Arah Politik Ekonomi Indonesia

Anjrah Lelono BrotoOleh :
Anjrah Lelono Broto
Litbang Lembaga Baca-Tulis Indonesia, Alumnus STKIP PGRI Jombang dan sedang menempuh pascasarjana di Unesa.

Melihat antrian panjang kendaraan di SPBU-SPBU tanah air, sejatinya bangsa ini sedang disuguhi perulangan sejarah. Antrian mengular untuk mendapatkan BBM merupakan pemandangan lazim di setiap jelang suksesi kepemimpinan di negeri ini. Jika kita sudi melawan lupa, jelang berakhirnya Orde Lama, Orde Baru, hingga transisi antar presiden di Orde Reformasi ini fenomena antrian BBM telah menjelma kelaziman. Bedanya, ada selalu yang tak sama untuk dikambinghitamkan di setiap masa. Mulai dari turunnya nilai mata uang, melonjaknya harga minyak dunia, hingga ketidakmampuan Pertamina dalam pengelolaan sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini.
Terlepas dari pihak-pihak yang ramai dipersalahkan, andai kita semua jeli mencermati maka fenomena antrian BBM ini menandakan bahwa sejarah ekonomi Indonesia selalu ditandai tarikan kepentingan politik dan respons pragmatis terhadap problematika dan potensi ekonomi domestik maupun global. Dawam Rahardjo (1992) menyebut bahwa para ekonom dan teknokrat Indonesia, baik pada masa awal kemerdekaan maupun pada masa Orde Baru dan Reformasi, hanya bertindak sebagai franchise pemikiran Barat. Secara pragmatis, globalisasi informasi dan teknologi menggiring pengambil kebijakan negara-negara berkembang di dunia untuk mendewa-dewakan pasar dan dinobatkan sebagai kunci utama pendongkrak kesejahteraan warganegaranya, termasuk Indonesia.
Padahal pada realitanya, dalam sistem ekonomi politik dan implementasinya hampir tidak ada peran dominan salah satu elemen ekonomi, apalagi pasar. Sejarah mencatat bahwa dalam krisis moneter 1997, justru negara yang berperan aktif dengan mengambil alih lembaga-lembaga swasta yang kolaps. Negara tidak hanya berdiri sebagai penentu kebijakan publik, tetapi juga dapat berperan sebagai penyeimbang gerak ekonomi masyarakatnya.
Terus meningkatnya konsumsi BBM di Indonesia tidak semata dapat diuraikan dengan membongkar mafia migas, sesuatu yang tidak dapat diperjelas siapa-siapa dan perannya tersebut. Pembolehan Indonesia sebagai pasar produk-produk otomotif dari berbagai negara oleh pemerintah sejatinya juga memiliki andil besar dalam peningkatan konsumsi BBM dari waktu ke waktu. Di Jakarta saja, 5 juta unit kendaraan bermotor dan 2,6 juta unit mobil keluaran pabrikan terbaru memadati jalan-jalan ibukota per tahunnya (SWA, 03/05/2013). Artinya, kendaraan bermotor yang lama tidak berhenti dioperasikan namun kendaraan bermotor yang baru selalu bertambah secara signifikan.
Tidak dapat dipungkiri memang, pertumbuhan industri otomotif menjadi salah satu pos pemasukan pajak yang besar bagi Indonesia. Di lain pihak, pertumbuhan ini menjadi grafik penentu kondusifnya iklim investasi di tanah air. Hal ini pulalah yang membuai pengambil kebijakan negeri ini akan Indonesia sebagai macan ekonomi Asia dalam dua dekade ke depan. Padahal, dalam praktiknya lebih menjadi lahan subur mengguritanya aksi korupsi dan kolusi. Di kala buaian mimpi ini dipatahkan dengan kenyataan seperti over kuoata konsumsi BBM dalam negeri, pragmatisme kebijakan ekonomi dijadikan solusinya. Kebijakan ekonomi yang lahir pun dikaburkan dengan isu-isu politik terkini yang kadang tidak logis dan memaksa.
Pragmatisme ekonomi disini berarti suatu pendapat bahwa untuk mencapai kemakmuran masyarakat tindakan-tindakan ekonomi lebih relevan dibandingkan memperbincangkan prinsip realitasnya. Dalam pendekatan filsafat, pragmatisme adalah cara berpikir yang menempatkan kebenaran pendapat diukur dari hasil praktisnya. Dengan bahasa berbeda, pragmatisme sering dimaknai sebagai paham yang lebih menekankan hasil daripada teori yang melandasi cara berpikir itu.
Beragam kebijakan ekonomi Indonesia beberapa dekade terakhir membuktikan hal ini. Problematika perekonomian pada era Orde Lama bisa dicairkan dengan kebijakan pragmatisme liberalisasi keuangan dan perdagangan pada akhir 1960-an. Iklim ekonomi global pada era 1970-an dan awal 1980-an menyebabkan kuatnya kembali tarikan politik dalam perekonomian, yang ditandai dengan proteksi dan subsidi besar-besaran negara yang bersifat distorsif pada perekonomian.
Manifestasi dari dualisme tarikan itu adalah satu bentuk kabinet bifurkasi (Rock 1995, 1999). Kabinet bifurkasi adalah satu kabinet dua kaki. Di satu sisi, ada pakar-pakar ekonomi yang bertanggung jawab mengelola kebijakan makroekonomi berupa pengendalian inflasi, suku bunga, nilai tukar, berbagai kebijakan fiskal lainnya. Di sisi mikroekonomi ditempatkan para kroni dan kaki tangan politik dari mereka yang “dekat” dengan kekuasaan, bisa jadi sebagai balas jasa politik (politik dagang sapi, pen) dan atau ATM kendaraan politiknya.
Dalam kabinet bifurkasi, para pakar ekonomi adalah sebatas kacung yang didayagunakan sewaktu-waktu bila mesin perekonomian mengalami “error” dan atau memerlukan “shock theraphy” semata. Sementara pemegang kontrol roda perekonomian adalah mereka yang “dekat” dengan sumbu kekuasaan. Para pelaku pasar, dan investor memiliki kesempatan luas untuk mensukeskan motif ekonominya tanpa benturan berekskalasi tinggi.

                                                                              ——————-***——————–

Rate this article!
Tags: