Anggaran Kurang, DPRD Kota Probolinggo Gelar RDP Bahas Iuran BPJS Korban PHK

Komisi III DPRD kota Probolinggo gelar RDP BPJS korban PHK.[wiwit agus pribadi/bhirawa]

Kota Probolinggo, Bhirawa
Komisi III DPRD Kota Probolinggo gelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi buruh dan karyawan perusahaan juga terkait BPJS kesehatan khususnya bagi peserta mandiri selama masa pandemi Covid-19.

Dalam RDP tersebut, komisi III memanggil Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Tenaga Kerja (DPMPTSP dan Naker), Dinas Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan Kota Probolinggo.
Berdasarkan data DPMPTSP dan Naker Kota Probolinggo Dinas Tenaga Kerja, jumlah pekerja yang dirumahkan maupun di PHK mencapai 1.433 orang. Sebanyak 758 orang yang dirumahkan, 30 orang yang di PHK, dan sebanyak 375 putus kontrak.

Itu pun data yang diterima melalui email maupun link pendataan pekerja terdampak covid-19. Kemungkinan masih ada warga yang belum terdata. Mengingat pendataan Pemerintah Kota Probolinggo juga disorot.

“Ketika mereka melakukan penunggakan BPJS Kesehatan kemudian mendapat musibah akibat di PHK, dirumahkan, dan putus kontrak oleh perusahan harus jadi perhatian kita, bagaimana sistem pelayanan kesehatan mereka agar bisa dilayani,”ujar Agus Riyanto, Ketua Komisi III DPRD Kota Probolinggo, Jum’at (15/1).

Seandainya punya basis data yang kuat disituasi seperti sekarang ini lanjut Agus, maka akan gamblang ambil keputusan berapa anggaran, berapa masyarakat kita yang harus mendapatkan support karena terdampak Covid-19

“DPMPTSP dan Naker Kota Probolinggo harus mempunyai sikap tegas kepada setiap perusahaan yang kurang kooperatif dalam setiap kebijakan Pemkot Probolinggo, terutama mengenai kesejahteraan karyawan yang bekerja sehingga kebijakan tidak dianggap enteng oleh setiap perusahaan,”tegasnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan tersebut juga meminta BPJS Ketenaga Kerjaan untuk segera mengirimkan data-data perusahaan yang memiliki tunggakan pembayaran BPJS Ketenagakerjaan kepada DPMPTSP dan Naker Kota Probolinggo.

“Kami minta BPJS Ketenagakerjaan agar segera memberikan data-data perusahaan yang melakukan PHK, dirumahkan dan putus kontrak sehingga karyawannya nunggak pembayaran BPJS,” pinta Agus Riyanto.

Bayu, Perwakilan BPJS Ketenagakerjaan mengatakan, BPJS Kesehatan dapat merealisasikan klaim pencairan BPJS Ketenagakerjaan jika memang status dari karyawan tersebut aktif sebagai karyawan pada perusahaan tersebut.

“Klaim pencairan BPJS Ketenagakerjaan bisa terealisasi, apabila pihak perusahaan tempat karyawan bekerja tidak memiliki tunggakan pembayaran pada BPJS Ketenagakerjaan,”tuturnya.
Anggaran Pemkot Probolinggo untuk membiayai Program Universal Health Coverage (UHC) di APBD 2021, ternyata masih kurang. Karenanya, untuk menutupi kekurangannya, rencananya akan ditambah melalui perubahan APBD, ungkap Agus Rianto.

Mendapati itu, Kepala Bidang Pelayanan dan Sumber Daya Kesehatan DKP2KB Kota Probolinggo Murtina menjelaskan, anggaran Program UHC dibutuhkan Rp 42,45 miliar dengan jumlah peserta 84.452 orang. Namun, yang tersedia dalam APBD 2021 hanya sekitar Rp 29,96 miliar. “Sehingga ada kekurangan Rp 12 miliar lebih. Rencananya, untuk memenuhi kekurangan ini dianggarkan dari P-APBD 2021, ”ujarnya.

Pernyataan Murtina melewati oleh Staf DKP2KB Ahmad Fauzi. Dalam rapat itu, ia menyebutkan pemenuhan anggaran Program UHC dari Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). “Tahun 2020 ada regulasi baru terkait BPJS Kesehatan. Sudah ada kepastian dari TAPD, sisa anggaran akan dipenuhi saat P-APBD dari potensi pendapatan yang ada, ”terangnya.

Sebagaimana diketahui, tahun ini iuran BPJS Kesehatan naik. Rincian iuran diatur dalam Perpres Nomor 64/2020. Sebenarnya, tidak ada kenaikan dalam iuran BPJS Kesehatan untuk kelas III. Yakni, tetap Rp 42.000. Namun, karena pemerintah mengurangi subsidinya, peserta harus mengeluarkan lebih banyak. Dari yang sebelumnya Rp 25.500, kini harus membayar Rp 35.000 per bulan.

Pada tahun 2020, peserta hanya membayar Rp 25.500, karena sisanya Rp 16.500 hanya pemerintah. Tahun ini, peserta harus membayar Rp 35.000, sedangkan Rp 7.000 pemerintah dibayar. Ketentuan ini berlaku mulai 1 Januari 2021. Berbeda dengan premi untuk kelas II yang menjadi Rp 100.000 per orang per bulan dan kelas I sebesar Rp 150.000 per orang per bulan, tambahnya.(Wap)

Tags: