media.

—————– *** ——————-

Tags: