APBN Tak Anggarkan Normalisasi Sungai di Pasuruan dan Sidoarjo

DPRD Jatim, Bhirawa
Banjir di beberapa wilayah Jawa Timur tampaknya menjadi problem yang tidak bisa segera ditangani dengan tuntas. Pasalnya anggaran yang tersedia sangat minim yaitu sebesar Rp123 juta (APBD Jatim). APBN-pun tidak ada anggaran, yang ada hanya untuk di Sampang sebesar Rp23 miliar.
Wakil Ketua Komisi D DPRD Jatim Hammy Wahjunianto menerangkan, dana yang dikucurkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya Rp23 miliar, itupun hanya untuk normalisasi sungai Kemuning di Sampang. Sedang untuk Pasuruan dan Sidoarjo tidak ada anggarannya.
“Yang pasti anggaran dari APBN hanya untuk normalisasi sungai Kemuning Sampang sebesar Rp23 miliar. Adapun untuk sungai Bengawan Solo dianggarkan melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS). Itu anggaran rutin untuk normalisasi ” ujar Hammy, Rabu (23/1).
Lebih lanjut dikatakan, untuk sungai yang di Pasuruan anggarannya hanya dari APBD. “Untuk perbaikan dan normalisasi sungai di Pasuruan mulai jembatan Kraton hingga hulu, anggarannya hanya Rp123 juta,” ucap politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini. Normalisasi perkiraan volume 30.000 M3 dilaksanakan swakelola oleh UPT Depo Peralatan dengan peralatan sendiri.
Dana yang sangat minim sebenarnya bukan tidak diperjuangkan. Hammy mengaku di akhir 2016 Komisi D telah melakukan audiensi dengan Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat) dan Pengairan, serta Komisi V DPR RI untuk memperjuangkan anggaran APBN agar ada alokasi penanganan banjir Sampang, Pasuruan, dan Sidoarjo.
“Karena anggaran dari APBD sangat tidak mencukupi makanya kita meminta ke APBN. Tapi yang gol hanya untuk penanganan banjir Sampang. Itu pun hanya anggaran untuk normalisasi sungai Kemuning sebesar Rp23 miliar,” papar Hammy.
Beberapa waktu lalu, lanjutnya, Komisi D rapat dengan BBWS di Solo untuk memastikan anggaran program penanganan banjir akibat meluapnya sungai Bengawan Solo. Sedangkan untuk banjir Sidoarjo dan Pasuruan hanya mengandalkan APBD.
Hammy pun menilai, seharusnya pemerintah pusat melalui BBWS Bengawan Solo dan Brantas, Pemprov dan Pemkab melalui Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) provinsi, Dinas PSDA kabupaten/kota, bisa melakukan perkiraan penganggaran pencegahan dan penanggulangan banjir di Jatim.
“Khususnya di Pantura, Sampang, Sidoarjo, dan Pasuruan oleh karena banjir tiap tahun hampir dipastikan selalu terjadi. Selain itu juga harus ada rapat koordinasi sebelum banjir terjadi dan sebelum APBN/APBD disahkan,” tandas dia.
Menurut, Hammy, dengan pengalaman belasan hingga puluhan tahun, serta teknologi yang semakin maju seharusnya pemerintah bisa membangun dan memelihara infrastruktur yang sangat vital bagi hajat hidup rakyat.
Sementara itu, Gubernur Jatim Soekarwo menerangkan, banjir di Kraton Pasuruan karena air laut naik, sehingga tidak bisa dibuang ke laut. Upaya yang bisa dilakukan hanya mempercepat arus. Bahkan pembuatan embung pun dinilai tidak mampu mengatasi volumer air tersebut. Embung itu hanya 50 kali 50 meter dengan kedalaman 5 meter.
“Ini yang harus kita lakukan membuat bendungan-bendungan untuk menghambat laju, bukan menghilangkan. Air itu dari Gajah Mungkur langsung kemudian ke laut. Seharusnya ada bendungan-bendungan lagi, air bisa pelan-pelan diteruskan ke laut,” papar pria yang akrab dipanggil Pakde Karwo ini.
Kata Pakde Karwo, kondisi Bengawan Solo ini berbeda dengan Brantas. Untuk Brantas memiliki tujuh bendungan. Sehingga wilayahnya tidak banjir. “Tidak ada banjir, selain tanah subsidence di Mojoagung. Banjir di wilayah itu memang karena tanahnya lebih rendah dari pada sungai. Sedangkan di wilayah Bengawan Solo hanya ada satu bendungan yaitu Gajah Mungkur,” tegasnya.
Karenanya, pihaknya akan membangun bendungan baru lagi di Bojonergoro. “Tapi aku lalu jenenge, mene nek wawancara maneh ae ta kandani,” kata Pakde Karwo. [Cty]

Tags: