Antisipasi Korban Longsor, BPBD Pasang 64 Ekstensometer

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Pemprov, Bhirawa
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jatim Sudarmawan memastikan jika pemprov sudah mengantisipasi terjadinya bencana longsor di Jatim. Salah satu caranya dengan memasang 64 alat pendeteksi dini bencana longsor dan memasang papan peringatan di titik-titik yang rawan longsor.
“Antisipasi jatuhnya korban jiwa akibat longsor, kita telah melakukan berbagai tindakan. Yakni memasang 64 ekstensometer atau alat deteksi dini bencana longsor. Pemasang alat ini dilakukan secara bertahap sejak 2012 lalu hingga sekarang. Total alat yang dipasang menggunakan dana APBD 47 ekstensometer, sisanya bantuan dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana),” tutur Sudarmawan, Rabu (21/9).
Sebelumnya perlu diketahui, ekstensometer merupakan perangkat elektronika yang berfungsi mengukur parameter pergeseran tanah. Sensor ini menggunakan potensiometer multiturn sebagai komponen utama disertai dengan rangakaian penguat dan pengkondisi sinyal. Alat ini diciptakan oleh peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Sistem kerja dari ekstensometer ini, jelas Sudarmawan, alat ini akan mendeteksi pergerakan tanah, curah hujan dan sudut kemiringan permukaan tanah. Jika tiga indikator ditangkap ekstensometer, maka otomatis membunyikan alarm dengan sirine yang telah dipasang. “Dengan adanya alat ini lebih memberikan rasa aman pada masyarakat. Sebab sebelum longsor terjadi, masyarakat sudah bisa mengantisipasinya,” katanya.
Ke-64 ekstensometer ini, kata Sudarmawan, telah dipasang di 22 kabupaten/kota di Jatim. Di antaranya di Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Pacitan masing-masing empat ekstensometer. Lalu, Kabupaten Bondowoso, Kota Batu, Kabupaten Kediri, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Tulungagung masing-masing tiga ekstensometer.
Dengan terjadinya bencana banjir dan longsor di Garut Jawa Barat yang menelan belasan korban jiwa, Sudarmawan meminta masyarakat Jatim untuk waspada. Sebab bencana longsor tidak mengenal musim. Bisa terjadi di musim kemarau atau musim penghujan.
Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksikan Indeks ENSO sudah mengarah pada kondisi La Nina lemah dan diprediksi bertahan hingga awal 2017. Bersamaan dengan La Nina terjadi fenomena Dipole Mode negatif sejak Mei 2016. Kondisi ini diprediksi bertahan hingga November 2016. Anomali suhu muka laut yang hangat di sekitar perairan Indonesia berkontribusi menambah tingginya curah hujan di Sumatera dan Jawa bagian Barat.
Hal inilah yang menyebabkan hujan berintensitas tinggi sering terjadi di sebagian wilayah Indonesia. Akibatnya banjir dan longsor meningkat. Selama periode 2016 ini, telah terjadi 1.569 kejadian bencana di Indonesia, di mana 265 orang tewas, 310 orang luka-luka, 2,1 juta jiwa menderita dan mengungsi, dan 23.048 rumah rusak. Dari total kejadian bencana tersebut, banjir dan longsor adalah yang paling dominan.
Banjir adalah jenis bencana yang paling banyak kejadiannya selama 2016, yaitu 554 kejadian dan menimbulkan 72 orang tewas, 93 orang luka-luka, dan 1,9 juta jiwa menderita dan mengungsi. Namun longsor adalah jenis bencana paling mematikan. Dari 349 kejadian longsor selama 2016, longsor menyebabkan 130 orang tewas, 63 orang luka dan 18.728 jiwa mengungsi dan menderita.
Seperti halnya bencana 2014 dan 2015, longsor adalah bencana yang paling menimbulkan korban jiwa tewas. Ada 40,9 juta jiwa masyarakat Indonesia yang terpapar dari bahaya longsor sedang hingga tinggi. Artinya mereka bertempat tinggal di daerah bahaya longsor yang dapat terjadi kapan saja, umumnya saat terjadi hujan lebat.
Kemampuan mitigasi masyarakat tersebut, baik mitigasi struktural maupun non struktural masih terbatas. Di satu sisi ancaman longsor makin meningkat seiring dengan meningkatnya curah hujan, baik intensitas maupun durasi hujan. [iib]

Tags: