Antisipasi Berita Hoax dari Media Abal-Abal dengan Badan Siber Nasional

Ketua PWI Jatim Akhmad Munir, Ketua Dewan Kehormatan PWI Jatim, Djoko Tetuko, moderator, Arief Rahman, Staf Ahli Kominfon Bidang Hukum, Prof Dr Henry Subiakto SH, MA dan Pemred Tribunnews.com, Febby Mahendra saat menjadi pembicara dalam acara FGD di Gedung Balai PWI Jatim, Surabaya, Sabtu (25/3) kemarin.

Surabaya, Bhirawa
Maraknya berita bohong atau hoax yang beredar di media sosial maupun media konvensional, membuat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur menggelar Focus Group Discussion (FGD) Badan Siber Nasional dan Revisi UU ITE Terkait Kebebasan Pers dan Maraknya Hoax di Gedung Balai PWI Jatim, Surabaya.
“Sebagai insan pers yang bertanggung jawab, pengelola media perlu menyelaraskan produksi informasi atau berita dengan ketentuan UU Pers, Kode Etik Jurnalistik dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, ” ungkap Ketua PWI Jatim Akhmad Munir mengawali pembukaan diskusi, Sabtu (25/3) kemarin.
Akhmad Munir menambahkan, pihaknya ingin masyarakat pers Jatim dan pengelola media siber mengikuti atau update terhadap perkembangan teknologi informasi,revisi UU ITE dan fenomena maraknya hoax.
Sementara dalam FGD tersebut telah menghadirkan Prof Henry Subiakto, SH, MA (Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informasi/Menkominfo bidang Hukum), sekaligus Ketua Pokja pembentukan dan revisi UU ITE wakil dari pemerintah.
Pembicara lainnya, Drs Djoko Tetuko (Ketua Dewan Kehormatan Daerah PWI Jatim) serta praktisi media siber Febby Mahendra Putra, SH (penanggung jawab dan pemimpin redaksi Tribunnews.com).
Prof Henry Subiakto dalam pemaparannya mengatakan banyaknya kepentingan-kepentingan pribadi yang membuat kabar hoax ini banyak beredar. “Hasil yang dari media abal-abal ini lebih besar, bahkan data saya ada sebuah media yang menghasilkan keuntungan hingga Rp1 milliar, mengalahkan Kompasiana.com, Tempo.com, dan Antara,” jelasnya.
Bahkan dengan hadirnya hoax sendiri ternyata banyak meresahkan beberapa pihak, sebab menurut Henry media abal-abal menciptakan kebencian, pesan sepihak, mencantumkan nama besar, bahkan media abal-abal menggunakan nama yang mirio dengan media yang jelas dan masih banyak lagi.
“Kenapa UU ITE direvis? Sebab ada 220 korban ITE sebelum direvisi,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi maraknya berita hoax yang disebar media abal-abal tersebut, kini Kominfo telah menyiapkan satu bidang untuk mengatasi masalah tersebut yang diberi nama Badan Siber Nasional.
Namun Guru Besar Komunikasi FISIP Unair ini juga mengaku resah dan prihatin dengan membanjirnya informasi dan berita-berita hoax.
Hoax adalah informasi yang menipu atau informasi yang dipalsukan secara sengaja yang bentuknya bisa melalui berita, pesan singkat melalui SMS dan WhatsApp, serta berbagai media sosial.
“Bisa juga lewat foto-foto yang sudah direkayasa, seperti foto lama diakui sebagai foto baru, atau bisa juga foto di luar negeri, tapi ditulis di Indonesia,” katanya.
Sedangkan informasi yang dimaksudkan dan diniatkan untuk menipu dan membohongi publik itu diproduksi lalu disebarkan oleh media sosial dan media online abal-abal. “Media-media abal-abal ini memang bukan perusahaan pers, tidak adab dan hukum PT, tapi bisa meraup rupiah ratusan juta rupiah per bulan. Bahkan ada yang dapat miliaran rupiah per tahun,” terangnya.
Ketua Pokja UU ITE ini juga menyampaikan tentang Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal tersebut mengatur bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dan mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
“Jika terbukti dan ada kerugian dari sisi konsumen maka sanksipidananya enam tahun penjara dan atau denda Rp1 miliar. Tapi bila tidak ada unsure kerugian konsumen, ancaman hukumannya direvisi hanya 4 tahun, sehingga penegak hukum tidak bisa menahan tersangka pelanggar UU ITE,” pungkasnya. [riq]

Tags: