Antimainstream, ADRI Tolak Monopoli Indeks Jurnal Internasional

Rektor Unitomo Bahrul Amiq beserta 64 perwakilan dari PTN-PTS dari dalam dan luar negeri berkomitmen membangun kerjasama dalam berbagai bidang, termasuk dalam hal penelitian. [adit hananta utama/bhirawa]

Rektor Unitomo Bahrul Amiq beserta 64 perwakilan dari PTN-PTS dari dalam dan luar negeri berkomitmen membangun kerjasama dalam berbagai bidang, termasuk dalam hal penelitian. [adit hananta utama/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Para dosen dan ahli yang tergabung dalam Ahli dan Dosen Republik Indonesia(ADRI) menolak monopoli Copus satu-satunya indeks jurnal internasional yang diakui Kemeristek-Dikti dalam persyaratan proses sebagai guru besar. ADRI menyebut kebijakan ini menghambat lantaran antrean untuk dapat terindeks dalam Scopus cukup panjang.
Sebagai bentuk penolakan monopoli tersebut sejumlah akademisi dari dalam dan luar negeri yang tergabung dalam ADRI menginisiasi adanya indeks jurnal internasional lain ,di Surabaya, Kamis(10/11).
Ketua DPD ADRI Jatim Meithiana Indrasari mengatakan, banyak dosen yang kesulitan mengajukan proses guru besar. Ini karena persyaratan yang cukup rumit. Salah satunya yakni harus memiliki jurnal yang terindeks Scopus.
“Perlu ada jurnal internasional sendiri yang tidak terindeks scopus. Kami akan desak ,” tandas Meithiana disela konfrensi internasional dan Calls of Paper bertema Acceleration of Scientific Knowledge Development in Era of Asean Economic Community, di Auditorium Ki M Saleh, Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya, Kamis (10/11).
Dalam forum itu, sedikitnya terdapat 300 dosen dan ahli dari dalam dan luar negeri. Beberapa diantaranya ialah berasal dari Australia, USA, Korea Selatan, Thailand, China, Malaysia, dan Brunei.
Rektor Unitomo Dr Bachrul Amiq mengakui hal serupa. Publikasi internasional masih dimonopoli oleh Scopus. Hal ini cukup berat, sebab dari pihak Kemenristek-Dikti juga baru mengakui satu indeks itu. “Tadi saya dengar akan diusulkan untuk publikasi internasional bisa selain Scopus,” terang Amiq.
Selain kesulitan dalam hal syarat, dosen juga harus bisa menjalankan Tri Dharma perguruan tinggi secara bersamaan. Yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Dari sini saja, kerap menjadi persoalan.
“Dosen tidak bisa mementingkan penelitian sehingga meninggalkan pendidikan atau kewajiban mengajar. Istilahnya dosen tidak boleh kurang ajar alias mengurangi jam mengajar,” sebut Amiq yang berlatar belakang advokad ini.
Unitomo sendiri, menurut Amiq, memiliki cara supaya dosennya bisa menjalankan Tri Dharma perguruan tinggi secara bersamaan. “Di Unitomo soal tatap muka dosen dalam mengajar harus 14 kali untuk satu mata kuliah yang dipegang. Minimal tatap muka 14 kali dalam durasi satu semester,” papar Amiq.
Penasihat sekaligus ketua ADRI pusat Akhmad Fathoni menandaskan, setiap yang bercita-cita menjadi dosen wajib bercita-cita sebagai profesor atau guru besar. Pihaknya akan memfasilitasi mengurusi doktor yang belum menjadi guru besar.
“Nasib dosen yang seperti ini yang kami tangani. Termasuk dosen yang kesulitan mendapatkan NIDK dan NIDN. Dengan banyaknya doktor menjadi profesor, import guru besar tidak perlu lagi ,” papar Akhmad.
Doktor yang kesulitan melakukan riset untuk mencapai gelar profesor, sebut Akhmad, juga akan ditanggung kebutuhan biayanya. Sumbernya dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Sementara itu, bersamaan simposium internasional kemarin, di Unitomo juga dilaksanakan penandatanganan nota kesepahaman dengan 64 PTN dan PTS di Indonesia. [tam]

Tags: